Hakekat Memberi dan Menerima Informasi

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu" (QS. Al-Hujuraat [49]: 6).

Kaki gunung Uhud yang berada di utara Madinah, barangkali merupakan saksi utama kedahsyatan perjuangan Nabi Saw dan para shahabat dalam mengawal ajaran Islam di tahap paling awal peradaban muslim. Tempat ini pada Sya’ban tahun ketiga Hijriyah, merupakan saksi kedahsyatan Perang Uhud yang mempertegas sejarah kepahlawanan Khalid bin Walid (saifun min suyufil Llah) di medan perang, baik di masa jahiliyah maupun nanti di masa awal Islam. Ia juga menjadi saksi bagaimana sedikit saja kesalahan dalam mengorganisasi tenaga dan pikiran, dapat berbuah sangat pahit bagi keberlangsungan sebuah cita-cita mulia. Beberapa bagian pasukan Islam yang kala itu sudah hampir menang, tenggelam dalam keinginan jangka pendek memperoleh rampasan perang (ghanimah) yang merupakan simbol kepahlawanan di medan laga, sehingga lalai menjalankan tugas dan perang pun berakhir dengan kekalahan di pihak muslim. Nabi Saw sendiri bahkan terluka cukup serius sampai-sampai diberitakan telah meninggal.

Hal menarik dapat kita cermati dari kisah mengenai berita meninggalnya Nabi Saw ini. Di satu sisi Umar ra yang sebenarnya belum mengetahui kondisi persis Nabi Saw, memilih meneriakkan kecaman bagi mereka (pasukan lawan) yang dengan gembira meneriakkan telah meninggalnya Nabi Saw. Sedangkan di sisi lain, Abu Bakar ra yang tahu persis bahwa Nabi Saw sedang terluka parah, justru menasehati Umar ra agar tidak terlalu membuka fakta bahwa Nabi Saw masih hidup. Nabi Saw pun dalam kondisi ini memilih untuk tidak banyak mengungkapkan kondisinya dengan terus bertarung menghadapi musuh.

Ada kesan bahwa berita meninggalnya Nabi Saw sengaja tidak diverifikasi dan disebarkan secara lebih luas, mengingat banyaknya konsekuensi yang mengikutinya. Bisa dibayangkan jika Nabi Saw tetap tampil berperang, dan kondisi pasukan muslim sudah sedemikian terdesak. Hal yang hampir pasti terjadi tentunya adalah kekalahan pasukan dan berakhirnya masa depan dakwah islamiyah dari muka bumi. Nabi Saw lebih memilih opsi diam terhadap berita kematian beliau demi menjaga rasa puas di hati pasukan kafir Quraisy, sehingga korban lebih banyak dari pihak Muslim dan konsekuensi lebih jauh dapat dihindari.

Refleksi atas kejadian pada Perang Uhud ini tentu saja sangat menarik jika dikaitkan dengan realitas informasi dan penyampaiannya di dunia modern ini. Perkembangan yang pesat di bidang ICT (information and communication technology) dan perubahan dalam paradigma bermasyarakat, telah menghilangkan hampir semua sekat yang memungkinkan seseorang menutup atau menyembunyikan diri dari kejaran pencari dan pewarta informasi dengan berbagai latar belakang kepentingan. Dengan dalih keterbukaan, semua informasi mengenai pribadi, komunitas, kelompok agama, organisasi, lembaga dan institusi telah dibuka sedemikian lebar untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas baik dengan penjelasan yang proporsional maupun tidak.

Benar bahwa terbukanya informasi akan memberi ruang bagi lebih banyak pihak untuk memperoleh pengetahuan, hiburan, pelajaran dan pilihan dalam hidup. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa dari sekian banyak informasi, terdapat beberapa bagian, sisi dan komponen yang tidak harus, tidak semestinya atau tidak layak dibuka kepada masyarakat secara umum, tanpa panduan dan pemilahan secara cermat. Perihal sesuatu yang tidak semestinya ini, Nabi Saw pernah menyabdakan: ”Man satara mu’minan fid Dunya ’ala khizyatin, satarahu Llahu yaumal Qiyamah (barang siapa menutupi aib (sesuatu yang membuat malu) seorang mu’min di dunia, maka Allah akan menutupi dirinya (dari sesuatu kesalahan yang memalukan ataupun mencelakakan) pada hari kiamat)”.

Hadits ini merupakan salah satu hadits yang terkenal bagi pemerhati studi dirayah hadits, mengingat riwayat perjalanan Abu Ayyub Al-Anshari yang amat gigih dalam mempertahankan dan menguatkan ingatan hadits ini di masa shahabat-shahabat seangkatan yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw telah tiada. Diriwayatkan oleh ’Atho` bahwa Abu Ayyub yang bermukim di Madinah menempuh perjalanan panjang ke Mesir untuk menemui ’Uqbah bin ’Amir guna menanyakan hadits ini. Setelah menempuh perjalanan begitu jauh Abu Ayyub sampai di Mesir, dan menemui gubernur Mesir kala itu, meminta penunjuk jalan ke rumah ’Uqbah. Sesampai di rumah ’Uqbah, Abu Ayyub benar-benar hanya menanyakan perihal hadits ini, yang kemudian dibenarkan oleh ’Uqbah, dan langsung kembali ke Madinah (Muhammah ’Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah qabla at-Tadwin, 176-177).

Menutup aib serta malu orang lain jelas merupakan hal sulit, mengingat secara naluriah, meskipun tidak suka dibuka aibnya, kita senang membicarakan aib orang lain. Apalagi jika dengan membukanya, disertai bumbu-bumbu tertentu, kita akan mendapat sesuatu yang lebih dan menghasilkan efek imagi, yang bisa jadi melegitimasi posisi dan popularitas seseorang di mata publik ataupun di mata masyarakat. Sebagai contoh, perceraian bagi pasangan yang sudah tidak memiliki kesepahaman bisa jadi adalah pilihan terbaik. Namun ketika proses di dalamnya digambarkan dan diberitakan secara berlebihan, dampak psikologis baik pada masyarakat, keluarga, ataupun rekan sekitar pasangan tersebut bisa jadi akan negatif. Mereka yang belajar psikologi pasti sadar bahwa anak yang sedang tumbuh memerlukan suasana kondusif dalam keluarga yang dengannya perkembangan dirinya dapat terjadi dengan baik.

Mungkin saja kita berharap bahwa pemberitaan semacam ini akan mampu memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat. Namun jangan lupa masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang menyerap setiap pesan, tetapi hanya mampu memamah biaknya (Baudrillard, 1983). Masyarakat kita adalah masyarakat yang menyukai kedataran dan kedangkalan dalam bentuk baru dan mencintai permukaan (Jameson, 1991). Akibatnya bisa ditebak bahwa informasi yang sampai pada masyarakat hanya akan bergerak pada dataran luar yang jika tidak dikawal akan membawa dampak tidak sedikit pada perubahan dan pergeseran opini secara frontal. Dengan demikian ada hal lain dari sebuah informasi yang juga harus menjadi perhatian kita. Tidak hanya kebenaran dari konten informasi tersebut yang wajib kita pegang, tetapi juga ketepatan konteks dari informasi tersebut yang harus kita hargai.

Bagi kita yang mendapat amanah untuk memperluas informasi, harus lahir kesadaran akan perlunya pemilihan dan pemilahan secara benar dan tepat dari sekumpulan informasi yang akan kita berikan kepada masyarakat. Sebaliknya bagi kita yang menjadi bagian dari masyarakat penyerap informasi pun, harus timbul kesadaran akan pentingnya memperoleh informasi yang benar dan tepat, sebagai penghormatan akan hak untuk tidak malu dan menanggung aib dari sumber informasi. Bukankah Alquran yang berisi kebenaran tersebut diturunkan melalui berbagai tahap dan fase agar tepat dengan kebutuhan dan kemampuan manusia menerima pesan-pesan-Nya? Maka dari itu bagi pembaca INDO GHAIB grup jangan asal comot mengamalkan informasi keilmuan,mintalah ijazah dan kata kunci keilmuannya, karena dalam artikel ini ada hal penting yang tentunya tidak dicantumkan. Dengan kehadiran Indo Ghaib Blog's ini diharapkan masyarakat lebih mengetahui seputar informasi lika liku dunia metafisika/ilmu ghaib/hikmah/dsb. Wallahu A’lam.(Yuli.A)

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib