Hakekat Definisi Tasawuf

Keterangan Tentang Kebenaran dan Argumentasinya Syekh Abu Nashr as-Sarraj' - rahimahullah - berkata: “Ada sekelompok orang yang hanya memahami segala sesuatu secara lahiriah telah mengingkari adanya ilmu batin (tasawuf). Mereka berkata, ‘Kami tak tahu ilmu lain selain ilmu syariat yang zhahir yang dibawa oleh al-Qur'an dan Sunnah’. "

Mereka juga berkata, "Pendapat Anda yang menyatakan adanya ilmu batin dan ilmu tasawuf tak memiliki bobot makna apa-apa."

Maka kami perlu menjawabnya - semoga Allah memberi taufik pada kita

Sesungguhnya ilmu syariat adalah suatu disiplin ilmu dan suatu nama yang mengandung dua makna: riwayat (narasi) dan dirayat (pemahaman). Jika Anda telah mengumpulkan dua makna tersebut, maka itu adalah ilmu syariat yang mengajak pada berbagai amal, baik lahiriah maupun batiniah. Dan memang tidak sepantasnya jika kita berbicara tentang ilmu untuk dibeda-bedakan menjadi ilmu batin dan ilmu zhahir. Sebab apabila ilmu itu berada dalam hati nurani, berarti ilmu batin sampai ia muncul dalam ucapan. Dan jika telah muncul dalam bahasa lisan maka itulah ilmu zhahir.

Hanya saja kami tetap perlu mengatakan, bahwa ilmu itu ada yang batin dan ada yang zhahir. Ilmu itu tak lain adalah ilmu syariat yang menunjukkan dan mengajak untuk melakukan aktivitas (amal) lahiriah dan batiniah. Sedangkan apa yang disebut dengan amal zhahir adalah aktivitas anggota tubuh yang menyangkut ibadah dan hukum.

Adapun yang menyangkut ibadah adalah seperti masalah bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan lain-lain.

Adapun yang menyangkut hukum adalah seperti hudud (hukum pidana), talak, pemerdekaan budak, jual beli, fara'idh (warisan), qishas (hukum pembalasan) dan lain lain. Ini semua berkaitan dengan anggota badan bagian luar.

Adapun yang berhubungan dengan aktivitas batiniah adalah seperti perbuatan hati, yang berupa kedudukan dan kondisi spiritual, seperti tashdiq (pembenaran), iman, yakin, jujur, ikhlas, ma'rifat, tawakal, mahabbah (cinta), ridha, dzikir, syukur, inabah (kembali kejalan Allah: tobat), khasyyah (takut), takwa, muraqabah (menjaga hati nurani), fikrah, i'tibar (mengambil pelajaran), khauf (takut siksa), raja' (berharap rahmat Nya), sabar, qana'ah (puas atas bagian yang diberikan), taslim (tunduk), tafwidh (pasrah), qurb (mendekatkan diri kepada Allah), syauq (rindu), wajd (suka cita dengan Allah), wajal (takut), huzn (sedih), nadm (menyesal), haya' (malu), khajal (malu), ta'zhim (mengagungkan), ijlal (memuliakan) dan haibah (sungkan karena kewibawaan Nya).

Masing masing aktivitas, baik yang bersifat lahir maupun batin ada ilmu, keterangan, fiqih, pemahaman, perasaan hati dan hakikatnya tersendiri.

Sementara itu, masalah kebenaran amal lahiriah maupun batiniah selalu didukung oleh argumentasi ayat ayat al-Qur'an dan Hadis-hadis Rasulullah saw. yang hanya bisa diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak akan terungkap oleh mereka yang tidak tahu.

Apabila kami mengatakan tentang ilmu batin, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang aktivitas batin yang merupakan anggota badan yang batin, yakni hati.

Sebagaimana jika kami katakan ilmu zhahir, maka yang kami maksudkan adalah ilmu tentang aktivitas zhahir yang menyangkut semua anggota yang lahir, yaitu seluruh anggota badan.

Allah swt. berfirman, "... dan Dia menyempurnakan untukmu nikmat Nya lahir dan batin." (Q.s. Luqman: 20). Nikmat lahiriah ialah apa yang Allah karuniakan pada anggota badan yang lahir untuk berbuat taat. Sedangkan nikmat batin adalah berbagai kondisi spiritual yang Allah karuniakan pada hati.

Dan tentu saja yang zhahir tidak bisa lepas dari yang batin, dan begitu sebaliknya, yang batin juga selalu membutuhkan yang zhahir.

Allah swt. berfirman: "Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)." (Q.s. an-Nisa': 83).

Sedangkan ilmu yang diperoleh dengan cara istinbath adalah ilmu batin, yaitu ilmu yang dimiliki orang-orang Sufi. Sebab mereka memiliki berbagai hasil istinbath dari al-Qur'an, Hadis dan lain lain. - Sebagian dari masalah ini akan kami bahas kemudian, Insya Allah.

Dengan demikian, maka ilmu itu ada ilmu zhahir dan ilmu batin. Al Qur'an adalah zhahir dan batin, Hadis Rasulullah saw. juga zhahir dan batin. Begitu pula Islam, zhahir dan batin.

Sementara itu sahabat sahabat kami dari kaum Sufi dalam memahami makna makna tersebut juga memiliki dalil dalil dan argumentasi dari al-Qur'an, Sunnah dan akal (rasional). Dan untuk menerangkan hal ini akan sangat panjang dan akan keluar dari uraian ringkas yang kami maksudkan. Maka apa yang kami kemukakan bisa dianggap cukup - Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.(Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj)
Definisi Tasawuf
Dalam sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari para Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Namun Reinold Nicholson, salah satu guru para orientalis, membuat telaah yang terlalu empirik dan sosiologik mengenai Tasawuf atau Sufi ini, sehingga definisinya menjadi sangat historik, dan terkebak oleh paradigma akademik-filosufis. Pandangan Nicolson tentu diikuti oleh para orientalis berikutnya yang mencoba mentyibak khazanah esoterisme dalam dunia Islam, seperti J Arbery, atau pun Louis Massignon. Walaupun sejumlah penelityian mereka harus diakui cukupo berharga untuk menyibak sisi lain yang selama ini terpendam.

Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan ‘Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Budha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme. Penelitian filosufis ini, tentu sangat menjebak, karena fakta-fakta spiritual pada dasarnya memiliki keutuhan otentik sejak zaman Rasulullah Muhammad saw, baik secara tekstual maupun historis.

Dalam kajian soal Sanad Thariqat, pada Bab II bagian 3, bisa terlihat bagaimana validitas Tasawuf secara praktis, hingga sampai pada alurnya Tasawuf rasulullah saw. Fakta itulah yang nantinya bisa membuka cakrawala historis, dan kelak juga berpengaruh munculnya berbagai ordo Thariqat yang kemudian terbagi menjadi Thasriqat Mu’tabarah dan Ghairu Mu’tabarah.

Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi.

Dalam penyusunan buku Ar-Risalatul Qusyairiyah misalnya, ia menegaskan bahwa apa yang ditulis dalam Erisalah tersebut untuk menunjukkan kepada mereka yang salah paham terhadap Tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah friman Allah swt.:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglkah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.,” (Q.s. Asy-Syams: 7-8)

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat.” (Q.s. Al-A’laa: 14-15)

“ Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa.” (Q.s. Al-A’raaf: 205)

“Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah : 282)

Sabda Nabi saw:

“Ihsan adalah hendaknya negkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu” (H.r. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

Tasawuf pada prinsipnya bukanlahg tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah impklementasi dari sebuah kerangka agung Islam.

Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:

Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”

Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.”

“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”

“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”

“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”

“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’, dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”

“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”

“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”

Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”

Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem,bunyi.”

Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”

Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”

Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.”

Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendakiNya.”

“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra, dan memilih.”

Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.

Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”

Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat dio hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”

Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”

Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala manakala tidak punya, dan peduli orang lauin ketika ada.”

Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”

Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”

“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”

Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt. tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan Aku telagh memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memiusahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya, “Engkau takl akan bisa melihatKu.”

“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”

“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”

“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”

Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”

Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”

Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”

Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”

Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? ” Lalu ia menjaqwab, “Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”

Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki sarana-sarana duniawy. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya diosebut Sufi.”

Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”

Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”

Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang rtevbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, “Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
Abu Sahl ash-Sha’luki:

“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.
Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt, dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan RasulNya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.

Terminologi Tasawuf

Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu:
Ma’rifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah dan Uns, Tawajud – Wajd – Wujud, Jam’ dan Farq, Fana’ dan Baqa’, Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan Sukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Itsbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum, Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawathir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya.
Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain:

Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf, Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusyu’ dan Tawadhu’, Jihadun Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakkal, Syukur, Yakin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, Kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firasat, Akhlaq, Kedermawaan, Ghirah, Kewalian, Doa, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatn, Tauhid, Keluar dari Dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karomah, Mimpi, Thareqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.

Seluruh istilah tersebut biasanya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari substansi dibalik istilah-sitilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan substansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.

Directions:
Mohammad Luqman Hakim MA.

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib