Hakekat Pemahaman Potensi Dalam Diri Manusia


MEMAHAMI KHASANAH DALAM DIRI MANUSIA: JIWA, RAGA, SUKMA, NYAWA DAN RASA

Sejenak kita akan membahas ilmu tentang jiwa, tetapi mungkin para pembaca yang budiman masih bertanya tanya apa perbedaan antara jiwa, jasad, sukma. Sebelum saya menjabarkan ketiganya, kiranya perlu saya tampilkan beberapa cuplikan pemahaman orang lain tentang jiwa sebagai upaya mencari komparasi dan menambah khasanah ilmu kejiwaan.

KERANCUAN MEMAKNAI JIWA, SUKMA, NYAWA, PSIKHIS

JIWA, di dalam Oxford Dictionary tertulis soul (roh), mind dan spirit. Sementara dalam bahasa Indonesia cukup dengan padanan yaitu jiwa. Yunani PsychĂȘ yang berarti jiwa dan logos yang berarti nalar, logika atau ilmu. Tubuh adalah bagian yang fenomenal, dapat ditangkap oleh pancaindera dan bersifat fana sedangkan jiwa menurut Plato (500 SM) merupakan bagian yang memiliki substansi tersendiri (terpisah dari jasad) dan bersifat abadi. Plato berargumen, bahwa jiwa menempati tempat yang lebih tinggi daripada tubuh, lebih jauh ia mengatakan bahwa tubuh adalah kubur bagi jiwa karena tubuh menghambat kebebasan jiwa. Bagi seorang murid Plato, yakni Aristoteles (400 SM), semua yang hidup mempunyai jiwa seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan tentu saja manusia. Bagi Plato jika seseorang mati, maka jiwanya akan tetap ada dan kembali kedunia Idea di mana di sana terdapat segala hal yang ideal (sempurna) untuk kemudian jiwa akan mereinkarnasi diri dan menubuh kembali pada saatnya. Di sisi lain Aristoteles muridnya, memiliki pandangan berbeda, ia tidak setuju keduaan ala gurunya. Bagi Aristoteles tubuh dan jiwa itu bukan keduaan melainkan kesatuan. Olehkarenanya jika seseorang mati, maka konsekuensinya jiwapun turut mati bersama tubuh. Mana yang benar, Plato atau Aristoteles ? Saya kira kedua-duanya konsep Plato dan Aristoteles tetap mengandung kelemahan-kelemahan. Bahkan jika ditelaah lebih dalam, banyak ilmuwan kesulitan memetakan letak di mana jiwa (nafs, hawa, nafas, soul), roh (spirit) dan raga (body). Hal ini bukan berarti para filsuf pendahulu kita gegabah dalam memaknai tentang jiwa. Dapat dimaklumi sebab mempelajari tentang seluk beluk kejiwaan kita, musti menggunakan jiwa kita sendiri. Golek latu adadamar, atau mencari bara api dengan menggunakan obor sebagai penerang jalan. Sangatlah bisa dimaklumi sebab pembahasan jiwa sudah bersinggungan dengan ranah gaib yang tak tampak oleh mata wadag. Untuk melengkapi pembahasan Kesadaran Diri kiranya perlu dilakukan komparasi terhadap khasanah ilmu jiwa yang telah disampaikan oleh para pendahulu kita agar jiwa kita menjadi jiwa yang betul-betul merdeka. Merdeka lahir dan merdeka batin.

JIWA MENURUT PARA PINISEPUH

Sejenak para pembaca yang budiman mulai antusias banyak mampir di Indo Ghaib dan Kunci Ilmu Ghaib yang menampilkan khasanah keilmuan dan kaweruh Jawa khususnya, sebagai seorang praktisi saya hendak melengkapi pemahaman keilmuan jadi bukan sekedar keilmuannya dan tata cara lelakunya namun perlu adanya tingkat pengetahuan dalam memahami hal tersebut dengan itu saya banyak konsultasi dengan para pinisepuh kejawen.

Ilmu jiwa sebagaimana diungkapkan oleh Para Pinisepuh dikenal dengan dua macam jiwa. Yakni jiwa KRAMADANGSA, dan jiwa BUKAN KRAMADANGSA. Apa yang disinyalir sebagai jiwa kramadangsa adalah jiwa yang tidak abadi disebut pula sebagai rasa “Aku Kramadangsa”. Aku kramadangsa termasuk di dalamnya adalah “rasa nama” atau ke-aku-an, misalnya aku bernama Siti Ba’ilah. Aku adalah seorang musafir, aku seorang satrio piningit, aku adalah seorang kaya raya. Kalangan Pinisepuh mensinyalir adanya “rasa jiwa” yang bersifat abadi. Dimaknai sebagai Aku bukan kramadangsa. Menurut pemahaman salah satu Pinisepuh, rasa aku kramadangsa adalah ke-aku-an (naari atau “unsur api”) yakni aku yang masih terlena, terlelap dalam berbagai rasa aku yang terdapat di dalam lautan kramadangsa. Sebaliknya aku bukan kramadangsa adalah aku yang telah otonom yang sudah memiliki KESADARAN memilih mana yang BENAR dan mana yang SALAH sehingga ia dapat dinamai “Aku kang jumeneng pribadi”.

Menurut Pinisepuh tersebut alat manusia untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga bagian yakni pancaindera, rasa hati dan pengertian. Pertama, pancaindera, seperti yang telah kita ketahui yaitu alat penglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah) dan alat peraba (kulit, misalnya: jari- jari tangan merasa panas kena api, kulit merasa gatal terkena bulu ulat, dll). Kedua, rasa hati, adalah suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain. Ketiga, adalah pengertian, kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari pancaindera dan juga dari rasa hati. Pengertian di sebut pula sebagai persepsi, yang pada gilirannya akan menentukan mind-set atau pola pikir. Dengan demikian alat pengertian ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampaui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua. Ia sudah merupakan suatu refleksi kritis, kontemplasi, endapan yang didapat dengan cara menyeleksi hal-hal yang tidak diperlukan kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja. Sedangkan alat di luar ketiga tersebut tak diketahui karena di dalamnya terdapat banyak hal yang masih mysteré sulit terjangkau oleh kemampuan alat manusia.

JIWA YANG MERDEKA (KAREPING RAHSA)

Seperti yang telah saya kemukakan dan jabarkan dalam posting terdahulu tentang KesadaranDiri/Mengenal Jati Diri. Jiwa adalah nafas, nafs, hawa atau nafsu. Jiwa yang telah merdeka barangkali artinya sepadan dengan apa yang dimaksud jiwa yang mutmainah (an-nafsul mutmainah). Rasanya sepadan dengan apa yang dimaksud dalam konsep Para Pinisepuh tersebut sebagai aku bukan kramadangsa. Aku bukan kramadangsa selanjutnya saya lebih suka menyebutnya sebagai JIWA yang NURUTI KAREPING RAHSA, lebih mudah dipahami bila saya analogikan sebagai JIWA yang TUNDUK KEPADA SUKMA SEJATI. Sebaliknya apa yang disebut sebagai jiwa kramadangsa, aku kramadangsa, tidak lain adalah jiwa yang NURUTI RAHSANING KAREP. Lebih tegas lagi saya sebut sebagai JIWA yang DITAKLUKKAN OLEH JASAD.

Barangkali perlu dipahami bahwa jiwa kramadangsa (rasa nama) kesadarannya lebih dari jiwa yang berhasil diidentifikasi oleh Aristoteles sebagai jiwa yang ikut mati. Saya kira Aristoteles hanya menangkap jiwa-jiwa sebagaimana jiwa binatang dan tumbuhan yang ikut mati. Dan Sementara itu jiwa kramadangsa di sini adalah jiwa dengan kesadaran rendah, yang dimiliki manusia. Jiwa kramadangsa hanya terdiri dari kumpulan seluruh catatatan di dalam memori jasad manusia yang berisi semua tentang dirinya dan semua yang pernah dialaminya. Tidak seluruh memori itu bersifat abadi karena banyak catatan-catatan in memorial dapat terlupakan bahkan lenyap bersama jasad yang mati. Berbeda dengan “aku bukan kramadangsa”, berarti yang dimaksudkan adalah “aku yang dapat mengatasi kramadangsa” karena itu “aku” adalah aku yang dapat mengatur dengan baik kramadangsa-ku.

JIWA, ROH, JASAD

Tulisan saya di sini mencoba untuk membantu menjabarkan apa sejatinya di antara ke tiga unsur inti manusia yakni jiwa, roh dan jasad. Tentu kami yang miskin referensi buku hanya bisa menyampaikan berdasarkan pengalaman pribadi sebagai data mentah untuk kemudian saya rangkum kembali dalam bentuk kesimpulan sejauh yang bisa diketahui. Pengalaman demi pengalaman batin, memang bersifat subyektif, artinya tak mudah dibuktikann secara obyektif oleh banyak orang, namun saya yakin banyak di antara para pembaca pernah merasakan, paling tidak dapat meraba apa sesungguhnya hubungan di antara jiwa, roh, dan jasad. Walaupun jiwa dan roh berkaitan dengan gaib, namun bukankah entitas gaib itu berada dalam diri kita. Diri yang terdiri dari unsur gaib dan unsur wadag (fisik), tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak bisa merasakan dan menyaksikan “obyektivitas” kegaiban. Mencegah diri kita dari unsur dan wahana yang gaib sama saja artinya kita mengalienasi (mengasingkan) dan membatasi diri kita dari “diri sejati” yang sungguh dekat dan melekat di dalam badan raga kita.

Sukma-Raga

Hubungan antara roh/sukma dengan raga bagaikan rangkaian perangkat internet. Sukma atau roh dapat diumpamakan IP atau internet protocol, yang mengirimkan fakta-fakta dan data-data “gaib” dalam bentuk “bahasa mesin” yang akan diterima oleh perangkat keras atau hardware. Adapun hardware di sini berupa otak (brain) kanan dan otak kiri manusia. Sedangkan tubuh manusia secara keseluruhan dapat diumpamakan sebagai seperangkat alat elektronik bernama PC atau personal komputer, note book, laptop dst yang terdiri dari rangkaian beberapa hardware. Hardware otak tak akan bisa beroperasional dengan sendirinya menerima fakta dan data gaib yang dikirim oleh sukma. Hardware otak terlebih dulu harus diisi (instalation) dengan perangkat lunak atau sofware berupa “program” yang bernama spiritual mind atau pemikiran tentang ketuhanan, atau pemikiran tentang yang gaib.

Sukma-Jiwa

Namun demikian, hardware otak tidak akan mampu memahami fakta-fakta gaib tanpa adanya jembatan penghubung bernama jiwa. Jiwa merupakan jembatan penghubung antara sukma dengan raga. Aktivitas sukma antara lain mengirimkan bahasa universal kepada raga. Bahasa universal tersebut dapat berupa sinyal-sinyal gaib, pralampita, perlambang, simbol-simbol, dalam hal ini saya umpamakan layaknya bahasa mesin, di mana jiwa harus menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa verbal agar mudah dimengerti oleh otak manusia. Tugas jiwa tak ubahnya modem untuk menterjemahkan “bahasa mesin” atau bahasa universal yang dimiliki oleh sukma menjadi bahasa verbal manusia.

Namun demikian, masing-masing jiwa memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menterjemahkan bahasa universal atau sinyal yang dikirim oleh sukma kepada raga, tergantung program atau perangkat lunak (software) jenis apa yang diinstal di dalamnya. Misalnya kita memiliki program canggih bernama Java script, yang bisa merubah bahasa mesin ke dalam bentuk huruf latin atau bahasa verbal, dan bisa dibaca oleh mata wadag.

Jiwa-Raga

Setelah jiwa berhasil menterjemahkan “bahasa mesin”, atau bahasa universal sukma ke dalam bahasa verbal, selanjutnya menjadi tugas otak bagian kanan manusia untuk mengolah dan menilainya melalui spiritual mind atau pemikiran spiritual. Semakin besar kapasitas random acces memory (RAM) yang dimiliki otak bagian kanan, seseorang akan lebih mampu memahami “kabar dari langit” yang dibawa oleh sukma, dan diterjemahkan oleh jiwa. Itulah alasan perlunya kita meng upgrade kapasitas “RAM” otak bagian kanan kita agar supaya lebih mudah memahami fakta gaib secara logic. Sebab sejauh yang bisa saya saksikan, kenyataan gaib itu tak ada yang tidak masuk akal. Jika dirasakan ada yang tak masuk akal, letak “kesalahan” bukan pada kenyataan gaibnya, tetapi karena otak kita belum cukup menerima informasi dan “data-data gaib”.

Dimensi gaib memiliki rumus-rumus, dan hukum yang jauh lebih luas daan rumit daripada rumus-rumus yang ada di dalam dimensi wadag bumi. Contoh yang paling mudah, misalnya segala sesuatu yang ada di dalam dimensi wadag bumi, mengalami rumus atau prinsip terjadi kerusakan (mercapadha). Merca berarti panas atau rusak, padha adalah papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat di mana segala sesuatunya pasti akan mengalami kerusakan. Sementara itu di dalam dimensi gaib, rumus kerusakan tak berlaku. Sehingga disebutnya sebagai dimensi keabadian, atau alam kehidupan sejati, alam kelanggengan, papan kang langgeng tan owah gingsir. Sekalipun organ tubuh manusia, apabila dibawa ke dalam dimensi kelanggengan, pastilah tak akan rusak.Sebaliknya, sukma yang hadir ke dalam dimensi bumi, pastilah terkena rumus atau prinsip mercapadha, yakni mengalami rasa cape, sakit, rasa lapar, ingin menikmati makanan dan minuman yang ia sukai sewaktu tinggal di dimensi bumi bersama raga. Hanya saja, sukmanya merupakan unsur gaib, maka tak akan terkena rumus atau prinsip mengalami kematian sebagaimana raga.

RUMUS-RUMUS KEHIDUPAN WADAG DAN GAIB

Jiwa yang terlahir ke dalam jasad manusia merupakan software yang merdeka dan bebas menentukan pilihan. Apakah akan menjadi jiwa yang mempunyai prinsip keseimbangan, yakni seimbang berdiri di antara sukma dan raga, menjadi pribadi yang seimbang lahir dan batinnya. Ataukah akan menjadi jiwa yang berat sebelah, yakni tunduk kepada sukma, ataukah jiwa yang menghamba kepada raga saja. Untuk menjadi pribadi yang dapat meraih keseimbangan lahir dan batin, jiwanya harus memperhatikan dan menghayati apa saran sang sukma (nuruti kareping rahsa). Tak perlu meragukan kemampuan sang sukma sebab ia tak akan salah jalan dalam menuntun seseorang menggapai keseimbangan lahir dan batin. Pribadi yang seimbang lahir dan batinnya akan mudah menggapai kemuliaan hidup di dunia dan kehidupan sejati setelah raganya ajal. Sementara itu bagi jiwa yang mau diperbudak oleh raga berarti menjadi pribadi yang hidup dalam penguasaan lymbic section, atau insting dasar hewani, selalu mengumbar hawa nafsu (nuruti rahsaning karep). Tentu saja kehidupannya akan jauh dari kemuliaan sejak hidup di mercapadha maupun kelak dalam kehidupan sejati.

Sebaliknya, bagi jiwa yang terlalu condong kepada sukma, ia akan menjadi pribadi yang fatalis, tak ada lagi kemauan, inisiatif, dan semangat menjalani kehidupan di dimensi wadag planet bumi ini. Seseorang akan terjebak ke dalam pola hidup yang mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini sangatlah timpang, sebab kehidupan duniawi ini akan sangat menentukan bagimana kehidupan kita kelak di alam keabadian. Apakah seseorang akan menggapai kemuliaan bahkan kemuliaan Hidup di dunia merupakan bekal di akhirat. Sebagaimana para murid Syeh Siti Jenar yang gagal dalam memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Para murid menyangka kehidupan di planet bumi ini tak ada gunanya, bagaikan mayat bergentayangan penuh dosa. Kehidupan dunia bagaikan penghalang dan penjara bagi roh menuju ke alam keabadian. Jalan satu-satunya melepaskan diri dari penjara kehidupan dunia ini adalah jalan kematian. Sehingga banyak di antara muridnya melakukan tindakan keonaran agar supaya menemui kematian.

NYAWA, KEMATIAN, DAN MERAGA SUKMA

Banyak orang, melalui berbagai referensi, menganggap nyawa sama dengan jiwa. Bahkan dipahami secara rancu dengan menyamakannya dengan roh atau sukma. Nyawa, jiwa, roh, sukma, diartikan sama. Tetapi manakala kita menyaksikan peristiwa meraga sukma, perjalanan astral, lantas timbul tanda tanya besar. Bukankah saat terjadi peristiwa kematian, sukma seseorang keluar dari jasadnya ?! Kenapa orang yang meraga sukma tidak mengalami kematian ?! Sejak lama saya bertanya-tanya dalam hati saya sendiri. Apa gerangan yang terjadi dan bagimana duduk persoalannya. Bagaimanakah sebenarnya rumus-rumus tuhan yang berlaku di dalamnya ?

Butuh waktu puluhan tahun hingga saya menemukan jawaban logis, paling tidak nalar saya bisa menerimanya. Nyawa ibarat “lem perekat” yang menghubungkan antara sukma dengan raga manusia. Pada peristiwa kematian seseorang, nyawa sebagai lem perekat tidak lagi berfungsi alias lenyap. Jika lem perekatnya sudah tak berfungsi lagi maka lepaslah sukma dari jasad. Lain halnya dengan Meraga Sukma, lem perekat masih berfungsi dengan baik, sehingga kemanapun sukma berkelana, jasadnya yang ditinggalkan tidak akan mati. Hanya saja lem perekat bernama nyawa ini sistem bekerjanya berbeda dengan lem perekat pada umunya yang benar-benar menyambung merekatkan antara dua benda padat. Nyawa merekatkan antara jasad dan sukma secara fleksibel, bagaikan dua peralatan yang dihubungkan oleh teknologi nir kabel. Namun demikian nyawa tentu saja jauh lebih canggih ketimbang teknologi bluetooth yang bisa menghubungkan dua peralatan dalam jarak dekat maupun jauh.

Dalam khasanah spiritual Jawa, para leluhur di zaman dulu menemukan adanya keterkaitan masing-masing unsur gaib dan wadag manusia. Raga supaya hidup harus dihidupkan oleh sukma, sukma diikat oleh rasa. Ikatan rasa akan pudar dan lama-kelamaan akan habis apabila rasa tidak kuat lagi menahan penderitaan dan trauma yang dialami oleh raga. Bila seseorang tak kuat lagi menahan rasa sakit, kesadaran jasadnya akan hilang atau mengalami pingsan, dan bahkan kesadaran jasadnya akan sirna samasekali alias mengalami kematian. Di sini peristiwa kematian adalah padamnya “alat nirkabel” atau semacam “bluetooth” bikinan tuhan sehingga terputuslah hubungan antara jasad dan sukma. Lain halnya dengan aksi meraga sukma, sejauh manapun sukma berkelana ia tetap terhubung dengan raga melalui “teknologi” bluetooth bikinan tuhan bernama nyawa.Banyak orang yang bertanya, mengapa dalam mempelajari Agama mesti harus mengenal Rasa ? Memang kalau hanya sampai pada tingkat Syariat, bab rasa tidak pernah dibicarakan atau disinggung. Tetapi pada tingkat Tarekat keatas bab rasa ini mulai disinggung. Karena bila belajar ilmu Agama itu berarti mulai mengenal siapa Sang Percipta itu.
Karena ALLAH maha GHAIB maka dalam mengenal hal GHAIB kita wajib mengaji rasa.
Jadi jelas berbeda dengan tingkat syariat yang memang mengaji telinga dan mulut saja.Dan mereka hanya yakin akan hasil kerja panca inderanya.Bukan Batin!
Bab rasa dapat dibagi dalam beberapa golongan .Yaitu : RASA TUNGGAL, SEJATINYA RASA, RASA SEJATI, RASA TUNGGAL JATI.
Mengaji Rasa sangat diperlukan dalam mengenal GHAIB.Karena hanya dengan mengaji rasa yang dimiliki oleh batin itulah maka kita akan mengenal dalam arti yang sebenarnya,apa itu GHAIB.
1. RASA TUNGGAL

Yang empunya Rasa Tunggal ini ialah jasad/jasmani. Yaitu rasa lelah, lemah dan capai. Kalau Rasa lapar dan haus itu bukan milik jasmani melainkan milik nafsu.
Mengapa jasmani memiliki rasa Tunggal ini. Karena sesungguhnya dalam jasmani/jasad ada penguasanya/penunggunya. Orang tentu mengenal nama QODHAM atau ALIF LAM ALIF. Itulah sebabnya maka didalam AL QUR’AN, ALLAH memerintahkan agar kita mau merawat jasad/jasmani. Kalau perlu, kita harus menanyakan kepada orang yang ahli/mengerti. Selain merawatnya agar tidak terkena penyakit jasmani, kita pun harus merawatnya agar tidak menjadi korban karena ulah hawa nafsu maka jasad kedinginan, kepanasan ataupun masuk angin.
Bila soal-soal ini kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, niscaya jasad kita juga tahu terima kasih. Kalau dia kita perlakukan dengan baik, maka kebaikan kita pun akan dibalas dengan kebaikan pula. Karena sesungguhnya jasad itu pakaian sementara untuk hidup sementara dialam fana ini. Kalau selama hidup jasad kita rawat dengan sungguh-sungguh (kita bersihkan 2 x sehari/mandi, sebelum puasa keramas, sebelum sholat berwudhu dulu, dan tidak menjadi korban hawa nafsu, serta kita lindungi dari pengaruh alam), maka dikala hendak mati jasad yang sudah suci itu pasti akan mau diajak bersama-sama kembali keasal, untuk kembali ke sang pencipta. Seperti halnya kita bersama-sama pada waktu dating/lahir kealam fana ini. Mati yang demikian dinamakan mati Tilem (tidur) atau mati sempurna. Pandangan yang kita lakukan malah sebaliknya. Mati dengan meninggalkan jasad. Kalau jasad sampai dikubur, maka QODHAM atau ALIF LAM ALIF, akan mengalami siksa kubur. Dan kelak dihari kiamat akan dibangkitkan.
Dalam mencari nafkah baik lahir maupun batin, jangan mengabaikan jasad. Jangan melupakan waktu istirahat. Sebab itu ALLAH ciptakan waktu 24 jam (8 jam untuk mencari nafkah, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat). Juga dalam hal berpuasa, jangan sampai mengabaikan jasad. Sebab itu ALLAH tidak suka yang berlebih-lebihan. Karena yang suka berlebih-lebihan itu adalah Dzad (angan-angan). Karena dzad mempunyai sifat selalu tidak merasa puas.
2. SEJATINYA RASA

Apapun yang datangnya dari luar tubuh dan menimbulkan adanya rasa, maka rasa itu dinamakan sejatinya rasa. Jadi sejatinya rasa adalah milik panca indera:

1.MATA : Senang karena mata dapat melihat sesuatu yang indah atau tidak senang bila mata melihat hal-hal yang tidak pada tenpatnya.
2.TELINGA : Senang karena mendengar suara yang merdu atau tidak senang mendengar isu atau fitnahan orang.
3.HIDUNG : Senang mencium bebauan wangi/harum atau tidak senang mencium bebauan yang busuk.
4.KULIT : Senang kalau bersinggungan dengan orang yang disayang atau tidak senang bersunggungan dengan orang yang nerpenyakitan.
5.LIDAH : Senang makan atau minum yang enak-enak atau tidak senang memakan makanan yang busuk.

3. RASA SEJATI
Rasa sejati akan timbul bila terdapat rangsangan dari luar, dan dari tubuh kita akan mengeluarkan sesuatu. Pada waktu keluarnya sesuatu dari tubuh kita itu, maka timbul Rasa Sejati. Untuk jelasnya lagi Rasa Sejati timbul pada waktu klimaks/pada waktu melakukan hubungan seksual.
4. RASA TUNGGAL JATI

Rasa Tunggal Jati sering diperoleh oleh mereka yang sudah dapat melakukan Meraga Sukma (keluar dari jasad) dan Solat Dha’im.
Beda antara Meraga Sukma dan Sholat Dha’im ialah :

1.Kalau Meraga Sukma jasad masih ada.batin keluar dan dapat pergi kemana saja.
2.Kalau Sholat Dha’im jasad dan batin kembali keujud Nur dan lalu dapat pergi kemana saja yang dikehendaki. Juga dapat kembali / bepergian ke ALAM LAUHUL MAKHFUZ.

Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas / kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was. Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad/jasmani yang tampak oleh mata lahir ini.
Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah 7 bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati. Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai. Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya. Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat/Kannat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan NAFI-ISBAT dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala.
Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan SHOLAT DHA’IM. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur ALLAH, tapi bila SHOLAT DHA’IM sudah mempergunakan Nur ILLAHI. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada. Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu MA’RIFAT Islam dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Artinya jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesame manusia, dll. Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama , karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.
Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah Sang Pencipta/ALLAH. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, bahkan harus saling tolong menolang dll.
Dan hal ini sesuai dalam firman ALLAH : “HAI MANUSIA! MASUKLAH KALIAN DALAM PERDAMAIAN, JANGAN BERPECAH BELAH MENGIKUTI LANGKAH SYAITAN, SESUNGGUHNYA SYAITAN ITU MUSUHMU YANG NYATA”.
sumber: MsHn,SdLt & MsKtr.

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib