Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda: “innamal a’maalu kal wi’aai, idzaa thooba asfaluhu thooba a’laahu, wa idzaa fasada asfaluhu fasada a’laahu,” artinya: “Sesungguhnya perumpamaan amal perbuatan itu seperti sebuah bejana, jika permukaan dasarnya sempurna (baik), maka sempurnalah (baik) bagian atasnya. Jika cacat, maka cacatlah bagian atasnya” (al-Hadits). Sebagaimana sebuah bejana yang permukaan dasarnya retak dan berlubang, tentu tidak akan dapat menampung air. Begitupun sebuah bejana yang permukaan dasarnya berlumpur, tentu ketika dituangi air bening sekalipun, akan tampak air yang keruh kecoklatan. Maka demikianlah identiknya sebuah amal (perbuatan), selalu ternilai dari apa yang menjadi niatnya semula. Jika niat awal adalah kebaikan, maka akan dihasilkan produk berupa amal shalih, begitu pula sebaliknya.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “innamal a’maalu biniyyaat wa innamaa likullimri’in ma nawaa.” Artinya: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu ditentukan oleh niatnya, sesungguhnya seseorang itu dinilai dari apa yang menjadi niatnya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Menilik hadits ini, kita dapat mengetahui bahwa standarisasi niat selalu menjadi pangkal penilaian dari baik atau buruknya sebuah amalan. Dengan niat itu juga, seseorang akan menyandang predikat baik atau buruk di tengah komunitas sosialnya.
Hakekat Niat
Dr. Sayyid Husain al ‘Affany dalam “Ta’thirul Anfaas min Hadiitsil Ikhlash” mengutip pendapat Ibnul Qayyim dalam “al-I’laam al-Mawqi’iin” tentang definisi mengungkapkan bahwa niat adalah kepala dari sebuah perkara dan sekaligus penyangganya, dia adalah asas dan pondasi, yang dengannya ditegakkan di atasnya sebidang bangunan. Ia adalah ruhnya amal perbuatan, pemimpin dan pemandunya. Amalan itu menyertainya dan dilakoni atas dasarnya. Sebuah amal perbuatan akan dinilai sah (benar) karena niatan yang sah, begitupun sebaliknya akan bernilai rusak (fasad) jika disertai oleh niatan yang buruk. Kehadirannya akan memberikan titik terang dan harapan. Ketiadaannya menjadikan segalanya hampa dan sia-sia. Dengan dihitungnya, ia akan membedakan tingkat, derajat dan golongan manusia di dunia dan akhirat.
Dalil tentang Niat
Dari Umar ibnu al-Khattab RA beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Innamal a’maalu biniyyaat, wa innamaa likullimri’in maa nawaa. Faman kaanat hijrotuhu ilallaahi, fahijrotuhu ilallaahi wa rasuulihi. Wa mankaanat lidunyaa yushiibuha, awimro’atin yankihuhaa. Fahijrotuhu ilaa maa haajaro ilaih,” artinya: ”Sesungguhnya segala amal perbuatan itu berdasarkan niat-niatnya. Maka barangsiapa yang berniat hijrah karena Allah, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang diarunginya atau wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya sebatas dari apa yang dia berhijrah padanya (HR. Bukhari). Dengan mengutip hadits ini, Al-Bukhari dalam kitabnya “ash-Shohih” mengisyaratkan bahwa segala amalan yang tidak diniatkan karena Allah semata adalah bathil, tiada balasan (ganjaran) di dunia maupun di akhirat. al-Manawi dalam karyanya “Faidhul Qadir” mengatakan bahwa “hadits ini adalah dasar dari keikhlasan, dan tergolong dalam perkataan yang selalu dikaitkan dengan konteks amal. Bahkan Abu ‘Ubaid mengatakan, ”tiada dalam sekumpulan hadits-hadits yang lebih memiliki keluasan makna, kekayaan hakekat, sarat manfaat, dan mengandung banyak faidah dari hadits ini.”
Definisi Niat dalam Terminologi
“Niat” menurut Dr. Husain al-’Affany adalah “al Qoshdu wa al ‘Azmu” yaitu ”tujuan dan keinginan.” Terminologi yang lebih khusus lagi, yang berarti “Qoshdul Ma’buud” (God as the only purpose); “Tujuan pada dzat yang disembah (Allah SWT) dengan mengambil esensi dari hadits “innamal a’maalu biniyyaat.”
Kata “niat” dalam perkataan ulama’ mengandung dua makna utama: pertama, tamyiizul ‘ibaadaat ba’dhuhaa ‘an ba’dhin; yakni membedakan jenis ibadah, antara satu jenis ibadah dengan ibadah lainnya. Misalnya, membedakan antara sholat dzuhur dari sholat ashar, antara puasa ramadhan dan puasa-puasa yang lain, membedakan ibadat dengan hal yang sekedar adat (kebiasaan), membedakan jenis mandi janabat dengan mandi biasa. Niat-niat inilah yang banyak dijumpai pada perkataan ahli fiqih (fuqaha) dalam buku-buku fiqihnya.
Kedua, tamyiizul Maqshuud bil ‘amal; membedakan maksud dari dikerjakannya sebuah amal. Apakah amalan itu dilakukan karena Allah, atau karena Allah dan selainNya, atau karena selain Allah. Inilah niat-niat yang banyak dibahas oleh pakar ilmu akhlaq dalam buku-buku seputar akhlaq pada bab al-ikhlash.
Pusat Belajar Metafisika Nusantara by Indo Ghaib: *Menyingkap Misteri Ilmu Ghaib, *Menguak Fenomena Dunia Metafisika, *Membuka Gerbang Hakekat Kehidupan, *Mengetuk Pintu Hati Meraih Keimanan.