“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Q.S. al-Qashaash 28: 77).
Kebahagiaan adalah keadaan yang selalu didambakan oleh setiap manusia tak peduli zaman, status sosial, profesi, laki-laki-perempuan, tua-muda, ras, suku bangsa. Dalam perjalanan hidupnya, seseorang akan senantiasa berusaha mencapai kebahagiaan dengan cara yang bermacam-macam. Seorang yang bekerja membanting tulang siang dan malam tujuannya adalah hanya satu, yaitu untuk mencapai kebahagiaan, dan tentu saja harapannya adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tetapi ironis, terkadang banyak di antara kita, secara sadar atau tidak, masih saja memilih jalan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Kita denghan mudah dan senang hati melakukan H3 (halal, haram, hantam).
Mereka adalah pengabdi dunia dan lebih menyukai kehidupan yang segera. Padahal yang demikian sifatnya tidak akan kekal dan hanya sementara, bahkan waktu hidupnya pun pendek sekali karena ia bersifat fana (tidak kekal). Mereka lupa mengingat Allah dan mengasingkan rumah-rumah-Nya, karena mereka lebih menyukai kehidupan dunia. Mereka memerangi kekasih-kekasih Allah dan melanggar hukum-hukum-Nya, mengerjakan hal yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan. Mereka selalu mengedepankan hawa nafsunya dan mengejar keinginannya yang berupa kebahagiaan dunia semata hingga lalai mempersiapkan bekal yang akan dipergunakan untuk akhirat kelak. Allah berfirman tentang hal ini: “Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang, dan hati mereka telah dikunci mati. Maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad)” (Q.S. At-Taubah [9]: 87). Kebanyakan di antara kita dengan bodohnya melakukan hal di atas dan mengabaikan siksa Allah nanti yang sangatlah pedih. Padahal siksa-Nya itu tidak akan mampu ditolak oleh seorang pendosa.
Dalam buku Cambuk Hati, Dr. Aidh bin Abdullah Al-Qarni menjelaskan “Barang siapa yang menggunakan waktu-waktunya untuk menghimpun harta karena takut jatuh miskin maka dialah yang membuat kemiskinannya sendiri”. Jadi para pengabdi dinar dan dirham (uang) adalah antek-antek dunia, hina, lagi rendah. Mereka tidak punya tujuan dan kepentingan. Yang ada hanyalah tuntutan mereka dalam kehidupan yaitu sandang, pangan, papan dan kesenangan semata. Padahal kita tahu bahwasannya kehidupan di dunia ini hanya bersifat sementara tidak lebih. Selagi kita masih hidup, maka selama itu pula kesempatan diberikan Allah untuk mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya menuju kehidupan akherat yang abadi. Untuk itu Allah berfirman di dalam surat Al-Qashaash [28] ayat 88:
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Jadi jelaslah sudah bahwa tidak ada yang sempurna dan kekal kecuali hanya Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Sebagai referensi keseimbangan hidup di dunia dan akherat, adalah salah seorang sahabat Rasulullah, yaitu Salman Al Farisyi. Meskipun ia memiliki jabatan sebagai gubernur wilayah, naun sikap sedehana selalu tampak darinya. Semua gaji yang diterima ia sedekahkan untuk orang lain yang masih berkekurangan. Sedangkan untuk hidupnya beliau masih tetap mencari nafkah sendiri dengan membuat kerajinan anyaman. Dalam satu hari ia menghasilkan uang sebesar 3 dinar dan dengan uang tersebut satu dinar untuk nafkah, satu dinar untuk modal dan satu dinar sisanya masih ia sedekahkan kepada orang lain. Sungguh mulia hatinya. Meskipun gaji yang seharusnya ia terima berlimpah ruah bahkan bisa membangun istana yang megah, tetapi rumahnya sangatlah sederhana. Jika ia berdiri maka sampailah kepalanya menyentuh atapnya, perabotan rumahnya hanya ada dua piring, dua sendok, dua gelas, dan masing-masing satu alat yang digunakan untuk memasak oleh istrinya. Ia berbuat demikian karena takut kepada Allah dan bisa menjadikanya termasuk golongan orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada duniawi, padahal sejatinya hanya Allah Tuhan yang wajib di sembah. Juga karena beliau takut nanti di yaumil akhir ketika dihisab menjadi terlalu lama dan banyak sekali tanggung jawab yang harus dipikul oleh sebab banyak memiliki harta benda. Sungguh manusia yang sangat sederhana dan cerdas.
Tentang sikapnya tidak perlu lagi diragukan. Pernah suatu ketika beliau sedang jalan-jalan melihat keadaan wilayahnya dengan berjalan kaki. Kebetulan saat itu ia sedang melintas di depan sebuah kebun kurma yang sedang dipanen. Melihat penampilannya yang sangat sederhana itu oleh sang pemilik kebun ia diminta mengangkat kurma tersebut untuk dibawa ke pasar. Tanpa protes dan dengan tulus serta niat membantu ia bawakan kurma tersebut, namun belum jauh berjalan mereka berpapasan dengan rombongan saudagar dan bangsawan. Melihat gubernur Salman Al-Farisyi maka serta merta para saudagar dan bangsawan tersebut langsung menyapa dan memberi hormat padanya. Melihat itu semua si pemilik kebun sontak terperanjat. Ia menjadi cemas dan ketakutan. Ia langsung bersimpuh dan meminta maaf atas tindakannya kepada sang gubernur. Tetapi apa yang dilakukan oleh Salman Al-Farisyi sungguh di luar dugaannya. Beliau berkata: ”Tenanglah wahai saudaraku, janganlah engkau menjadi takut kepadaku karena hanya kepada Allah lah kita harus takut. Dan sebelumnya aku memang telah berniat untuk membantu engkau mengangkat kurma ini, jadi biarlah aku menyelesaikan niatku ini. Bukankah kita sebagai sesama manusia memang harus saling membantu satu sama lainya.” Dan benar ia angkat kurma tersebut sampai ke pasar. Sungguh pribadi yang mulia.
Memang untuk melakukan hal yang baik dan seperti yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh Salman Al Farisyi diatas adalah sangat berat. Untuk mencapai ridha Allah baik di dunia dan akhirat akan terasa sangat berat, terjal mendaki dan penuh onak duri. Namun sesudahnya, setelah kita bisa melalui tantangan dan mencapai puncaknya maka segala kesusahan dan kepayahan yang teralami sebelumnya akan hilang berganti berjuta kebahagiaan abadi sesuai janji Allah yang telah menanti kita dengan setia.
Jadi, kesenangan dunia ini tidak seharusnya terus dituruti karena itu tidak akan pernah ada habisnya, dan nantinya kita sendiri lupa untuk mempersiapkan bekal hidup di akhirat yang jauh lebih penting. Janganlah kita gadaikan kebahagiaan kekal di yaumil akhir dengan kebahagiaan dunia yang sesaat ini. Karena sesungguhnya bila dibandingkan dengan yang ada di akherat nanti maka kebahagiaan di dunia ini tidak akan ada apa-apanya.
Barang siapa yang kikir dengan raganya di jalan Allah, berarti dia kikir terhadap dirinya sendiri dan menurunkan harganya serta akan merugi selamanya di akherat. Karena sebenarnya kita tidak memiliki sesuatu pun dan tidak pula disertai dengan apa pun. Semuanya adalah pemberian, hibah dan anugerah dari Allah Tuhan pemilik alam semesta ini. Dia yang menciptakan, yang memberi rizki, yang memaafkan, yang memiliki sifat lembut dan yang memberi jaminan.
Hanya kepada Allah kita memohon semoga tidak menjadikan diri kita sebagai pengabdi dunia dan melindungi kita dengan pemeliharaan-Nya. Menjaga kita dengan perhatian-Nya dan menetapkan kita pada jalan-Nya yang lurus serta menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang sesungguhnya.Wallahu a'lam(Mashudi).