Hakekat Hijab

Membuka Hijab
Istilah hijab sebenarnya baru muncul setelah orang mulai serius mendalami pengetahuan tentang ma'rifatullah, segala cara amalan ibadah diterapkan untuk memudahkan sampainya seseorang kepada tingkat mukhlasin. Yaitu orang yang benar-benar berada dalam keadaan rela dan menerima Allah sebagai Tuhannya secara transenden. Amalan amalan ibadah yang mereka lakukan merupakan kutipan-kutipan perintah ibadah sunnah maupun yang wajib. Sehingga mereka menyakininya bahwa mutiara-mutira Al Qur'an itu memang benar adanya.

Hijab adalah tirai penutup, didalam ilmu tasawuf biasa disebut sebagai penghalang lajunya jiwa menuju Khaliknya. Penghalang itu adalah dosa-dosa yang setiap hari kita lakukan. Dosa merupakan kabut yang menutupi mata hati, sehingga hati tidak mampu melihat kebenaran yang datang dari Allah. Nur Allah tidak bisa ditangkap dengan pasti. Dengan demikian manusia akan selalu berada dalam keragu-raguan atau was-was. Didalam bab ini saya tidak membahas masalah dosa seperti apa yang saya sebut diatas. Karena ketertutupan atau terhijabnya kita atas keberadaan Allah disebabkan ketidak tahuan (kebodohan) dan sangkaan (dzan) akan Allah yang keliru. Maka dari itu saya hanya ingin membuka wawasan dalam hal ketidaktahuan kita akan Allah, yaitu jawaban-jawaban Allah atas pertanyan kita selama ini

Seperti yang pernah saya katakan pada artikel bab hati, bahwa hati merupakan pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah manusia menanyakan dimanakah Allah? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada "sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " (QS 2:186)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya (QS 50:16)

Pertanyaan tentang keberadaan Allah sering kali kita mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan, bahkan kita mendapatkan cemoohan sebagai orang yang terlalu mengada-ada. Menanyakan keberadaan "Tuhanku" adalah merupakan pertanyaan fitrah seluruh manusia.

Allahpun mengetahui akan hal ini, sehingga Allah memberikan jawaban atas pertanyaan hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah.

Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab "….Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat dari urat leher kalian…atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku ….dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."

Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah :

"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)

Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.

Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.

Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat ayat 54, … Allah meliputi segala sesuatu … adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.

Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.

Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :

"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku" (QS 20:14)

Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat … sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi
Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.

Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat … sifat menyertai nama … nama menandai af'al. Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.

Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kalimat …. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri.

Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, … seperti apa? Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst….

Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu). Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.

Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:

"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang yang indah "(QS 20:8)

Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus mampu memfanakan diri, ... yaitu memahami keberadaan makhluq adalah tiada….

Untuk lebih jelasnya akan saya berikan perumpamaan keberadaan alam dan yang menciptakan.

Ketika kita melihat kereta api berjalan diatas rel, terbetik dibenak kita suatu pertanyaan. Bagaimana roda-roda yang berat itu bisa bergerak dan lari. Tak lama kemudian kita akan sampai kepada pemikiran tetang alat-alat dan mesin-mesin itulah yang menggerakkan roda yang berat itu. Adakah setelah itu kita dibenarkan jika berpendapat bahwa alat kereta itu sendiri yang menggerakkan kereta tersebut. Perkaranya tidak semudah itu, sebab kita tidak boleh mengabaikan bahwa disana ada masinis yang mengendalikan mesin. Kemudian ada insinyur yang menciptakan rancangan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, maka pada hakekatnya tak ada wujud bagi kereta itu, dan tidaklah mungkin terjadi gerakan dan perputaran pada roda-roda tanpa kerja insinyur. Mesin-mesin itu bukanlah akhir dari cerita sebuah kereta api, akan tetapi hakikat yang paling akhir adalah "akal" yang telah mengadakan mesin itu, kemudian menggerakkan menurut rencana yang telah dipersiapkan.

Mengikuti ilustrasi realitas kereta api, mulai dari gerbong yang digerakkan oleh roda-roda, kemudian roda-roda digerakkan oleh mesin, mesin digerakkan oleh masinis, dan semua itu direncanakan, oleh yang menciptakan yaitu insinyur. Pertanyaan terakhir adalah : "Mungkinkah roda-roda, mesin, dan alat-alat kereta api itu mampu melihat yang menciptakan?" Jawabannya adalah insinyur itu sendiri yang mengetahui akan dirinya, sebab kereta api dan insinyur berbeda keadaan dan bukan perbandingan….

Realitas instrumen kereta api tidak ada satupun yang serupa jika dibandingkan dengan keadaan realitas insinyur. Kemudian mengetahui keadaan realitas kereta api dari awal sampai akhir, merupakan kefanaan atau penafian bahwa realitas kereta api adalah ciptaan semata.

Firman Allah :

"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" ( QS 6:102-103)

Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ... berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia … yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos.

Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.

Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :

"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa : ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman …" (QS 7:143)

Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".

Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang saya maksudkan dengan tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri dan kemudian mengenal-Nya (ma'rifat)

Syekh Ahmad bin `Athaillah, didalam Al Hikam menyebutkan bahwa :

"Tiada sesuatu benda yang menghijab engkau dari Allah, tetapi yang menghijab engkau adalah persangkaanmu adanya sesuatu disamping Allah, sebab segala sesuatu selain dari Allah itu pada hakikatnya tidak maujud (tidak ada) sebab yang wajib ada hanya Allah, sedang yang lainnya terserah kepada belas kasihan Allah untuk diadakan atau ditiadakan".

Seorang arif berkata : "Adanya makhluq semua ini bagaikan adanya bayangan pohon di dalam air. Maka ia tidak akan menhalangi jalannya perahu. Maka hakikat yang sebenarnya tiada sesuatu benda apapun yang maujud disamping Allah untuk menghijab engkau dari Allah. Hanya engkau sendiri mengira bayangan itu sebagai sesuatu yang maujud."

Ibarat seseorang yang bermalam disuatu tempat, tiba-tiba pada malam hari ketika ia akan buang air, terdengar suara angin yang menderu masuk lobang sehingga persis sama dengan suara harimau, maka ia tidak berani keluar. Tiba pada pagi hari ia tidak melihat bekas-bekas harimau, maka ia tahu bahwa itu hanya tekanan angin yang masuk ke lobang, bukan tertahan oleh harimau, hanya karena perkiraan adanya harimau.

Sang Syekhk berkata : "andaikan Allah tidak dhahir pada benda-benda alam ini, tidak mungkin adanya penglihatan pada-Nya. Dan andaikan Allah tidak mendhahirkan sifat-sifat-Nya, pasti lenyaplah alam benda-benda. Ketika Allah bertajalli kepada gunung, hancurlah gunung itu, sedang Musa jatuh pingsan … "

Pertanyaan demi pertanyaan timbul dari ketidaktahuan (hijab), kenyataaan bahwa Allah sangat dekat … tertutup oleh kebodohan ilmu kita selama ini. Allah seakan jauh diluar sana …sehingga kita tidak merasakan kehadiran-Nya yang terus menerus berada dalam kehidupan kita. Dari keterangan diatas menyimpulkan bahwa kita ternyata telah salah kaprah mengartikan sosok dzat selama ini, yang kita sangka adalah konsepsi "saya", bukan konsepsi hakiki, yaitu wujud yang tak terbandingkan oleh perasaan, pikiran , mata hati, dan seterusnya. Allah kita adalah Allahnya Musa, ... Allahnya Ibrahim, ... dan Allahnya Muhammad … yaitu yang Maha tak terjangkau oleh apapun…

Kini saatnya kita bertakbir tertuju kepada dzat …bukan kepada sifat … (fa' bud nii) sembahlah AKU …, sehingga fanalah "diri" dan semesta.

Tafakkur dan Meditasi Transendental

Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang ... bukan besok !

Firman Allah :

"Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada Tuhanmu, maka engkau akan menemuinya". (QS 84:6)

"ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala sesuatu". (QS 41:54).

Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi orang yang khusyu'. Siapakah orang yang khusyu' itu, ialah orang yang mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali (kedudukannya sebagai fa'il), bukan yang akan kembali.

Kekhusyu'an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain Islam.

Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator … penyembuh, pastor, atau pendeta … biksu yang tekun beribadah … atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak menggunakan pengertian ke-Tuhanan sama sekali …

Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu. Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal, seperti perasaan rindu …cinta … sedih … bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim sebagai milik orang Islam saja..atau orang kristen ... dan yang lain.

Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit parah ... ia bisa sembuh …pendeta Budha pun demikian ... dan tidak sedikit pula dari kalangan Islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, ... iapun bisa sembuh.

Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut, kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal. Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia, melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi. Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya dengan pengaruh-pengaruh tertentu.

Kegiatan-kegiatan "pikiran dalam" itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati, merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.

Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang Islam, adalah bahwa salah satu unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual. Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama.

Sebagian kalangan Islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap perbuatan itu adalah bid'ah.

Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar. Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur sehingga dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam hal ini Al Ghazaly dalam Ihya'nya mengatakan: "Jika ilmu sudah sampai dihati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan
berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan, dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir, karena pikiran adalah dzikir plus". (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya' ulumuddin jilid IV hal. 389)

Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga merupakan segala perbuatan lahir dan batin. Oleh karena itu, hati yang selalu merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.

Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga. Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran; "sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)

Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.

Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakkur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.

Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat, perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat, yang disebut istilah "syuhud". Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.

Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan, kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya rapi, pemandangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyu'an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga. Sekadar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif, pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.

Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada keadaan primitif yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak (ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.

Sarana - sarana Tafakkur

Di dalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulang-ulang suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra) memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru tentang sesuatu obyek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan gambaran yang paling sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.

Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalaman-pengalaman serta pengaruh yang dirasakan sama, apakah itu metode yang yang digagas oleh Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Diantaranya yang dilakukan dalam meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada obyek meditasi. Ia harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada "apa" yang ia pilih sebagai obyek pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasif yang rileks. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah ,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.

Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada obyek yang maha tak terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada obyek tertentu, ada yang menggunakan patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang mengganggu konsentrasi, keruwetan angan-angan fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan keramaian.

Keduanya juga sejalan dalam hal latihan,proses melihat dan mengulang kata-kata (dzikir), atau makna obyek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya mengunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.

Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan "melihat tanpa bola mata", "mendengar tanpa daun telinga" dan merasakan keuniversalan jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. "Inilah jiwa" yang memiliki "watak" yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah "kemana akhir kembalinya jiwa".

Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap dengan pikiran kepada suatu obyek yang diyakininya. Serta sensasi yang mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh aliran spiritual yang ada di dunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi. Ada jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan manfaatnya. ( )

Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam mengungkapkan "keadaan" atau suasana yang dialami oleh spiritualis, pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi "catatan" bagi para pemula didalam menjalani "laku spiritual", terutama obyek apa yang digunakan dalam menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.

Islam menempatkan "Allah" sebagai obyek yang tak terbandingkan merupakan sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa yang bebas (ikhlas). Firman Allah :

"Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau ,aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka" (QS 38:82-83)

Pada alam inilah "jiwa " mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan Allah-pun memanggilnya kembali kesisi-Nya.

"Wahai jiwa yang tenang (yang tidak terikat oleh syahwatnya)…" "Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai" "Dan masuklah kamu kedalam syurga-Ku" (QS 89:27-30)

Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati, ia hanya mengatakan "di atas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum terwujud".

Pada tahapan kesepuluh "Anami lok", dan kata-kata yang digunakan sebagai objek spiritual adalah "HU" (Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua ... tiada Tuhan kecuali Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qur'ani yang membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi 'anak-anak syetan' yang menempati setiap ruang angkasa spiritual.

Dilanjutkan kepada tahapan sebelas "alam sugmad" dan tahapan duabelas "sugmad" yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir) yaitu keadaan samudra cinta dan kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari ikatan segala macam alam).

Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan saat beliau pergi mi'raj dengan kekuatan jiwa muthmainnah sabda Nabi:

"Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya" (al hadist)

"Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)" (Hr Ahmad dari abu Hurairah)

Pada tahapan tertinggi (Al A'raaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena alam di bawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan, dan getaran gelombang-gelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin. Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.

Firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS 7:201)

"Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru" (QS 37:8)

"Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan Allah" (QS 16:99-100)

Pada ayat-ayat ini dijelaskan bahwa apabila obyek meditasinya bukan tertuju kepada yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperilaku kharikul 'adah (keluar dari ketentuan syariat Allah).

Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang tertulis dalam Al Qur'an dan Al sunnah.

Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantra-mantra, untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi, kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan. Walaupun ia menggunakan sarana kalimat thayyibah (misalnya "Allah, laa ilaha illah, subhanallah"), kalimat-kalimat ini bukan sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantra-mantra suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomena-fenomena kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke"aku"an manusia. Alam ini masih termasuk dunia syahwat.

Selama ilmu kita mengenai Tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh pikiran dan perasaan sebagai obyek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan Islam.

Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdebatan kecil antara Allah dan syetan:

Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?

Iblis berkata : Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.

Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari pembalasan.

Iblis berkata: Ya Tuhanku … beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.

Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat)

Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka…. (QS 38:75-83)

Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi, serta tanjakan-tanjakan yang banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah kepada Allah yang maha mutlak (ber-Islam = berserah diri secara total)..Inna lIlahi wa inna ilaihi raji'un…..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)

Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan sarana mi'rajnya orang mukmin. Dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.
Perjalanan Menyibak Hijab
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyibak hijab, terutama bagi setiap orang yang berjalan menuju Allah (salik). Sebab ketika seseorang tidak mampu menyibak hijab, berarti selama itu pula dia tidak bisa lepas dari jeratan syirik, baik syirik jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi).

Syarat utama untuk berjumpa dengan Allah tidak boleh syirik sama sekali, teristimewa dalam menjalankan ibadah. Perjuangan yang harus terus dilakukan ialah mencari cara agar mampu menyibak hijab itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, yang selalu mengajak orang berpaling dari Allah adalah nafsu yang ada di dalam diri, terutama nafsu ammarah, lawwamah dan sawwiyah, (sudah pernah dijelaskan sebelumnya)

Nafsu, meski di satu sisi berfungsi menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya kehidupan dunia. Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, karena desakan beragam peristiwa, keadaan, keinginan dan ambisi.

Dalam situasi demikian, pandangan seseorang akan mudah terhijab (terdindingi) dan berpaling kepada selain Allah. Untuk itu dibutuhkan kemampuan mengendalikan nafsu agar tidak terhalang dalam memandang Allah.

Karena ketika nafsu tidak mampu dikendalikan, maka nafsu tersebut akan mengusai diri sepenuhnya, bahkan dapat menjadi tuhan selain Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al Jaatsiyah: 23).

Pada saat nafsu telah menguasai diri, itu pertanda hijab telah menutupi pandangan hati, juga tidak menutup kemungkinan akan merambah ke pendengaran, penglihatan dan akal. Pada akhirnya, penglihatan tidak mampu menyaksikan keindahan sifat Allah, endengaran tidak mampu merasakan dahsyatnya ayat-ayat Allah dan akalnya tidak mampu menerima percikan cahaya Ilahi.

Itu semua adalah tanda dari orang yang sedang disesatkan Allah. "Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus" (Al An'aam: 39).

Salah satu cara untuk menyingkap hijab adalah dengan jalan mengendalikan nafsu dan mematikannya. Dalam hadis Nabi saw. menganjurkan: >i?"Matikan nafsumu sebelum kamu mati." (tertera pada Kitab Addurun Nafis).

Orang yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan memiliki pandangan yang jernih dalam menatap Wujudul Haq (wujud Allah). Diumpamakan bagai telaga yang airnya jernih, tampak jelas keindahan semua isinya.

Sebaliknya, telaga yang airnya kotor tidak terlihat apapun, kecuali hanya kekeruhan. Orang yang dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya dan takut Tuhannya, akan memetik keindahan syurga.

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurga sebagai tempatnya." (An Naajiyat: 40).

Orang-orang seperti itulah yang akan dapat menikmati keindahan syurga, yaitu terbukanya tirai Ilahi. Barangsiapa rindu berjumpa dengan Allah, hendaklah menahan diri dari mengikuti hawa nafsu. Berbahagialah orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dari keterikatan hawa nafsu.

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu senantiasa berhubungan (memandang Allah)." (Al 'Ala: 14-15).

Prasangka

Hijab paling dahsyat ialah zhan (baca: zon atau prasangka). Disusul hijab "rasa" yang sangat berbahaya dan bisa meruntuhkan benteng keyakinan. Semua itu adalah hijab dalam memandang wujud Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka-sangka, karena sebagian dari sangka-sangka itu dosa." (Al Hujaraat: 13).

Apa yang telah menjadi prasangka kebanyakan orang tentang adanya sesuatu selain Allah, sesungguhnya jauh dari kebenaran. Karena prasangka tersebut, hanya sebuah pandangan atau sebatas persepsi yang sudah melekat erat sesuai alur kehidupan.

"Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (An Najm:28).

Karenanya, singkirkan segala prasangka dari dalam hati dan pikiran, dengan cara syuhud. Yakni memandang ke-esa-an wujud Allah melalui basyiratul qalbi (mata hati).

Penyibak hijab

Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi (pandangan mata hati) seperti kaidah yang tertera dalam kitab Addurun Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH "Pandang yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak". Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah:

"Tidak aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya". Itulah kunci-kunci penyibak hijab.

Kunci-kunci tersebut harus dipraktekkan dengan landasan pemahaman tentang tauhidul af'al, tauhidul asma, tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap zat hakikatnya adalah zat Allah.

Bila semua perbuatan, nama, sifat dan zat telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang disebut akhlakul karimah. Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan.

Sebagaimana terlukis pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas, tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya. Akhlak tersebut tidak dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud.

Acuan syuhud adalah kalimat laailaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna: Tidak ada sesuatu apapun selain Allah. Rasulullah saw. bersabda: "Kunci syurga itu laailaha illallah".

Disebut kunci syurga, karena syurga bagi orang yang sedang menuju Allah dipahami sebagai syurga dalam arti ma'rifah. Seseorang tidak akan ma'rifah tanpa membuka kuncinya. Kunci itu adalah mengamalkan kalimat laailaha illallah sampai menemukan hakikat fana.

"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar Rahmaan: 26-27).

Tatkala sampai pada derajat fana, maka tersibaklah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun sebagai kunci pembuka tirai ilahi.

Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi Syuhud ada dalam rasa. Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa dalam arti esa. Demikian syuhud bagi para arifin billah. Tapi syuhud bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya, hingga tertanam 'ilmal yaqin (keyakinan ilmu).

Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan syua'ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring zikir yang istiqomah.

Sehingga muncul inner power atau kekuatan dari dalam diri yang dapat memicu semangat berjalan menuju kepada-Nya. Akhirnya dengan pengamalan syuhud yang benar akan runtuh segala prasangka dan tersingkaplah seluruh hijab.

Menghadirkan Allah

Membiasakan syuhud sekaligus diiringi zikir, ibadah, dan thariqah (tarikat) itu harus dilakukan dengan bimbingan seorang mursyid, yakni seorang pembimbing yang waliyan mursyidan, waratsatul anbiya (pembimbing yang bijak dan benar-benar sebagai pewaris nabi).

Untuk bisa mengamalkan syuhud dengan baik dan benar perlu diiringi dengan zikir. Baik dengan zikir lisan, zikir aqli (akal), zikir qalbi (hati) maupun zikir sirri (rahasia). Juga diperlukan upaya yangsungguh-sungguh agar Allah selalu hadir (hudhurullah) di dalam hati, sehingga secara perlahan-lahan akan selalu memandang Allah. Bahkan yang ada dan yang dipandang hanya keelokan dan keagungan wujud Allah.

Hudhurullah adalah membalik kesadaran hamba menjadi kesadaran robbaniyah (ketuhanan). Apabila pandangan hamba menghadap kepada Allah niscaya hilanglah mahluk dan yang tampak adalah wujud-Nya.

Sebaliknya apabila pandangan hamba menghadap kepada mahluk, niscaya hilanglah Allah. Dua pandangan tersebut tidak dapat berjalan secara bersamaan.

Untuk memahami hal tersebut harus mengerti istilah "nafi itsbat" dalam kalimat Laailaaha illallah. Lafaz laa adalah nafi, artinya meniadakan. Sedangkan lafaz Ilaaha sebagai manfi, artinya yang ditiadakan. Adapun itsbat-nya adalah lafaz Illa, artinya kecuali. Dan mutsbit-nya adalah Allah. Lafaz Ilaha berarti sesuatu yang dimaknai Tuhan. Sesuatu yang menjadi tuhan, meliputi segala yang dicintai dan disayangi hingga membatu dan berubah jadi berhala dalam hati.

Karena itu, dalam kalimat nafi istbat yang harus dinafikan adalah pandangan kepada makhluk. Sebab selama memandang makhluk, tidak mungkin dapat memandang Allah dan untuk dapat memandang Allah, harus fana kemakhlukannya.

Allah dan makhluk tidak dapat disatukan juga tak bisa dipisahkan, masalah ini bagaikan keberadaan malam dengan siang. "Semua yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar Rahmaan: 26-27).

Menunggu Warid

Untuk menyibak hijab, seseorang tidak bisa mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya, melainkan semata-mata dengan kekuatan dan anugerah Allah. Banyak orang yang terhijab dalam memandang Allah, karena belum mendapatkan warid (anugerah) dari Allah. Namun kehadiran anugerah Allah tidak bisa didikte oleh kehendak hamba, melainkan semata-mata karena kehendak-Nya.

Seseorang yang berharap dan menunggu anugerah Allah, seyogianya melakukan kaifiat (tata cara) riyadhah dan mujahadah (ibadah dan berjuang) untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Karena itu, apapun usaha yang dilakukan seseorang untuk menyingkap hijab dengan mengamalkan zikir, mengendalikan nafsu, melaksanakan qiyamul lail (sholat malam) dan melakukan riyadhah mujahadah, semua itu tidak lepas dari minnah atau anugerah Allah.

Sehingga semua amal ibadah yang dilakukan tetap dikembalikan kepada Allah. Sebaliknya, apabila amal ibadah tersebut disandarkan pada dirinya sendiri, malah menambah hijab.

Maka apa pun yang dilakukan, hendaklah dipandang bahwa semua itu adalah warid (anugerah) dari Allah. Perlu dipertegas di sini, bahwa anugerah Allah tidak dapat dicari dengan usaha apapun, melainkan hanya bersandar kepada Allah semata.

`Tersingkapnya hijab bagi hamba dalam memandang Allah, karena telah mendapatkan percikan anwar ilahiyah (cahaya Allah). Ketika seseorang telah mendapatkan warid, maka hatinya senantiasa lega dan lapang dalam menghadapi apapun, termasuk sesuatu yang tidak sesuai dengan nafsunya.


Bimbingan Syekh Mursid

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menyibak hijab, yang paling utama adalah kemampuan mengendalikan nafsu, nafsu yang selalu mengajak ingkar kepada Allah, nafsu yang membenamkan seseorang pada kenikmatan hidup secara syahwati, nafsu yang memalingkan pandangan seseorang pada selain Allah.

Disamping itu, juga harus menghilangkan prasangka. Karena prasangka yang muncul dari akal pikiran, biasanya telah tercampur dengan adat kebiasaan yang berlaku di seputar kehidupannya.

Jika ingin menghilangkan prasangka tentang adanya sesuatu selain Allah, maka harus bisa menerapkan syuhud dengan benar. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu tauhid yang mukasyafah (terbuka).

Untuk mempelajari ilmu tauhid yang benar, harus mendapat bimbingan dari seorang mursyid, yaitu seorang pembimbing spiritual yang memiliki "mandat ruhaniah" untuk membimbing salikin menuju kepada-Nya. Adalah merupakan anugerah besar bagi seseorang yang telah dipertemukan dengan seorang pembimbing yang demikian, karena hanya dengan petunjuk dan anugerah dari Allah sajalah seseorang bisa dipertemukan dengan mursyid.

Dalam Al Qur'an telah diisyaratkan bahwa bagi orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka akan dipertemukan dengan seorang guru yang mampu membimbing dalam wilayah ruhaniah, yaitu yang disebut Syekh Mursyid yang kamil mukamil (sempurna).

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (Al Kahfi: 17).

Yang dimaksud wali dalam ayat di atas ialah pemimpin spiritual. Pemimpin tersebut adalah orang yang telah mencapai puncak spritual, mereka itulah yang dikenal dengan gelar Waliyullah atau Arifin billah. Para Waliyullah inilah yang memiliki mandat ruhaniah untuk menjadi mursyid (pembimbing) bagi para penempuh jalan menuju Allah.

Mursyid dalam arti pembimbing bagi orang yang menuju Allah, berbeda dengan ulama yang hanya sebatas memahami ilmu fikih belaka. Juga berbeda dengan para akademisi dan pakar tasawuf yang biasanya hanya sebatas wacana, tidak mengenal apalagi menyelami wilayah ruhaniah yang sesungguhnya.

Dengan memperoleh bimbingan dari seorang syekh mursyid yang kamil mukamil, seorang salik akan terbimbing dalam perjuangan menyibak ribuan hijab yang menghalangi perjalanannya. Ketika hijab kegelapan telah tersingkap, maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerobos menerangi hati. Dan nyatalah rahasia-rahasia ketuhanan melalui penglihatan mata hati (bashiratul qalb).
Sebab-Sebab Hati TerHijab

JASAD batin atau ruh yang selalu kita artikan sebagai hati, mempunyai kemampuan memandang dan mengenal sesuatu, merasakan kesenangan dan kesusahan, mengetahui yang lahir maupun yang batin khususnya mengetahui keberadaan Allah SWT.

Itulah kelebihan manusia daripada makhluk lain yaitu mempunyai hati yang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya sehingga menjadi hamba Allah yang benar-benar takut pada Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah : Terjemahannya : Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka.(Al Anfaal : 2)

Hati yang terang-benderang seperti itu dimiliki oleh para ‘ariffin, muqarrobin dan solehin. Hati mereka dapat melihat dan betul-betul mengenal sifat-sifat keagungan Allah. Karena itu mereka benar-benar dapat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya ada juga manusia yang hatinya gelap (buta) tidak dapat melihat dan mengenal Allah. Hal itu juga difirmankan oleh Allah SWT : Terjemahannya : Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama seperti orang yang buta (mengetahui)? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.(Ar Ra’d : 19)

Firman Allah lagi :Terjemahannya : Mereka itulah orang-orang yang hatinya, pendengarannya dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai.(An Nahl : 108)
Dari Umar Al Khattab, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :"Cap penutup hati tergantung di kaki arasy. Bila seseorang melanggar larangan Allah (menghalalkan yang diharamkan oleh Allah) maka Allah akan menutup hati mereka dengan cap penutup hati tersebut."

Bila hati sudah buta, atau sudah dikunci mati oleh Allah SWT, maka hati tidak dapat lagi mengenal Allah. Begitulah hati orang-orang kafir dan munafik yang menyebabkan mereka menolak kebenaran.

Namun bukan hanya hati orang kafir dan munafik saja yang sudah buta, kita sebagai umat Islam pun masih banyak yang hatinya buta. Buktinya adalah kita masih sering membuat dosa (kecil atau besar). Orang yang masih membuat dosa adalah orang yang tidak takut pada Allah. Orang yang tidak takut pada Allah adalah orang yang tidak kenal siapa Allah. Jika tidak kenal Allah menandakan bahwa hati telah buta.

Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Sesungguhnya seorang mukmin apabila ia melakukan dosa maka terjadilah satu bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan berusaha membuangnya (bintik hitam tersebut) maka akan selamatlah hatinya. Kalau dosanya bertambah maka hatinya akan semakin terkunci.
Sabda baginda lagi yang maksudnya :Orang yang membuat satu dosa hilanglah sebagian akalnya untuk tidak kembali lagi selama-lamanya.

Kalau mata kita buta, maka kita tidak dapat melihat, tidak dapat mengenal bahkan tidak dapat berjalan lagi. Begitulah kalau hati kita buta, kita tidak dapat mengenal Allah dan tidak dapat menempuh jalan syariat lagi. Kita tidak takut, tidak redha, tidak tawakal, tidak yakin, tidak berharap kepada Allah, tidak cinta, tidak yakin dengan janji-Nya yaitu Syurga, Neraka, Hari Hisab, siksa kubur, dan lain-lain lagi. Bila perasaan tersebut sudah tidak ada di hati kita maka datanglah penyakit hati.
Firman Allah :Terjemahannya : Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al Baqarah : 10)

Mereka akan tersiksa di dunia dan di Akhirat. Di dunia mereka akan merasa kecewa, putus asa, berkeluh kesah, dan tidak tenang. Di akhirat tentulah lebih tersiksa lagi.

Penyakit hati yang Allah maksudkan itu diantaranya ialah iri dengki, dendam, buruk sangka, serakah, cinta dunia, bakhil, pemarah, penakut, riya', ujub dan sombong.

Langkah pertama yang wajib ditempuh untuk mengobati penyakit hati kita ialah dengan mengobati hati yang buta itu. Bila hati sudah tidak buta maka penyakit-penyakit hati lainnya akan hilang dengan sendirinya.

Kalau mata kita sakit atau buta, maka kita akan pergi ke dokter mata. Mungkin mata kita akan dibersihkan, dibedah dan sebagainya. Begitupun kalau hati kita yang buta, maka kita mesti memberi pengobatan yang sesuai.

Untuk itu mari kita lihat dulu apakah yang menyebabkan hati terhijab? Di antaranya adalah:

a. Memakan makanan haram dan makanan syubhat, baik sadar atau tidak.

Bersabda Rasulullah SAW yang maksudnya:

"Hati itu dibina dengan apa yang dimakan."

Hati kita adalah segumpal darah yang mengandung sel-sel darah merah dan zat-zat besi. Sel dan zat-zat itu berasal dari makanan yang kita makan. Kalau makanan kita bersih (halal mengikut syariat Islam) maka sel dan zat itu juga bersih sehingga hati kita juga akan bersih. Sebaliknya kalau makanan yang kita makan itu kotor (haram dan syubhat) baik benda itu haram atau uang yang digunakan untuk membelinya haram, maka sel dan zat-zat besi, atau zat-zat yang membina hati kita itu kotor, busuk dan gelap.

Hati seperti wadah yang terbuka. Hati yang kotor tidak akan menerima taufik dari Allah sebab Allah tidak akan memberi taufik dan hidayah kepada hati yang kotor. Sama halnya kita tidak akan memasukkan makanan ke dalam piring yang kotor. Apalagi taufik dan hidayah dari Allah itu sangat tinggi harganya.
Bila hati tidak bisa melihat kebenaran maka tidak akan terasa kebesaran, kehebatan, kasih sayang dan didikan dari Allah, tidak terasa anugerah, penjagaan, pengawasan dan pembelaan Allah. Kalau hati tidak mendapat hidayah dan taufik lagi maka kita akan menjadi orang yang sesat dan selalu terlibat melakukan maksiat dan mungkar.

Bersabda Rasulullah SAW :
Terjemahannya : Dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Bila baik daging itu baiklah seluruh anggota dan seluruh jasad. Bila jahat dan busuk daging itu jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.(Riwayat Al Bukhari & Muslim)

Firman Allah : Terjemahannya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman dengan-Nya. (Al Maidah : 88)

Perintah memakan makanan yang halal adalah wajib. Kalau kita makan makanan yang haram dalam keadaan sadar bahwa benda yang kita makan itu haram maka kita akan berdosa dan hati kita akan gelap. Tetapi kalau makanan yang haram dan syubhat itu kita makan, tanpa diketahui bahwa benda itu haram dan syubhat maka kita tidak berdosa tetapi hati kita yang dibina dari makanan itu tetap akan gelap.

Atas dasar itulah Sayidina Abu Bakar As Siddiq mengorek kembali makanan yang telah ditelannya hingga muntah-muntah, setelah dia mengetahui bahwa makanan itu sumbernya adalah syubhat. Amirul Mukminin itu merasa cukup takut bila makanan itu akan membutakan hatinya. Setelah mengorek makanan itu, dengan rasa bimbang bila saja ada sisa-sisa makanan tersebut yang masih ada dalam perutnya, maka beliau pun berdoa, "Ya Allah, jangan Engkau bertindak kepadaku akan apa yang telah jadi darah dagingku"

Begitulah Sayidina Abu Bakar menjaga hatinya. Sebab itu hatinya menjadi terang-benderang. Jadi, tidak mengherankan kalau keyakinan beliau cukup kuat dengan Allah.
Rasulullah SAW pun memuji beliau dengan sabda baginda : Terjemahannya : Kalau dibandingkan iman Abu Bakar dengan iman seluruh manusia kecuali Nabi dan Rasul niscaya imannya masih lebih baik.
Hal yang serupa terjadi pada Imam Nawawi. Semasa hidupnya ia tidak makan buah-buahan di Damsyik karena merasa buah-buahan itu syubhat. Beliau sangat menjaga hatinya.

Hati yang terang-benderang akan mempunyai basirah (pandangan batin) yang tajam yang dapat menembus alam gaib dan alam kerohanian. Bila alam gaib yang hebat itu bisa terlihat oleh kita maka alam yang lahir itu sudah tidak berarti apa-apa.

Perbandingannya seperti ini : Misalnya suatu hari kita diundang menjadi tetamu raja. Maka masuklah kita ke istana. Di sana kita akan diberi dengan pelayanan yang istimewa, dengan pakaian dan makanan, peralatan dan perhiasan yang tidak pernah kita jumpai. Kita merasa sangat gembira dan kita merasa tidak mau kembali lagi ke rumah kita, sebab rumah kita sudah tidak berharga apa-apa lagi dibandingkan dengan kehidupan yang indah di istana.

Begitulah keadaan mereka yang bisa melihat kehebatan alam gaib. Alam yang lahir menjadi tidak berharga lagi. Karena itulah Sayidina Abu Bakar r.a bisa mengorbankan semua harta bendanya kepada jihad fisabilillah hingga tidak ada apa-apa lagi yang ditinggalkan untuk anak isterinya. Beliau mau menebus kehidupan di alam gaib yang maha hebat dengan menggadaikan seluruh harta benda dunia yang murah itu. Begitu juga sahabat-sahabat yang lain dan mujahid-mujahid Islam, mereka telah mengorbankan dunia yang sedikit itu untuk membeli kehidupan akhirat yang agung di alam baqa’ nanti.

Firman Allah : Terjemahannya : Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) Syurga untuk mereka. (At Taubah : 111)

Mari kita mengobati hati kita dengan menghindar dari makanan yang haram. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengelak dari makanan yang haram diantaranya ialah :

1. Jangan memakan makanan yang zatnya jelas haram seperti arak atau makanan yang dicampur arak atau daging yang tidak disembelih.
2. Jangan memakan makanan yang bernajis baik sifatnya najis (karena dibuat dari bahan yang tidak halal) atau karena cara mencucinya tidak betul atau tidak menurut syariat, sehingga tetap najis (tetap tidak halal).
3. Jangan memakan daging yang disembelih secara tidak halal dan membersihkannya tidak menurut syariat.
4. Jangan memakan makanan yang dibeli dengan uang yang haram (sekalipun makanan itu halal). Uang yang haram contohnya uang suap, uang riba, uang curian dan tipuan.
5. Jangan kita memakan makanan dari usaha yang haram seperti riba, pelacuran, judi, dan lain-lain.

Makanan syubhat ialah makanan yang kita ragukan halal atau haram dan uang syubhat ialah uang yang sumbernya kita ragukan halal atau haram. Makanan dan uang yang syubhat itu wajib dielakkan supaya kita berpeluang memperoleh kejernihan batin untuk mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya.
Sekarang ini banyak makanan di restoran yang menyalahgunakan perkataan 'HALAL' dan 'ISLAM' sebagai tanda perniagaan mereka. Kita harus berhati-hati juga sebab musuh Islam telah menyalahgunakan kata-kata 'HALAL' dan 'ISLAM' itu untuk keuntungan perut dan kantong mereka saja. Mereka sama sekali tidak takut pada Allah dan tidak ingin untuk mencari keredhaan-Nya.

Makan makanan yang halal tetapi berlebihan juga menjadi satu faktor penentu kepada corak hati kita.
Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Wadah yang paling dibenci oleh Allah adalah perut yang penuh dengan makanan yang halal.

Allah benci kepada perut yang penuh dengan makanan sebab perut yang penuh itu akan melemahkan kegiatan hati sehingga tidak kuat untuk memandang pada alam gaib.

Bila hati lemah maka manusia menjadi lalai dan malas. Malas beribadah dan mudah terjebak dalam maksiat. Atas dasar itulah para salafussoleh mengurangi porsi makan mereka.

Rasulullah SAW selalu melatih perutnya untuk berada dalam keadaan lapar. Beliau pernah meletakkan batu di perut dan kemudian mengikat perutnya dengan kain agar tidak terasa kekosongan perut yang memang kosong. Beliau jarang berada dalam keadaan kenyang. Jika satu hari kenyang, maka tiga hari lapar. Beliau selalu berpuasa satu hari, kemudian satu hari lagi berbuka.

Begitu pula cara hidup yang ditempuh oleh Nabi Sulaiman a.s yang dikenal sebagai orang kaya-raya. Beliau selalu berpuasa dan hanya memakan roti kering dan air putih. Nabi Yusuf a.s pun ketika menjadi menteri di Mesir melakukan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Bila ditanya mengapa Beliau berbuat begitu, jawabnya, "Di hari aku lapar, aku dapat merasa bahwa aku adalah hamba yang memerlukan pertolongan Allah. Di hari aku kenyang maka aku dapat bersyukur pada Allah SWT yang memberikan rezeki."

Begitulah cara hidup Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, orang-orang muqarrobin dan orang-orang soleh. Mereka berjuang melawan nafsu untuk membersihkan hati supaya merasa diri sebagai hamba Allah yang lemah dan hina dina. Cara hidup mereka itulah yang wajib kita contoh. Kita mesti senantiasa berperang dengan nafsu yang selalu mengajak kita lalai dari Allah.

Mari kita obati hati kita dengan cara mengurangi makan. Langkah-langkah praktis yang mesti diambil untuk mengurangi makan di antaranya ialah :

1. Hidangan makanan kita janganlah lebih dari dua jenis lauk. Itulah amalan Sayidina Umar. Beliau tidak makan dengan lebih dari dua jenis lauk. Sebab bila jenis lauk sudah bermacam-macam nafsu kita bertambah besar untuk merasakan semua jenis lauk.
2. Makanan itu sebaiknya sederhana, jangan terlalu enak. Sebab kalau terlalu enak, kita tidak mampu mengawal nafsu untuk makan berlebihan.
3. Jangan menyimpan berbagai kelebihan makanan dalam rumah, sebab bila makanan tersedia maka kita senantiasa berfikir untuk makan. Sebaliknya kalau tidak ada simpanan makanan, nafsu tidak akan mengajak kita berfikir untuk makan.
4. Coba memperbanyak puasa sunat seperti di hari Senin dan Kamis atau paling kurang tiga hari dalam sebulan.

Harus kita fahami bahwa langkah-langkah di atas adalah untuk membersihkan hati dan membuat hati kita merasa menjadi hamba Allah yang lemah dalam segala masalah kita.

b. Pandangan dan Pendengaran yang Haram

Kita telah sepakat bahwa : "Dari mata turun ke hati." Artinya hasil dari pandangan (termasuk pendengaran) bukan sekedar terasa di mata dan telinga tetapi akan bersambung dan berkesan di hati. Kalau apa yang kita pandang dan dengar itu baik, maka hati kita akan menerima kebaikannya. Sebaliknya kalau yang kita pandang dan dengar itu maksiat dan mungkar (haram), maka hati kita akan berisi kejahatan dan kemungkaran itu.

Hati yang senantiasa menerima pandangan dan pendengaran yang mungkar akan menjadi hati yang gelap dan pekat, buta dari melihat keagungan Allah. Hati itu tidak lagi merasa takut pada Allah, bahkan cinta dan rindu pada Allah SWT akan hilang.

Saya rasa kita semua tentunya memiliki pengalaman pribadi terhadap hal itu. Kalau setiap hari hati kita terisi dengan zikrullah, bacaan Al Quran, puasa, shalat sunat, membaca kitab dan mendengar pengajian agama, hati kita akan lembut, terasa indah dalam beribadah kepada Allah, rindu kepada kebaikan, benci dan takut kepada dosa.

Tetapi kalau setiap hari hati kita isi dengan program TV, berkata-kata kosong, mengumpat dan mencaci, membaca majalah hiburan yang penuh maksiat, mendengar lagu-lagu pop, maka kita akan menjadi malas beribadah, memandang kecil tentang cara hidup sunnah, tidak ada rasa takut dengan Allah, tidak membesarkan Allah apalagi untuk rindu pada-Nya, tidak suka pada pemuka agama dan lupa pada Akhirat. Hati kita menjadi cinta kepada dunia dengan segala hiburannya. Hati selalu ingin lepas, bebas tanpa disekat oleh hukum Islam, malas berjuang dan berangan-angan, serta ingin hidup lebih lama lagi.
Itulah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tindakan lahir, pendengaran dan penglihatan yang haram akan membuat hati kita buta kepada kebenaran.

Allah berfirman : Terjemahannya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercantum (benih) yang akan Kami mengujinya (dengan perintah dan larangan) karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. (Al Insaan : 2)

Tujuan Allah memberi kita mata dan telinga adalah untuk mencari dan mengenal pencipta kita yaitu Allah SWT. Selain itu supaya kita sadar untuk berbakti dan menurut perintah-Nya. Firman-Nya : Terjemahannya : Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku. (Adz Dzaariyat : 56)

Kita mesti merasa bahwa diri kita adalah sebagai hamba dalam melaksanakan perintah suruhan dan larangan dari Allah. Yang penting adalah rasa kehambaan. Ibadah yang sebenarnya adalah yang berasal dari rasa kehambaan. Kalau waktu beribadah itu kita tidak merasa hina dan tidak merasa hamba, tetapi merasa besar diri, sombong, marah, dengki, maka amalan lahir itu bukan lagi dinilai ibadah. Sama halnya dengan seorang kuli yang menghadap tuannya dengan rasa besar diri, dengan bertolak pinggang. Bukankah lebih baik bila ia tidak menghadap, sebab tentu akan menimbulkan kemarahan tuannya.
Hidup bukan untuk dunia tetapi hidup untuk Allah dan untuk mencari bekal kembali ke Akhirat. Untuk tujuan itulah kita dikaruniakan Allah pendengaran dan penglihatan. Gunakanlah keduanya sebaik mungkin sebagai alat untuk sampai kepada tujuan yang diredhai-Nya.

Mari kita obati hati kita dengan menjaga pandangan dan pendengaran hanya kepada yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, merasa takut pada-Nya dan untuk berbakti pada-Nya.
Langkah-langkah yang sebaiknya diambil di antaranya ialah :

1. Banyakkan membaca Al Quran dan terjemahannya, hadist dan kitab-kitab serta buku-buku agama termasuk majalah dan risalah yang berunsur dakwah. Dalam waktu yang sama, elakkan dari membaca buku-buku khayalan, majalah hiburan dan berita-berita yang jauh dari kebenaran.
2. Selalu mengunjungi mesjid, tempat pengajian agama, majelis dakwah, tahlil dan zikrullah serta mengelak dari tempat-tempat maksiat, acara-acara yang liar (pergaulan bebas) dan keluar rumah tanpa tujuan, sebab di luar banyak pandangan dan pendengaran yang membawa kepada maksiat. Juga kita mengelak dari bergaul dengan kawan yang mengajak kita kepada maksiat.
3. Mendatangi orang-orang soleh, sebab dengan melihat mereka, dapat memberi Kekuatan.
4. Ingat mati, karena selalu mengingat mati akan melembutkan hati.
5. Elakkan dari menonton program TV yang tidak berfaedah. Sekali kita biarkan mata dan telinga kita memandang dan mendengar perkara yang dibenci oleh Allah, maka selama itu kita biarkan nafsu menjadi raja di hati kita sehingga kita lalai dan tidak takut kepada penglihatan dan pengawasan Allah. Lebih baik kita tidur daripada menonton TV sampai larut malam. Hasilnya kita bisa bangun dengan segar untuk menyembah Allah dan mendekatkan hati pada-Nya. Kalau hati kita merasa sama saja antara melihat maksiat atau tidak, itu tandanya hati kita sudah rusak dan jauh dari Allah.

Itulah di antaranya langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjernihkan batin kita. Perlu diingat bahwa langkah-langkah itu mesti diperjuangkan sungguh-sungguh dan terus menerus.

Kita jangan cepat jemu atau mudah terpengaruh dengan bujukan nafsu liar kita. Dan janganlah kita mengharap untuk memperoleh hasilnya dalam jangka waktu yang singkat. Sebab menurut pengalaman orang-orang yang telah menempuh jalan itu, waktu paling singkat untuk memperoleh hati yang bersih (taraf kerohanian yang tinggi) melalui mujahadah melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi) adalah 20 sampai 30 tahun lebih.

Waktu yang akan kita tempuh, sesuai dengan waktu yang kita gunakan untuk maksiat. Sejak dalam perut ibu, kita sudah menerima makanan yang tidak jelas halalnya. Setelah lahir pun kita berada di tengah-tengah maksiat dan macam-macam kemungkaran. Hati kita sudah gelap pekat dengan karat-karat dosa yang kita lakukan secara sadar atau tidak. Jadi memang sudah selayaknya kalau kita korbankan 20-30 tahun umur kita yang akan datang untuk membersihkan hati nurani kita. Mudah-mudahan di akhir umur kita, dapat kita rasakan kebersihan hati dan keselamatan dari mazmumah. Mudah-mudahan kita dapat menghadap Allah membawa hati yang selamat.
Firman Allah :
Terjemahannya : Di hari itu (hari kita meninggal dunia) tidak berguna lagi harta dan anak kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat. (Asy Syuara’: 88-89)

Apabila ruh kita sudah bersih dan sudah kembali pada fitrahnya semula (sewaktu di alam ruh), maka kita akan merasakan bermacam-macam pengalaman batin yang luar biasa. Tapi hal itu juga tergantung kepada taraf kebersihan ruh yang dapat kita capai. Ada dua peringkat ruh yang bersih yaitu :

1. Ruh yang terlalu bersih (orang yang Mukasyafah)
Biasanya dicapai oleh muqarrobin. Ruh itu dapat menembus hijab antara alam dunia dan malakut dan dapat melihat segala rahasia-rahasia batin manusia.
Hal-hal yang biasanya oleh orang biasa dilihat di alam mimpi maka mereka dapat melihatnya di waktu sadar. Contohnya : kalau ada seseorang yang sifat batinnya seperti anjing maka orang itu akan terlihat oleh mereka seperti anjing. Kalau orang biasa mendapat ilmu dengan belajar maka mereka memperoleh ilmu melalui ilham.

2. Ruh yang bersih
Tingkatan itu dapat dicapai oleh orang-orang soleh. Ruh mereka dapat mengesan rahasia-rahasia batin hanya melalui mimpi-mimpi yang benar dan rasa hati yang benar dan tepat dengan kehendak Allah. Mereka tidak dapat melihatnya secara nyata, sebab hijab pada diri mereka tidak terangkat semua. Allah menceritakan hal itu dalam hadist Qudsi, firman-Nya yang bermaksud : Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang setia pada-Ku) maka Aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada amal seorang hamba-Ku yang bertakwa (yang beramal) pada-Ku yang lebih Kucintai daripada dia menunaikan semua yang Kufardhukan ke atasnya. Dan hambaKu yang senantiasa bertaqarrub kepadaKu dengan nawafil (ibadah sukarela) sehingga Aku mencintainya, maka jadilah Aku seolah-olah sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan sebagai penglihatannya yang ia melihat dengannya dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya.

Dan andaikata ia memohon pasti akan Kuberi padanya. Dan andaikata ia berlindung kepada-Ku pasti akan Kulindungi.

Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Takutilah olehmu firasat (pandangan tembus) orang-orang Mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah. (Riwayat At Tarmizi)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib Al-Yamani,

"Apakah Anda pernah melihat Tuhan?"
Beliau menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?"
"Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam Ali menjawab,
"Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat,
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ...".

Kisah diatas telah menggambarkan bahwa tidaklah mustahil seorang yang telah beriman untuk dapat melihat
Allah azza wazala, Dia Tuhan yang menciptakannya, Tuhan yang kita sembah, yang memberi kita hidup.
Lalu pertanyaannya kemudian Mungkinkah kita dapat melihatNya ? ..., Dimanakah Allah ...?..

Hati merupakan pusat dari segala kemunafikan, kemusyrikan, dan merupakan pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi. Dan pusat ini merupakan tempat dimana mereka bertemu dengan Tuhannya. Merupakan janji Allah saat fitrah manusia menanyakan dimanakah Allah ? Lalu, Allah menyatakan diri-Nya berada "sangat dekat", sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an :
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang "Aku" maka (jawablah) Bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran " (QS 2:186)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya" (QS 50:16)
Didalam ayat-ayat di atas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai "wujud" yang sangat dekat. Dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Maka dari itu jawaban atas pertanyaan "dimanakah Allah?". Al Qur'an mengungkapkan jawaban secara dimensional. Jawaban-jawaban tersebut tidak sebatas itu, akan tetapi dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar "dimanakah Allah ", Allah menjawab ".Aku ini dekat ", kemudian jawaban meningkat sampai kepada "Aku lebih dekat dari urat leher kalian atau dimana saja kalian menghadap disitu wujud wajah-Ku .dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu."

Keempat jawaban tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat hanya dari satu dimensi saja, akan tetapi Allah merupakan kesempurnaan wujud-Nya, seperti didalam firman Allah :

"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu. (QS 41:54)

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah maha luas lagi maha mengetahui" (QS 2:115)

Sangat jelas sekali bahwa Allah menyebut dirinya "Aku" berada meliputi segala sesuatu, dilanjutkan surat Al Baqarah ayat 115 ..dimana saja engkau menghadap disitu wajah-Ku berada!!! Kalau kita perhatikan jawaban Allah, begitu lugas dan tidak merahasiakan sama sekali akan wujud-Nya.

Namun demikian Allah mengingatkan kepada kita bahwa untuk memahami atas ilmu Allah ini tidak semudah yang kita kira. Karena kesederhanaan Allah ini sudah dirusak oleh anggapan bahwa Allah sangat jauh. Dan kita hanya bisa membicarakan Allah nanti di alam surga. Untuk mengembalikan dzan kita kepada pemahaman seperti yang diungkap oleh Al Qur'an tadi, kita hendaknya memperhatikan peringatan Allah, bahwa Allah tidak bisa ditasybihkan (diserupakan) dengan makhluq-Nya.

Didalam kitab tafsir Jalalain ataupun didalam tafsir fi dzilalil qur'an, membahas masalah surat Fushilat ayat 54, Allah meliputi segala sesuatu adalah ilmu atau kekuasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu, bukan dzat-Nya.

Pendapat ini merupakan tafsiran ulama, untuk mencoba menghindari kemungkinan masyarakat awam mentasybihkan (menyerupakan) wujud Allah dengan apa yang terlintas didalam fikirannya ataupun perasaannya. Sehingga "Allah" sebagai wujud sejati ditafsirkan dengan sifat-sifat Nya yang meliputi segala sesuatu. Untuk itu, saya huznudzan memahami pemikiran para mufassirin sebagai pendekatan ilmu dan membatasi pemikiran para awam.

Akan tetapi kalau "Allah" ditafsirkan dengan sifat-sifat-Nya, yang meliputi segala sesuatu. Akan timbul pertanyaan, kepada apanya kita menyembah? Apakah kepada ilmunya, kepada kekuasaan-Nya atau kepada wujud-Nya? Kalau dijawab dengan kekuasan-Nya atau dengan ilmu-Nya maka akan bertentangan dengan firman Allah :

"Sesungguhnya Aku ini Allah , tidak ada tuhan kecuali "Aku", maka sembahlah "Aku" (QS 20:14)

Ayat ini menyebutkan "pribadinya" atau dzat Allah, kalimat sembahlah "Aku". Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan menghadapkan wajahnya kepada wajah Dzat yang Maha Mutlak. Sekaligus menghapus pernyataan selama ini yang justru menjauhkan "pengetahuan kita " tentang dzat, kita menjadi takut kalau membicarakan dzat, padahal kita akan menuju kepada pribadi.Allah, bukan nama, bukan sifat dan bukan perbuatan Allah. Kita akan bersimpuh dihadapan sosok-Nya yang sangat dekat.

Ungkapan tentang Tuhan, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat sifat menyertai nama nama menandai af'al. Hubungan-hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, ibarat matahari dengan sinarnya, pasti tidak bisa dipisahkan. Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah laku yang bercermin, bayangannya pasti mengikutinya. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.

Uraian di atas menjelaskan, betapa eratnya hubungan antara dzat, sifat, asma, dan af'al Tuhan. Hubungan antara dzat, dan sifat ditamsilkan laksana hubungan antara madu dan rasa manisnya. Meskipun pengertian sifat bisa dibedakan dengan dzat..namun keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kalimat. Allah meliputi segala sesuatu (QS 41:54) adalah kesempurnaan ..dzat , sifat, asma, dan af'al. Sebab kalau hanya disebut sifatnya saja yang meliputi segala sesuatu, lantas ada pertanyan, "sifat" itu bergantung kepada apa atau siapa ? Jelas akan bergantung kepada pribadi (Aku) yang memiliki sifat. Kemudian kalau sifat yang meliputi segala sesuatu, kepada siapakah kita menghadap? Kepada Dzat atau sifat Allah. Kalau sifat Allah sebagai obyek ibadah kita, maka kita telah tersesat, sebab sifat, asma dan perbuatan Allah bukanlah sosok dzat yang Maha Mutlak itu sendiri.

Semua selain Allah adalah hudust (baru),.karena "adanya" sebagai akibat adanya sang Dzat. seperti adanya alam, adanya malaikat, adanya jin dan manusia. Semua ada karena adanya dzat yang maha qadim. Seperti perumpamaan madu dan manisnya, sifat manis tidak akan ada kalau madu itu tidak ada. Dan sifat manis itu bukanlah madu. Sebaliknya madu bukanlah sifat manis. Artinya sifat manis tergantung kepada adanya "madu". Apakah Dzat itu, seperti apa? Apakah ada orang yang mampu menjabarkan keadaannya ?

Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena menurut perspektif ketakperbandingan tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri!!! Karena itu kita punya pengertian tentang Tuhan, "Tuhan" konsepsi saya dan "Tuhan" konsepsi hakiki, yang berada jauh diluar konsepsi saya. Tuhan yang dibicarakan berkaitan dengan "konsepsi saya". Konsepsi Dzat yang hakiki tidak bisa kita fahami, baik oleh saya maupun anda. Karena itu kita tidak bisa berbicara tentangnya secara bermakna. bagaimana kita bisa memahami tentang Dia, sedang kata-kata yang ada hanya melemparkan kita keluar dari seluruh konsepsi manusia. Seperti, Al awwalu wal akhiru (Dia yang Awal dan yang akhir), Dia yang tampak dan yang tersembunyi (Al dhahiru wal bathinu), cahaya-Nya tidak di timur dan tidak di barat (la syarkiya wa la gharbiya), tidak laki-laki dan tidak tidak perempuan, tidak serupa dengan ciptaan-Nya dst

Kenyataan Tuhan tidak bisa dikenal dan diketahui berasal dari penegasan dasar tauhid `laa ilaha illallah atau laisa ka mistlihi syai'un' (tidak sama dengan sesuatu). Karena tuhan secara mutlak dan tak terbatas benar-benar dzat maha tinggi, sementara kosmos berikut segala isinya hanya secara relatif bersifat hakiki, maka realitas Ilahi berada jauh diluar pemahaman realitas makhluq. Dzat yang maha mutlak tidak bisa dijangkau oleh yang relatif.

Kita dan kosmos (alam) berhubungan dengan tuhan melalui sifat-sifat Ilahi yang menampakkan jejak-jejak dan tanda-tandanya dalam eksistensi kosmos. Kita tidak bisa mengenal dan mengetahui Tuhan dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungkapkan diri-Nya melalui kosmos (sifat, nama, af'al). Firman Allah:

"Dialah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Dia mempunyai nama-nama yang yang indah "(QS 20:8)

Sifat, nama, dan af'al, secara relatif bisa dirasakan dan difahami "maknanya". Akan tetapi "Dzat", adalah realitas mutlak. Dan untuk memahami secara hakiki harus mampu memfanakan diri, ... yaitu dengan memahami bahwa keberadaan makhluq adalah tiada

Firman Allah :

"(yang memiliki sifat-sifat yang..) Demikian itu ialah Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan selain Dia. pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. Dan Dialah yang maha halus lagi maha mengetahui" ( QS 6:102-103)

Realitas bahwa Dzat tuhan tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu (QS 26:11) ... berlaku sampai diakhirat kelak. Walaupun Tuhan sendiri mengatakan bahwa manusia di alam surga akan melihat realitas Tuhan secara nyata atas eksistensi Allah, bukan berarti kita melihat dengan perbandingan pikiran manusia yang dimaksud melihat secara hak disini adalah kesadaran jiwa muthmainnah yang telah lepas dari ikatan alam atau kosmos.

Atau biasa disebut "fana", keadaan ini manusia dan alam seperti keadaan sebelum diciptakan yaitu keadaan masih kosong 'awang uwung' (jawa), kecuali Allah sendiri yang ada. Tidak ada yang mengetahui keadaan ini kecuali Allah sendiri.

Keadaan awal (Al Awwalu) tidak ada yang wujud selain Allah, tidak ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada alam apapun yang tercipta. Untuk mengetahui keadaan seperti ini marilah kita ikuti kisah nabi Musa As. Firman Allah :

"Dan tatkala Musa datang (untuk munajat) dengan Kami, pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa : ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku. Agar aku dapat melihat kepada Engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihat-lah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah Musa sadar kembali dia berkata. Maha Suci Engkau, dan aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman " (QS 7:143)

Ada yang menarik dalam peristiwa "pertemuan" nabi Musa ... dan saya hubungkan dengan pembahasan mengenai keadaan "kefanaan" manusia dan alam. Yakni keadaan hancur luluh lantak keadaan gunung Thursina dan keadaan Musa jatuh pingsan!!! Setelah gunung itu hancur dan Musa-pun jatuh pingsan, tidak satupun yang terlintas realitas apapun didalam perasan Musa dan fikirannya, kecuali ia tidak tahu apa-apa. Yaitu realitas konsepsi manusia dan alam tidak ada (fana). Dalam keadaan inilah Musa melihat realita Tuhan, bahwa benar Tuhan tidak bisa dibandingkan oleh sesuatu apapun. Kemudian Musa kembali sadar memasuki realitas dirinya sebagai manusia dan alam. Musa berkata :aku orang yang pertama-tama beriman..dan percaya bahwa Allah tidak seperti konsepsi "saya".

Setelah kita mengetahui dan faham akan Dzat, sifat, dan af'al Allah, teranglah fikiran dan batin kita, sehingga secara gamblang kedudukan kita dan Allah menjadi jelas, yaitu yang hakiki dan yang bukan hakiki. Terbukalah mata kita dari ketidaktahuan akan Dzat. Ketidaktahuan inilah yang dimaksudkan dengan tertutupnya hijab, sehingga perlu disadarkan oleh kita sendiri atau seorang guru yang mursyid agar kemudian dapat meningkat kepada mengenal-Nya (ma'rifat).

Hijab atau tirai itu berkenaan dengan mereka yang terdinding / terhalang dengan Zat Yang Agung itu...Nur / Cahaya Allah. Ada sebuah hadis yang menyebutkan ;

"Allah mempunyai 70 000 hijab cahaya dan gelap; sekiranya Dia membuka hijab itu, maka Keagungan wajahNya nescaya akan menelan tiap-tiap orang yang menelannya dengan pandangannya"

(Setengah mengatakan "70 000" hijab, dan ada pula yang mengatakan "700" hijab). Imam Gozhali menerangkan bahwa angka bukanlah menunjuk pada jumlah, hal tersebut lebih menekankan kepada makna bahwa hijab itu tidaklah sedikit.

Ada tiga jenis hijab yang ada pada manusia iaitu;

Gelap sebenarnya,
Campuran gelap dengan cahaya,
Cahaya sebenarnya.
Wallahu Alam Bisshawwab...

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib