
Ilmu Hikmah yang kita bahas pada tema ini adalah satu kata yang  berbeda makna, bahkan berseberangan. Ilmu Hikmah yang beredar di  masyarakat, diiklankan di media, diperjual-belikan, bisa ditransfer ke  mana saja atau ke siapa saja, bisa dipelajari dalam beberapa saat bahkan  beberapa menit, setelah itu akan nampak hasil yang spektakuler dari  pelakunya. Badannya jadi kebal senjata, tubuhnya jadi kuat  berlipat-lipat, bisa memasuki alam ghaib dan berkomunikasi dengan jin,  mampu melakukan hal-hal di luar kewajaran manusia dan lain sejenisnya.  Itu adalah ilmu hikmah yang cara penguasaannya didahului dengan ritual  khusus dengan bacaan khusus yang biasanya menyimpang dari apa yang telah  dicontohkan Rasulullah.
Bentuk penyimpangan bisa terjadi pada materi bacaan dan juga dalam cara  penguasaannya. Termasuk penyimpangan bacaan di antaranya, membaca bacaan  yang tidak jelas maknanya dan juga sumbernya. Misalnya, amalan ilmu  hikmah melindungi diri dari gangguan syetan di perjalanan. Bacaan yang  diperintahkan adalah “
Tuhuronin” (5x), disambung ayat 21-24  dari surat 
al-Hasyr, lalu ditutup dengan huruf Ha’ (3x) dan 
Hamzah  (7x). meskipun ayat yang disebutkan itu jelas bersumber dari al-Qur’an,  tetapi kalimat pembuka dan penutupnya tidak dimengerti maknanya. Bentuk  penyimpangan dalam cara pelaksanaan atau penguasaannya. Masih dengan  amalan tersebut, si pemberi amalan ilmu hikmah ini menyuruh para  pengamalnya untuk menulis bacaan tersebut di kain putih atau kertas  putih, lalu di bawah pergi ke mana-mana selama dalam perjalanan.
Laiknya orang dalam perjalanan, baik via darat, laut, atau udara.  Terkadang dalam perjalanan, kita ingin buang air kecil atau air besar.  Kalau tulisan ayat itu harus dibawa pergi kemana-mana, berarti kita  harus membawa ayat ke toilet atau WC. Padahal perbuatan itu menyalahi  syari’at. Di samping itu, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an ataupun  al-Hadits yang menjelaskan bahwa syetan takut pada orang yang membawa  tulisan seperti itu. Inilah contoh kecil dari bentuk penyimpangan dari  amalan yang banyak beredar di masyarakat yang mereka sebut dengan ilmu  hikmah.
   Kalau amalan tersebut kita bandingkan dengan ajaran Rasulullah,  sangat jauh berbeda. Dengan tujuan dan maksud yang sama, agar kita  dilindungi oleh Allah dari aangguan syetan saat keluar rumah atau saat  bepergian. Rasulullah tidak menyuruh kita untuk menulis di kertas atau  kain lalu dikantongi, tetapi Rasulullah menyuruh kita untuk membaca.  Bacaan yang diajarkan Rasulullah jelas merupakan do’a berlindung kepada  Allah, tidak ada kata yang tidak bisa dipahami, hal itu berbeda dengan  amalan di atas yang katanya termasuk ilmu hikmah.
   Inilah ajaran Rasulullah kepada umatnya apabila ingin selamat dari  gangguan syetan dalam perjalanan. Anas bin Malik berkata: Rasulullah  bersabda, “Barangsiapa keluar dari rumahnya membaca: `Bismillah  (dengan nama Allah), aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan  kekuatan kecuali bersama Allah”. Maka dikatakan kepadanya: `Dengan  do’a itu, Kamu telah tercukupi dan terlindungi’. Dan syetan pun akan  menjauh darinya’.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).
   Sungguh jauh berbeda, antara ilmu hikmah yang mereka ajarkan dengan  yang diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun yang pertama menggunakan  ayat-ayat al-Qur’an, tetapi dicampur dengan kalimat yang tidak bisa  dimengerti. Cara pelaksanaannya pun berlainan dengan yang diajarkan oleh  Rasulullah. Amalan mana yang Anda pilih? Kegunaannya sama. Tetapi yang  satu sumbernya tidak jelas, sedangkan satunya bersumber dari wahyu yang  dijamin kebenarannya. Pasti kita akan memilih yang jelas dan  kebenarannya terjamin, karena do’a adalah inti dari ibadah. Bagaimana  mungkin kita beribadah dengan benar kalau menyalahi ajaran Rasulullah?Asal  Muasal
Banyak masyarakat kita punya anggapan bahwa Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib  adalah bagian dari ilmu hikmah. Padahal pengertian dari ilmu hikmah  yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib lebih  tepat disebut sebagai ilmu kesaktian atau ilmu perdukunan. Dan sangat  jauh berbeda dengan pemahaman ilmu hikmah yang sebenarnya. Selama ini  masyarakat kita menjadikan Rajah, Wifiq, Isim dan Hizib untuk memohon  datangnya pertolongan yang diyakini mampu membantu mereka untuk memenuhi  keperluan atau mewujudkan keinginan, dan ada juga yang menjadikannya  sebagai media perlindungan diri dari segala marabahaya yang ada. Untuk  pengasihan (guna-guna atau pelet), untuk kekebalan agar tidak mempan  senjata tajam dan peluru, untuk penjagaan diri dari kejahatan jin dan  syetan, untuk pengobatan beberapa macam penyakit, untuk memperlancar  datangnya rizki, untuk meraih jabatan atau pangkat, dan kebutuhan  duniawi lainnya. 
 Dari mana asal muasal datangnya ilmu seperti itu? Tidak ada  keterangan pasti atau referensi yang dapat dipercaya yang mampu  menjelaskan asal muasal datangnya ilmu yang mereka sebut dengan ilmu  hikmah. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan tentang ilmu hikmah,  tetapi yang dimaksud oleh al-Qur’an dan hadits tersebut bukanlah ilmu  hikmah yang banyak diiklankan di media massa. Bukan ilmu hikmah yang  berupa Wifiq, Rajah, Isim atau Hizib.
   Menurut KH. Dr. Said Agil Siradj (dosen pasca sarjana UIN Jakarta),  “Ilmu hikmah bukanlah ilmu tasawuf, dan juga bukan semacam karamah.  Tetapi kalau ilmu hikmah diamalkan sesuai aturan, akan membawa hasil  yang diharapkan, tidak peduli apakah yang mengamalkan itu orang baik,  setengah baik, atau tidak baik (orang jahat).” 
Selanjutnya di majalah yang sama, dia mengutip pendapat Imam  Abdullah Sahal at-Tasturi yang mengatakan bahwa ilmu hikmah adalah ilmu  kuno (awail), yang diturunkan oleh Allah khusus kepada orang yang  bernama Hurmus yang keberadaannya sampai sekarang masih diperdebatkan.  Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Nabi Idris, ada yang mengatakan  bahwa ia adalah seorang tokoh di zaman Babylonia, dan ada yang  mengatakan bahwa ia adalah tokoh Mesir kuno sebelum Fir’aun. Hurmus  inilah yang menerjemahkan nilai-nilai ghaib menjadi kenyataan. Dari  Hurmus itulah terbentuk kata Hermeunetik, yaitu upaya menafsirkan  sesuatu yang ghaib menjadi nyata.
   Dia juga mengatakan bahwa mengenai hubungan antara ilmu hikmah  dengan jin, hal itu dilakukan sebelum Islam datang. Setelah itu memakai  khadam jin Islam. Menurutnya, tidak salah menggunakan khadam jin Islam  untuk tujuan-tujuan yang baik. Sampai sekarang masih ada kiai yang punya  `penjaga rohani’ di belakang layar. Misalnya Kiai Hamid di Pejaten,  Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia juga mengatakan bahwa kakeknya (Kiai  Said) juga punya khadam yang mampu melindunginya dari kejaran tentara  Belanda yang saat itu mengejar-ngejarnya.
   Masih di majalah yang sama, KH. Syafi’I Hadzami mengakui bahwa  hadits-hadits yang berkaitan dengan ilmu hikmah (yang mereka maksud)  jarang yang bersanad kuat, bahkan banyak yang tidak bersanad. Karena  hadits-hadits itu didapat oleh para ulama melalui mimpi. Mereka mengaku  bertemu Rasulullah yang menganjurkannya membaca bacaan-bacaan tertentu.
   Dengan begitu, ilmu hikmah seperti yang dipahami banyak masyarakat  selama ini sumber dan asal muasalnya tidak jelas. Tidak ada hadits  shahih yang mengabarkan bahwa Rasulullah pernah mengamalkan ilmu seperti  itu, begitu juga para shahabatnya. Dan Rasulullah telah mengajarkan  kepada kita cara berlindung dari kejahatan semua makhluk, jin dan  manusia. Cara tersebut telah dikumpulkan oleh para ulama dalam  kitab-kitab hadits. Cara Rasulullah inilah yang harus kita praktikkan  dan kita lestarikan. Dan cara yang tidak jelas sumbernya seharusnya kita  tinggalkan. Apalagi kalau kita tidak paham akan bacaannya,  jangan-jangan malah ada kesyirikan di dalamnya. Akibatnya bisa fatal  kan?Di Era Shahabat Lebih Dibutuhkan 
 Pada era Rasulullah, saat dakwah Islam mulai disebarkan, banyak  terjadi gesekan dengan agama lain yang lebih dahulu berkembang di Mekkah  atau Madinah dan wilayah sekitarnya. Mereka yang tidak rela saat  melihat Islam terus melaju dan berkembang, mulai melakukan intimidasi,  teror dan sabotase. Tidak hanya sebatas ancaman dan gertakan, tetapi  sudah sampai pada tindak kekerasan dan teror fisik. Beberapa pengikut  Rasulullah mulai syahid berguguran dalam rangka mempertahankan akidah  Islam mereka.
 Intimidasi kaum kafir terhadap orang-orang muslim tidak hanya  terjadi di Mekkah. Setelah mereka hijrah ke Madinah pun teror itu terus  berlanjut. Akhirnya perang demi perang tak terelakkan. Orang kafir  berusaha menghentikan dakwah Rasulullah, sementara itu Rasulullah dan  para sahahabatnya bertekad untuk terus menyebarkan ajaran Islam sampai  titik darah pengahabisan.
   Saat itu jumlah umat Islam masih sangat sedikit, berbeda sangat  jauh dibanding jumlah mereka yang kafir dan memusuhi Islam. Dalam Perang  Badar (perang yang pertama), jumlah pasukan Islam 313 orang. Sedangkan  jumlah pasukan orang kafir 1300 orang, dilengkapi dengan kendaraan  perang yang memadahi dan senjata-senjata perang yang lebih dari cukup. 
Sedangkan dalam Perang Uhud, jumlah pasukan Islam 700 orang yang  mulanya berjumlah 1000 orang. Sementara pasukan kafir berjumlah 3000  orang, dengan menggunakan 3000 ekor unta, 200 ekor kuda dan dilengkapi  700 baju besi. Sungguh merupakan kekuatan bilangan yang tak sebanding.  Paling tidak, satu pasukan muslim harus berhadapan dengan 3 orang lebih.
Dalam kondisi seperti itu, apakah Rasulullah mengajarkan kepada  para shahabatnya ilmu yang mampu membuat kulit mereka kebal senjata  tajam? Agar mereka sanggup menghadapi kekuatan lawan yang berlipat-lipat  dengan persenjataan yang lebih lengkap. Tidak, sekali lagi tidak. Tidak  ada kitab sejarah yang terpercaya dan menceritakan hal-hal seperti itu.  Justru malah sebaliknya, kitab-kitab sejarah itu mengabarkan puluhan  shahabat Rasulullah yang syahid di medan perang karena tikaman senjata  lawan. Ratusan shahabat yang terluka, terkena sabetan dan goresan serta  tusukan senjata lawan. Bahkan Rasulullah sendiri, giginya patah kena  panah, tubuhnya juga bersimbah darah.
   Apakah Rasulullah tidak tahu bahwa ada ilmu Hikmah yang bisa  membuat kulit seseorang kebal senjata tajam. Apakah Anda punya pikiran  bahwa Rasulullah sebodoh itu? Rasulullah adalah orang yang paling  dikasihi dan dicintai oleh Allah. Begitu juga para shahabatnya, mereka  adalah generasi terbaik dan paling dicintai oleh Allah SAW dan  rasul-Nya. Kalau memang ada ilmu yang bisa membuat badan kebal senjata  tajam, pasti Allah akan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang  dicintainya. Agar jumlah umat Islam yang berperang mempertahankan  kesucian agama-Nya tidak berkurang atau mati disebabkan senjata lawan.
   Bahkan sejarah Islam telah mencatat, paman Rasulullah yang bernama  Hamzah bin Abdul Mutthalib yang bergelar `Singa Allah’, mati syahid oleh  senjata musuh. Umar bin Khatthab, mertua Rasulullah yang gagah berani,  syetan pun takut berpapasan dengannya. Utsman bin `Affan, menantu  Rasulullah yang bergelar `Pemilik dua cahaya’. Ali bin Abi Tahlib,  menantu Rasulullah yang menjadi khalifah Rasul yang keempat. Semua sosok  mulia itu matinya disebabkan tikaman senjata lawan. Mereka tidak kebal,  kulit-kulit mulia mereka bisa dirobek senjata. Masih banyak lagi  shahabat Rasulullah lainnya, hamba-hamba Allah yang paling bertakwa,  melalui siang dengan puasa, melewati malam dengan tahajjud, yang mati  syahid di ujung senjata musuh. Radhillohu `anhum aua radhu `anhu.
   Kalau memang ilmu kesaktian dan kekebalan yang mereka namakan  dengan ilmu Hikmah itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang bersih  hatinya, takwa derajatnya. Seharusnya para shahabat Rasulullah itulah  yang lebih berhak memilikinya. Karena mereka pribadi yang paling  bertakwa, kemuliaan mereka diakui oleh Allah dan rasul-Nya. Untuk ilmu  seperti itu kalau ada, era mereka lebih membutuhkan untuk mensiarkan  Islam, menegakkan panji-panji Allah di bumi ini. Tetapi kenyataannya  tidaklah seperti itu. Meskipun begitu, Allah tidak meninggalkan mereka,  pertolongan Allah selalu bersama mereka.
   Sehingga hampir di setiap peperangan dan pertempuran, mereka selalu  menang. Meskipun dalam setiap peperangan itu, ada di antara mereka yang  mati, dan ada yang terluka. Akhirnya siar Islam terus berkembang sampai  ke zaman kita ini, dan sampai kiamat nanti.
   Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata atau menafikan akan  adanya cerita tentang nenek moyang kita yang katanya sakti mandraguna,  kebal senjata tajam atau tidak mempan timah panas. Sampai sekarang juga,  fenomena itu terkadang masih kita saksikan keberadaannya di tengah  masyarakat. Ada atraksi kekebalan, pamer kesaktian dan unjuk kekuatan.  Media massa pun ramai mengekspos kehebatan mereka, dengan julukan si  manusia digdaya, orang hebat, jawara pilih tanding, pendekar sakti  mandraguna, makhluk terkuat, atau sosok yang luar biasa.
Meskipun kita tidak tahu secara persis, bagaimana orang-orang itu  memperoleh ‘kesaktiannya’. Ritual apa saja yang telah mereka jalani.  Lelaku apa saja yang telah mereka lakoni. Apakah yang ada di hadapan  kita itu hanya intrik atau memang mistik.
 Apakah atraksi kehebatan yang ada itu sihir atau permainan  alat-alat mutakhir. Yang kita tahu hanya, Mereka sekarang sudah menjadi  orang hebat, lalu kita ingin meniru kehebatannya. Ingin belajar dan  berguru kepadanya’. Akhirnya, ilmu agama kita abaikan dan kita remehkan.  Sementara ilmu kesaktian, kita cari-cari dan kita pelajari. Innalillahi  wa innna ilaihi rajiun.
   Pertanyaan yang mendasar sekarang adalah, kalau di zaman Rasulullah  dan para shahabatnya, ilmu kesaktian dan kedigdayaan seperti itu tidak  diajarkan, lalu sekarang kita mengenal adanya ilmu semacam itu, “Dari  mana datangnya ilmu tersebut, siapa yang meramunya dan siapa yang  mengajarkannya pertama kali? Mengapa ilmu itu dimasukkan ke dalam ilmu  Hikmah sehingga merancukan pengertian ilmu Hikmah yang terkandung dalam  al-Qur’an? Apakah ini merupakan upaya musuh-musuh Islam untuk  memalingkan para generasi Islam dari syaria’t dan sunnah Rasulullah Atau  ilmu seperti itu merupakan penestrasi ajaran agama lain ke Islam, atau  akulturasi budaya nenek moyang yang diklaim sebagai bagian ajaran Islam  oleh orang-orang Islam sendiri? Sungguh merupakan pertanyaan yang  jawabannya memerlukan kajian yang panjang dan melelahkan.Lebih  Berkembang dan Dominan
Sampai saat ini, ilmu Hikmah yang berkembang di masyarakat adalah ilmu  hikmah yang identik dengan ilmu kesaktian dan olah kanuragan. Sehingga  terformat dalam benak masyarakat yang tidak suka dengan ilmu sejenis itu  rasa dan sikap kebencian terhadap ilmu Hikmah itu sendiri. Dan itu  merupakan keberhasilan mereka dalam merusak citra ilmu Hikmah yang  sebenarnya. Padahal ilmu hikmah itu hakikatnya bersumber dari al-Qur’an  dan al-Hadits. Orang bisa dikatakan sebagai ahli hikmah (al-Hakim),  karena ucapan dan perbuatannya sesuai dengan dua sumber suci tersebut.  Apabila menyimpang dari keduanya, bukan ahli Hikmah namanya. 
 Di sisi lain, karena pengertian dari ilmu Hikmah sudah diputar  balikkan, akhirnya generasi Islam banyak yang menganggap bahwa ilmu  Hikmah yang berkembang di masyarakat dewasa ini adalah bagian dari ilmu  Islam. Tidak berbahaya atau berdosa untuk dipelajari, bahkan malah harus  atau wajib. Menurut keterangan para pasien yang pernah menjalani terapi  ruqyah syar’iyyah mereka pernah belajar ilmu kesaktian yang diberi  lebel ilmu Hikmah. Dan dari sekian orang yang mengaku dahulunya berhasil  dalam mempelajari ilmu Hikmah tersebut, reaksinya cukup keras saat  menjalani terapi ruqyah, bahkan banyak yang melakukan perlawanan seraya  mempraktikkan jurus-jurus saktinya.
   Media massa punya peran penting dalam memblow-up praktik praktik  ilmu kesaktian tersebut. Banyaknya iklan yang ada, memudahkan bagi siapa  saja untuk belajar ilmu olah kanuragan itu. Apalagi ada propaganda  bahwa mempelajari ilmu itu cukup mudah dan murah. Ada yang  mengajarkannya dengan mahar (bayar), dan ada juga yang memberikannya  secara gratis. Dalam semalam, mereka menjanjikan suatu yang luar biasa.  Bisa kebal dan sakti, uji coba di tempat. Tidak terbukti, uang kembali.  Sakti dalam sesaat. Siapa makhluk yang membantu mereka?
   Karena mudah dan cepat itulah, banyak generasi muda tergiur untuk  belajar, yang laki atau perempuan. Mereka lebih suka puasa mutih  berhari-hari, dari pada puasa Senin-Kamis. Mereka lebih suka bangun  malam, shalat dua rakaat lalu merapal mantra (wirid) sampai pagi, dari  pada shalat tahajjud dan witir atau baca al-Qur’an. Mereka suka  mendatangi perguruan kesaktian, daripada datang ke majlis ta’lim yang  mengajarkan al-Qur’an dan tafsirnya. Mereka lebih suka mengamalkan  Rajah, Isim, Wifiq dan Hizib dari pada do’a-do’a yang berasal dari  Rasulullah.
   Mereka lebih percaya diri dengan membawa jimat ke mana-mana dari  pada membaca do’a-do’a yang telah dicontohkan Rasulullah. Ironis memang,  tapi itulah yang sekarang pesat berkembang dan dominan.
 Padahal dalam haditsnya, Rasulullah menyatakan, “Tidak ada  amalan (perbuatan) yang bisa mendekatkan pelakunya ke surga, kecuali aku  telah memerintahkannya. Dan tidak ada amalan (perbuatan) yang bisa  mendekatkan pelakunya ke neraka, kecuali aku telah melarangnya.  Janganlah kalian bermalas-malasan untuk mencari rizki. Karena malaikat  Jibril telah memberitahukan kepada diriku, bahwa tidak seorangpun dari  kalian mati, kecuali rizki yang ditakdirkan telah diterimanya. Maka  takutlah kalian kepada Allah wahai manusia, dan carilah rizki dengan  cara yang baik. Apabila kalian merasa rizkinya seret, janganlah  mencarinya dengan cara maksiat. Karena karunia Allah tidak bisa  diperoleh dengan cara masiat (salah).” (HR. Hakim, no. 2136).
   Dalam riwayat lain, Abu Hurairah berkata bahwasannya ia telah  mendengar Rasulullah bersabda, “Apa yang aku larang, tinggalkanlah.  Dan apa yang aku perintahkan, laksanakanlah sesuai dengan kemampuan  kalian. Karena yang menyebabkan binasanya umat sebelum kalian adalah  banyaknya pertanyaan mereka dan menyimpangnya mereka dari sunnah nabi  mereka.” (HR. Muslim, no. 4348).
   Dengan demikian, masihkah kita memilih sakti dan hebat di dunia  dengan menyalahi sunnah Rasulullah, atau kita lebih memilih sunnah  Rasulullah yang memberikan jaminan kepada kita akan kebahagiaan dan  keamanan dunia dan akhirat. Meskipun di dunia kita tidak sakti dan  hebat, sebagaimana yang dialami para shahabat Rasulullah Kita harus  menentukan pilihan itu dari sekarang, sebelum terlambat
   Mempelajari Sumber Ilmu Hikmah
 Apabila kita memperhatikan definisi ilmu Hikmah yang disampaikan  oleh para ulama di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Hikmah  itu ada sumbernya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Keduanya merupakan  referensi ilmu Hikmah yang sebenarnya. Apabila ada kitab-kitab lain yang  mengajarkan ilmu hikmah, tapi ternyata bertentangan atau menyimpang  dari al-Qur’an dan al-Hadits, berarti itu adalah ilmu Hikmah palsu atau  gadungan. Apalagi kalau sumber ilmu itu berasal dari agama lain,  diadopsi dari keyakinan dan syari’at lain, buah dari akulturasi budaya  yang sarat mistik dan syirik, maka kita tidak boleh ikutikutan  mempelajarinya. Jangan terpedaya dengan kemasan palsu yang  mengatasnamakan ilmu Hikmah. Waspadalah!!! 
 
 Setiap kita bisa mempelajari sumber ilmu Hikmah, yaitu dengan  mengkaji al-Qur’an dan as-sunnah. Hanya saja daya serap otak kita,  tingkat pemahaman kita, serta kemampuan kita untuk mengamalkan isi  kandungannya, akan berbeda satu sama lainnya. Kitab al-Qur’an dan  al-Hadits yang kita pelajari, boleh sama. Tapi daya tangkap kita, dan  akurasi pemahaman makna terhadap teks yang tertulis akan berbeda satu  sama lain. Begitu juga kemampuan dalam mempraktikkan ilmu yang telah  diketahui. Tidak semua orang yang membaca al-Qur’an dan al-Hadits,  serta merta memahami maknanya. Dari sekian orang yang paham maknanya,  ternyata tidak semua mampu mempraktikkannya dalam perkataan dan  perbuatannya.
   Kemampuan memahami secara mendalam terhadap al-Qur’an dan  as-Sunnah itulah anugerah yang besar dari Allah yang tidak bisa dimiliki  oleh setiap orang, begitu juga kemudahan dalam mengamalkannya. Apabila  kita dianugerahi oleh Allah kemudahan dalam memahami agama ini dari  sumbernya, dan kemampuan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan, serta  mengajarkannya kepada yang lain, berarti kita termasuk hamba yang diberi  ilmu Hikmah. Dan itulah anugerah Allah termahal dan terindah,  sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 269. Sehingga dengan  ilmu itu perkataan dan perbuatan kita benar, sesuai dengan syari’at  Islam.
   Simaklah perkataan Imam Nawawi rahimahullah saat dia menjelaskan  tentang ilmu Hikmah yang sebenarnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ilmu  al-Hikmah adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum agama yang  lengkap untuk mengenal Allah yang diiringi dengan tajamnya pikiran dan  lembutnya jiwa serta mulianya akhlak. Merealisasikan kebenaran dan  mengamalkannya, berpaling dari hawa nafsu dan kebathilan.” 
Sedangkan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah  menyimpulkan bahwa makna al-Hikmah yang tepat adalah pemahaman yang  mendalam terhadap kandungan kitab al-Qur’an. Iman dan hikmah biasanya  berdampingan, walaupun kadang terdapat juga hikmah yang tidak  bersandingan dengan iman.” 
Itulah wujud dari kemuliaan sejati, karena kita bisa menjadi hamba  yang taat, dengan kemampuan kita untuk mengetahui perintah-perintah-Nya  lalu mentaatinya. Dan mengetahui larangan-larangan-Nya lalu  menjauhinya. Itulah sifat hamba yang bertakwa dan berhak menjadi orang  yang paling mulia. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di  sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Begitulah Allah menjelaskan  standar kemuliaan sejati dalam surat al-Hujurat ayat 13.
  Ilmu Hikmah Itu Anugerah
 Dalam al-Qur’an disebutkan, “Allah menganugerahkan al-Hikmah  (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang  Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al-Hikmah itu, ia  benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang  yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah)”.  (QS. al, Baqarah: 269).
   Shahabat Ibnu Abbas berkata, “Yang dimaksud dengan al-Hikmah dalam  ayat tersebut adalah pengetahuan tentang al-Qur’an, seperti mengetahui  naskh dan mansukhnya (ralat dan yang diralat), ayat muhkam dan  mutasyabihnya (yang jelas dan yang samar), yang pertama dan yang  terakhir, yang dihalalalkan dan yang diharamkan, dan yang semisalnya.”  Sedangkan Imam Qatadah, Abul `Aliyah, Imam Ntujahid, memaknai dengan  a1-Qur’an dan kepahaman mendalam akan apa yang dikandungnya.” 
Imam Ibnu Jarir at-Thabari menafsirkan al-Hikmah dalam ayat  tersebut dengan, “Kebenaran dalam perkataan dan perbuatan yang diberikan  Allah kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang diberi  kebenaran dalam perkataan dan perbuatan, berarti ia telah mendapatkan  kebaikan yang sangat banyak.” 
Imam al-Qurthubi berkata, “Asal makna Hikmah adalah apa saja yang  dapat menghalangi datangnya kebodohan. Maka dari itu ilmu juga disebut  hikmah, karena ia dapat menghalau kebodohan dan segala perbuatan buruk.  Begitu juga al-Qur’an, akal dan pemahaman. Dalam riwayat Imam Bukhari  dikatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah  akan memahamkannya dalam masalah agama.” Imam Bukhari berkata,  “Barangsiapa yang diberi hikmah, maka ia telah dianugerahi kebaikan yang  banyak. Dan sering terulangnya kata al-Hikmah dalam al-Qur’an, tanpa  menggunakan kata penggantinya, sebagai pertanda akan kemuliaan dan  keutamaannya.” 
Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak boleh  hasud (ghibthoh), kecuali dalam dua hal. Iri kepada orang yang diberi  harta oleh Allah, lalu ia habiskan hartanya di jalan yang benar. Dan iri  kepada orang yang diberi ilmu Hikmah oleh Allah, lalu ia praktikkan  ilmu tersebut dan mengajarkannya (kepada yang lain).” 
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Yang dimaksud dengan  hikmah dalam hadits tersebut adalah al-Qur’an berdasarkan hadits yang  diriwayatkan Ibnu Umar. Atau lebih umum dari itu, yaitu ilmu yang bisa  menolak kebodohan dan menjauhkan pemiliknya dari keburukan
   Sedangkan yang dimaksud dengan hasad di sini adalah al-Ghibthah  (keinginan agar bisa menjadi seperti orang yang dimaksud). 
 Ilmu Hikmah yang sebenarnya bersumber pada at-Qur’an dan  al-Hadits. Yang menyimpang dari keduanya bukanlah ilmu Hikmah, tapi ilmu  “salah”. 
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata Hikmah  mempunyai beberapa  arti. Pertama, kebijaksanaan dari  Allah. Kedua,  sakti atau kesaktian (kekuatan ghaib).  Ketiga, arti atau makna yang  dalam. Keempat, manfaat.
 Sekarang marilah kita simak definisi ilmu  al-Hikmah secara lengkap.  Yang meliputi definisi secara bahasa, istilah  syari’at dan pendapat  para ulama tafsir dalam masalah ini. Menurut  kamus bahasa Arab,  al-Hikmah mempunyai banyak arti. Di antaranya,  kebijaksanaan, pendapat  atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat,  kenabian, keadilan,  peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur’anul  karim.
 Sedangkan Imam al-Jurjani  rahimahullah dalam kitabnya memberikan makna  al-Hikmah secara bahasa  artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan).  Atau perkataan yang logis  dan bersih dari kesia-siaan. Orang yang ahli  ilmu Hikmah disebut  al-Hakim, bentuk jamaknya (plural) adalah  al-Hukama. Yaitu orang-orang  yang perkataan dan perbuatannya sesuai  dengan sunnah Rasulullah.”.
Al-Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan  kemuliaan yang  mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada  tempatnya  (proporsional). Al-Hikmah juga merupakan ungkapan dari  perbuatan  seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara  yang  tepat pula.
Para ulama tafsir rahimahumullah juga mempunyai  definisi  masing-masing tentang ilmu alHikmah. Yang mana antar pendapat   tersebut saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain. Imam Mujahid   mengartikan al-Hikmah, “Benar dalam perkataan dan perbuatan”. Ibnu Zaid   memaknai, “Cendekia dalam memahami agama.” Malik bin Anas   mengartikan, “Pengetahuan dan pemahaman yang dalam terhadap agama   Allah, lalu mengikuti ajarannya.” Ibnul Qasim mengatakan, “Memahami   ajaran agama Allah lalu mengikutinya dan mengamalkannya.” Imam   Ibrahim an-Nakho’i mengartikan, “Memahami apa yang dikandung   al-Qur’an.” Imam as-Suddiy mengartikan al-Hikmah dengan an-Nubuwwah   (kenabian).
  Ar-rabi’  bin Anas berkata, “
Rasa takut kepada Allah.”  Hasan al-Bashri  memaknai, “
Sifat wara’ (hati-hati dalam  masalah halal dan  haram).” Imam al-Qurthubi berkata, “Semua makna di  atas saling berkaitan  satu sama lain, kecuali pendapat as-Suddi,  ar-Rabi’ dan al-Hasan.  Ketiga pendapat mereka saling berdekatan satu  sama lain. Karena  al-Hikmah sumbernya dari al-Ahkam. Yang artinya  mumpuni dalam perkataan  dan perbuatan. Dan semua makna yang disebutkan  di atas adalah bagian  dari al-Hikmah. Al-Qur’an itu hikmah, sunnah  Rasulullah juga hikmah.” 
Imam at-Thabari rahimahullah menambahkan, “
Menurut  kami, makna  hikmah yang tepat adalah ilmu tentang hukum-hukum Allah  yang tidak  bisa dipahaminya kecuali melalui penjelasan Rasulullah.  Dengan begitu  al-Hikmah disini berasal dari kata al-Hukmu yang bermakna  penjelasan  antara yang haq dan yang bathil. Seperti kalimat al-Jilsah  berasal dari  kata al-Julus. Kalau dikatakan bahwa si Fulan itu orang  yang Hakiim,  berarti dia itu orang yang benar dalam perkataan dan  perbuatan.” Jika kita memperhatikan makna al-Hikmah dalam  ayat-ayat al-Qur’an,  maka akan kita jumpai mayoritas makna al-Hikmah  adalah al-Hadits atau  as-Sunnah. Mayoritas kata al-Hikmah dalam ayat  al-Qur’an disandingkan  dengan kata alKitab yang maksudnya adalah  al-Qur’an.
 Perhatikanlah ayat-ayat berikut, misalnya:
 Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan  ni’ mat Kami  kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu  yang  membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan   mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta   mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui“. (QS.   al-Baqarah: 151).
Artinya : “Dan ingatlah apa yang dibacakan di  rumahmu dari  ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya  Allah adalah  Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Ahzab: 34).
  Di surat lain,
Artinya : “Dia-lah yang  mengutus kepada kaum yang buta huruf  seorang Rasul di antara mereka,  yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada  mereka, mensucikan mereka dan  mengajarkan kepada mereka Kitab dan  Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya  mereka sebelumnya benar-benar  dalam kesesatan yang nyata, (QS. at.  Jumu’ah: 2).
 Dari ragam definisi ilmu  al-Hikmah tersebut, kita bisa memahami  bahwa yang dimaksud dengan ilmu  al-Hikmah adalah ilmu yang mempelajari  al-Qur’an dan al-Hadits, yang  mencakup cara bacanya dengan benar,  pemahaman maksud dan apa yang  dikandungnya, lalu mempraktikkannya dalam  perkataan dan perbuatan.  Apabila perkataan dan perbuatan kita  berlandaskan pada dua kitab  tersebut, maka kita tidak akan salah atau  tersesat dari jalan yang  benar.
  Rasulullah bersabda, “Telah  aku tinggalkan pada kalian dua  hal. Kalian tidak akan tersesat selama  masih berpegang teguh pada  keduanya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan  sunnah nabi-Nya  (al-Hadits).” (HR. Malik, no. 1395).
  Dan tidak ada satupun ayat atau hadits shahih yang  menjelaskan  bahwa maksud dari ilmu al-Hikmah adalah ilmu kesaktian atau   kadigdayaan, yang menjadikan pemiliknya kebal senjata tajam, tidak   terbakar oleh api, bisa menghilang, mampu menerawang atau meramal, bisa   melihat jin dan syetan, serta tujuan kesaktian lainnya. Apalagi kalau   dalam proses mendapatkan ilmu seperti itu dengan puasa atau shalat serta   wirid bacaan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah.
  Ilmu hikmah bukanlah ilmu sihir yang melibatkan  bantuan jin atau  syetan. Sehingga bisa di transfer dari satu orang ke  orang lain,  dipamerkan di tempat-tempat keramaian, dijadikan sebagai  bahan  pertunjukan, dipelajari dalam waktu sekejap, dimiliki dengan   ritual-ritual khusus, dikuasai dengan media jimat, wifik, rajah atau   benda pusaka, atau diperjual-belikan dengan mahar-mahar tertentu.
  Ilmu Hikmah adalah ilmu panduan, yang membimbing  kita kita  mengenal ajaran-ajaran Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya,  sehingga  kita bisa mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana  yang  diperintahkan dan mana yang dilarang. Dengan ilmu hikmah seperti   itulah, kita akan menjadi orang yang benar dalam perkataan dan   perbuatan. Itulah sejatinya ilmu Hikmah!