Definisi Ruh dan Jiwa dalam Manunggaling Kawula Gusti

Dalam ajaran Kejawen ada istilah “Manunggaling Kawula Gusti”. Hal ini sering diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), derivate (emanasi, pancaran, tajali) Tuhan.

Hal ini bisa dilihat dari “Wirid 8 Pangkat Kejawen”:

Wejangan panetepan santosaning pangandel, yaiku bubuka-ning kawruh manunggaling kawula-gusti sing amangsit pikukuh anngone bisa angandel (yakin) menawa urip pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejating Urip). Pangeran iku ya jumenenge urip kita pribadi sing sejati. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pageran. Dununge mangkene : “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggaal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.

Terjemahannya :

Ajaran pemantapan keyakinan, yaitu pembukanya kawruh (ilmu) “Manunggaling Kawula Gusti” yang memberikan wangsit (petunjuk) keteguhan untuk bisa yakin bahwa hidup kita pribadi sesungguhnya dirasuki Dzatnya Pangeran Pangeran (Dzat Urip, Sejatining Urip). Pangeran itu bertahtanya pada hidup kita yang sejati. Dwitunggal (roroning atunggal) yang disebut dan yang menyebut. Sedangkan pengertian utusan itu cahaya hidup kita pribadi, karena cahaya hidup kita itu menjadi pertanda adanya Pangeran. Maksudnya : “Sesungguhnya nyata semua datang kepada kamu utusan Pangeran (memancar) keluar dari dirimu sendiri. Sebenarnya utusan itu mencukupi semua yang kamu inginkan, kalau percaya pasti mendapatkan pengampunan dari Pangeran”. Bila bias menerima petunjuk yang seperti ini supaya awas dan hati-hati, ya hidup kita ini bertahtanya nugraha dan anugrah. Nugraha itu gusti (tuan) sedang anugrah itu kawula (abdi). Bersatu tanpa batas pemisah dalam badan kita sendiri.

Jadi menurut pemahaman saya pribadi, bahwa yang dimaksud dengan kawula itu adalah jiwa kita dan yang dimaksud dengan Gusti itu adalah Ruh kita. Mengenai pengertian jiwa dan ruh bisa dibaca pada artikel yang saya di bawah ini.
Definisi Jiwa dan Ruh
Jiwa

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr :27-30)

Saya sangat terkesan dengan ayat ini. Ada kerinduan untuk dipanggil oleh Allah dengan mesra. Tapi mungkinkah? Karena jiwa masih pekat dengan kabut dosa, sangatlah sulit untuk membuatnya menjadi cemerlang. Masih sering terngiang di telinga akan pesan Allah lewat firman-Nya :

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy Syams:9-10)

Defenisi Jiwa

Didalam sebuah artikel dijelaskan bahwa jiwa mampu menyimpan semua memori dari semenjak sejak lahir sampai jasad meninggal. Ibarat sebuah server yang besar, mampu menyimpan data yang besar pula. Tidak ada yang luput dari server ini, semua tersimpan dengan baik. Baik itu data kejahatan maupun data kebaikan. Berbeda dengan memori otak yang sangatlah terbatas. Misalnya kita disuruh untuk menghapal type mobil dan warnanya yang kita jumpai sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Sudah tentu terbatas sekali yang dapat kita hapalkan. Namun kalau jiwa yang merekam, sangatlah akurat. Jangankan type mobil dan warnanya. No. Polisinya pun terekam dengan baik bahkan dijalan apa dan pada jam berapa kita menjumpainya.

Data kejahatan membuat jiwa menjadi redup cahayanya atau bahkan padam sama sekali. Sedangkan data kebaikan membuat jiwa menjadi bersinar terang. Dan sinar ini mampu menghalau cahaya gelap.

Dan di akherat kelak data di server ini akan di tampilkan semua. Didalam DOS kita biasa mengetik perintah DIR, maka semua polder akan muncul. Begitu pula dengan jiwa, semua akan ditampilkan sedetail-detailnya dari yang sekecil-kecilnya.

Namun sebenarnya file kejahatan tidak semuanya akan ditampilkan. Karena ada fasilitas Delete File atau Hidden File. Siapa yang bisa melakukan ini. Ya…pasti pemilik server tentunya. Allah Rabbal Alamin. Dia mengampuni siapa yang di kehendakinya.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az Zumar:53)

Semakin terang cahaya jiwa, semakin dekatlah ia kepada Allah. Dan semakin berat pula godaan iblis. Karena iblis akan selalu mengirimkan pasukannya silih berganti untuk melalailkan sang jiwa ini. Dan jangan tanya berapa banyaknya. Semakin bersih jiwa semakin kuat iblis yang dikirimkan.

Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (
Al A'raaf:16-17)


Banyak yang rancu antara JIWA (nafs) dan RUH. Banyak yang menganggapnya sama, padahal sesungguhnya keduanya sangat berbeda.

Yang seperti apakah Jiwa itu? Jiwa adalah badan halus manusia, yang bisa bepergian – keluar dari Jasad wadag, ketika manusia sedang bermimpi, atau ketika ber ’OBE’ ria (Out of Body Experience) atau PLB – Perjalanan Luar Badan. Jiwa, merupakan tubuh halus manusia. Jiwa memiliki perangkat-perangkat yang menyebabkan manusia dicap sebagai makhluk sosial, makhluk cerdas (Aqal), makhluk spiritual (Qolbu). Jiwa yang menanggung semua akibat perbuatan tubuh fisik dan tubuh eterik.

Jiwa diciptakan sempurna tanpa cacat. Tidak ada yang terlahir sakit jiwa. Nggak ada bayi edan. Jiwa adalah putih bersih ketika dilahirkan, lingkungan dan pengalamanlah yang membuatnya bisa tetap putih atau kotor.

Komponen-Komponen Jiwa

Komponen yang dimiliki jiwa: Nafsu (sahwat, emosi), Hasrat (keinginan, ego), Aqal, Qolbu, dll.

Indera Jiwa

Indera Jiwa sering disebut pula sebagai Indera bathin. Jiwa juga memiliki indra penglihatan dan pendengaran. Dari situlah setan (dan jin) memberikan pengaruhnya ke jiwa, berupa suara-suara dihati kita yang mengajak ke perbuatan negatif.

Qolbu

Qolbu adalah Jantungnya Jiwa. Qolbulah yang menentukan baik-buruknya Jiwa. Gelap-terangnya Jiwa.
Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak Jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen Jiwa agar sesat.
[Firman Allah dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]

Suara-suara di Qolbu (hati)
• Suara si jiwa sendiri
• Suara Ruh kita
• Suara makhluk lain

Tingkatan Kesadaran Jiwa

Secara garis besar, ada 7 (tujuh) lapisan yang membatasi antara Jiwa dan Ruh, yang berkorelasi dengan tingkatan kesadaran Jiwa.
Lapisan tersebut hanya bisa ‘terbuka’ dengan melalui sedikit cara. Salah satu caranya adalah dengan ‘serius’ berupaya membersihkan diri, membersihkan Jiwa, membersihkan Qolbu (hati) dengan NIAT mendekatkan diri kepada ALLAH SWT - Sang Khalik. Atau merupakan sebuah anugrah karunia-NYA (given).

Lapisan ini berubah menjadi hijab kalau kotor. Bila pada lapisan 1 yang kotor (hijab) berakibat komunikasi antara Jiwa dengan Ruh terganggu. Muncullah penyakit non-fisik / kejiwaan (nafs) seperti pemarah, kejam, nafsuan, dll).

Nafs Lawwamah, Ammarah-bissu, dan nafs muthmainah.

Terbukanya (bersihnya) masing-2 lapisan tersebut, akan menumbuhkan kesadaran dan kemampuan Jiwa yang lebih tinggi [orang bilang ilmu laduni – ’ngkali].

Kesadaran Ruhiah – Ilahiah

Kesadaran tertinggi dari Jiwa adalah Kesadaran Ruhiah. Inilah yang didambakan oleh para pejalan spiritual. Tujuan akhir

Ruh

Al-Israa'(17): 85

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’ “.

Ruh adalah suci, ciptaan Allah, sehingga dikategorikan sebagai Makhluk. Jadi ruh dalam diri jasad manusia bukanlah Allah itu sendiri.

“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “ (Al Hijr:29)

Pengertian “roh KU”? Roh milik Allah. Roh ciptaan dan milik Allah, yang ditiup masuk oleh Allah ke dalam Jasad manusia. Bila manusia meninggal maka ruh ini akan kembali ke Sang Pencipta.

“akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)"(QS 75:14).

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Tidak ada yang namanya Ruh (Roh) jahat, gentayangan, ataupun lainnya. Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen yang dimiliki jiwa agar sesat.

[Firman ALLAH dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]

Kemana Tubuh Fisik, Eterik, Jiwa dan RUH Pergi Ketika Meninggal Dunia?

Kembalinya Ruh

RUH, yang saya tidak tahu sedikitpun esensinya, akan langsung kembali kepada Sang Pencipta.

Kembalinya Tubuh Fisik

Tubuh Fisik yang tersusun dari materi duniawi akan kembali menjadi materi-materi tanah. Tidak ada lagi kesadaran yang tersisa. Tak ada lagi cerita.

Tubuh Jiwa, kemana perginya?

Kemana perginya sangat tergantung dengan Keyakinan dan Laku Amal-Ibadah yang dilakoninya selama hidup didunia. Ketika kita memuja (membuka hati kepada) mahluk lain bukan kepada Allah SWT, kita mempersembahkan energi kita kepada sesama mahluk, baik manusia ataupun mahluk lain walau mereka berada di dimensi yang lebih tinggi, maka secara langsung kita membatasi diri kita sendiri dan potensi spiritual kita. Setiap saat kita membuka hati kita untuk hal/mahluk lain selain untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT, maka kita tersesat dari tujuan hidup yang sebenarnya.

Orang yang menghambakan diri, menggadaikan diri kepada selain Allah Yang Maha Esa, akan ditarik janji gadainya. Orang yang mencari pesugihan lewat gunung abc, akan ditagih jiwanya sebagai balasan kekayaan materi yang didapatnya selama hidup oleh penunggu gunung abc. Orang atheis, kafir yang tidak percaya adanya Allah SWT, apalagi suka berbuat dzalim, Jiwanya gelap matanya buta dan telinganya tuli. Tidak bisa melihat dan mendengar apa-apa. Jiwanya akan menunggu dalam dimensi kegelapan, hingga sangkakala berbunyi.

Orang yang beriman, yang berserah diri, yang suci, Yang mati sahid, Jiwanya akan langsung terbang, entah menuju dan menunggu dilangit yang mana. Tingginya langit yang bisa disambangi, tingginya surga yang akan didiami, berbanding lurus dengan Kemurnian Tauhid yang diyakini dan dijalani.

Dengan demikian terserah kepada diri kita masing-masing. Apakah kita tega mengotori jiwa kita atau justru membersihkannya?

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. Wallahu A'lamu
bish-Shawab.

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib