Hakekat Prinsip Belajar Ilmu Tasawuf

PRINSIP-PRINSIP ILMU TASAWUF (MYSTICISM TEORITIS)

‘Irfân (mistisisme) secara etimologis berarti sejenis pengetahuan (makrifat), konsepsi (tashawwur), dan pengetahuan yang dalam (bashîrah). Sementara itu, secara terminologis, ‘irfân dapat dikatakan sebagai sejenis pengetahuan langsung yang berada di luar indera dan akal. Tidak mudah mencapai pengetahuan itu, kecuali bagi orang yang secara amaliah bersungguh-sungguh menghilangkan berbagai rintangan dan tabir-tabir hati melalui sejenis perjalanan spiritual (sulûk) atau tarikan Ilahi (jadzb). Dengan cara itu, seorang arif dapat mencapai batin, kegaiban, dan kesatuan sejati yang tersembunyi di balik hal-hal yang tampak dan kemajemukan (katsrah). Dalam sulûk ini terdapat perjalanan ruh yang mendatangkan kesempurnaan jiwa serta diperoleh pengenalan diri dan pencerahan batin.

Filsafat Ilmu Dalam Al Quran

FILSAFAT ILMU DALAM PERSPEKTIF QUR’AN

(Tafsir Ulang Epistemologi)

Yusra Marasabessy(Dosen Universitas Ibnu Khaldun)

PENDAHULUAN

Di dalam Al Qur’an terdapat kata-kata tentang ilmu dalam berbagai bentuk (‘ilma, ‘ilmi, ‘ilmu, ‘ilman, ‘ilmihi, ‘ilmuha, ‘ilmuhum) terulang sebanyak 99 kali, (Ali Audah, 1997: 278-279). Delapan bentuk ilmu tersebut di atas dalam terjemah Al Qur’an Departemen Agama RI, cetakan Madinah Munawwarah (1990), diartikan dengan: pengetahuan, ilmu, ilmu pengetahuan, kepintaran dan keyakinan. Sedangkan kata ‘ilmu itu sendiri berasal dari bahasa Arab ‘alima = mengetahui, mengerti. Maknanya, seseorang dianggap mengerti karena sudah mengertahui obyek atau fakta lewat pendengaran, penglihatan dan hatinya.

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran, penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran (QS. 17 : 36).

Quantum Fisika dan Spiritualitas

Apakah Quantum Fisika dan Spiritualitas terkait?
Ian Thompson,Departemen Fisika, Universitas Surrey, Inggris
Artikel ini berdasarkan ceramah yang diberikan kepada Asosiasi Ilmiah Swedenborg, 20 April 2002.Sangat berharga untuk mendiskusikan pertanyaan tentang fisika kuantum dan spiritualitas bersama-sama, untuk melihat hubungan antara mereka dari sudut pandang Gereja Baru. Ada alasan mendesak untuk mendiskusikan link ini, karena ada orang-orang yang ingin mengidentifikasi hal-hal ini. Ada perasaan yang meluas bahwa orang-orang zaman baru yang entah bagaimana mereka terhubung, tetapi beberapa orang “New Age” ingin mengatakan bahwa fisika kuantum mengatakan pada kita tentang spiritualitas. Kita tahu dari Swedenborg bahwa hubungan tersebut tidak terlalu sederhana, jadi kita perlu memahami lebih terinci apa yang sedang terjadi.

Bolehkah Menjual Ilmu?

“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). " Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (Q.S. 6:90)”

Sahabat Semesta yang dimulyakan ALLAH SWT....
ALLAH telah menghalalkan untuk kita berjual beli tapi Allah telah mengharamkan RIBA. Namun demikian, ada juga jual-beli yang diharamkan seperti jual beli bangkai, khomr dan lain sebagainya.

Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya. " Muttafaq Alaihi.

Hakekat "Man Jadda Wa Jada"

Barang siapa bersungguh-sungguh pasti ada jalan / terwujud (MAN JADDA WAJADA)

Dalam firman Allah Surat Ar rad ayat 11 ditegaskan : ” Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ”.
Dari Alqur’an dan hadist tersirat bahwa pewujudan keadaan yang membuahkan hasil adalah
kemampuan manusia berpikir untuk meyakinkan dirinya yang terbaik sehingga dapat mewujudkan cita-cita, tentunya sebagai kemurahan Allah SWT. Berarti manusia tidak boleh mudah menyerah dengan tantangan, hambatan dan kesulitan hidup dan harus dijalani dengan rasa optimis.
Memang sifat manusia yang tidak tetap adalah cepat mengharap kebaikan namun cemas bila menghadapi kerugian.
Dalam firman Allah Surat An Anfaal ayat 74 dikatakan bahwa :
“ orang-orang yang beriman, orang-orang berhijrah, orang-orang berjihad pada jalan Allah, orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan, mereka itulah orang-orang yang sebenarnya beriman, mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia”.

Hakekat 4 Silabus Islam

Tahu pada empat silabus/ tingkatan/ maqom ilmu keagamaan menurut ahli tasawuf:
1.Pemahaman syari'at
2.Pemahaman tarekat
3.Pemahaman hakikat
4. Pemahaman makrifat

Tasawuf adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, renungan dsb.
Ilmu tasawuf disebut juga sebagai ilmu suluk atau ilmu tarekat.

Dalam perkembangan peradaban di dunia yang semakin materialisme, ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang makin beragam dan meningkat, maka banyak terjadi keguncangan hati serta ketidakstabilan jiwa.

Oleh karena itu terasa pentingnya bimbingan rohani dengan tuntutan agama.
Agama Islam, sebagai jalan untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat kadang-kadang dipahami sebagai indoktrinasi-indoktrinasi yang kaku.
Dalam banyak kejadian sering diucapkan kata-kata kafir, halal, haram, murtat, tanpa memahami hakekatnya.

Ilmu tasawuf berupaya untuk menuntun manusia menuju ketenangan jiwa yang disebut sakinah.
Ketenangan jiwa manusia bersumber dari hati.

Menurut Al-Ghazali ada tiga istilah yang pengertiannya sama, yaitu Qolbun, Nafsun, dan Roh.
Secara harfiah pengertian ketiga istilah tersebut berbeda. Pengertian hati dalam ilmu Tasawuf dibagi menjadi empat:

a. Qolbun
Artinya bolak-balik, setiap waktu berubah-ubah.
Bagi orang yang belum mencapai hakekat, inilah yang disebut sebagai hati.
Perasaannya, jiwanya terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang ada.

b. Dlamirun
Artinya lubuk hati. Orang ini telah mengetahui pedoman hidup, telah mengetahui nilai-nilai kebenaran, tapi kadang-kadang ia bisa lepas kontrol dan tergelincir.

c. Fuadun
Artinya hati nurani. Orang yang bisa menerima kebenaran dan melaksanakannya di dalam setiap perbuatannya.

d. Sirrun
Artinya rahasia hati. Orang yang telah dibimbing oleh Allah.

Dalam kehidupan masyarakat kita sering bertemu dengan orang-orang yang mendapat "barokah" dari Allah dalam bentuk:

a. Orang yang meninggal dunia dengan tenang, khusnul khotimah.
b. Orang yang meninggalkan keturunan manusia-manusia yang saleh.
c. Orang-orang yang di masa tuanya senang walaupun di masa muda penuh kesulitan.
d. Orang-orang yang dalam kesulitan selalu mendapat pertolongan Allah.
e. Orang-orang yang menjalani hidup senantiasa dalam keadaan tenang-tenteram.
f. Orang-orang yang selalu dapat berbuat amal kebajikan dalam keadaan bagaimanapun dan di manapun.

Untuk mencapai keberkatan tersebut ada jalannya yaitu:

a. Memiliki keyakinan yang kokoh terhadap Allah SWT, rahmatnya, barokahnya.
b. Memiliki amalan-amalan dalam hidup, di antaranya tidak meninggalkan shalat lima waktu, dzikir wirid, shalat tahajjud, membaca serta menghayati bacaan-bacaan Alquran, Asmaul Husna, sholawat nabi.

.
Empat tingkatan pemahaman agama

1. Pemahaman syariat
Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.

2. Pemahaman tarekat
Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara'a: kalau syara'a jalan di dalam kota, maka thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang. Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat. Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru tarekat. Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk. Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb. Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat. Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

3. Pemahaman hakekat
. Haqqo artinya kebenaran. Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya "sholat mencegah kemunkaran", makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji. Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu.

4. Pemahaman makrifat
Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta. Batinnya sudah dekat dengan Allah. Semua gerakannya lillahitaala, dan janji Allah untuk membantu setiap aktivitas orang tersebut: tidak ada aku, tidak ada kamu; yang ada hanyalah Allah.

Muasal Tarekat Sufi

Asal-usul Tarekat Sufi Dan Peranannya

Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.

Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).

Arti Tariqa /Tarekat

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.

Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.

Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Kanqah

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).

Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.

Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).

Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.

Peranan

Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir.

Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:

1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.

2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.

Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).

Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.

Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.

Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.

Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya.

Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.

Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM)

Makrifat Kepada Allah

Makrifat kepada Allah swt. adalah makrifat yang seluhur-luhurnya, bahkan yang semulia-mulianya sebab makrifat kepada Allah Taala itulah yang merupakan asas atau fundamen berdirinya segala kehidupan kerohanian. Dari makrifat kepada Allah itulah bercabang makrifat kepada para nabi dan rasul serta hal-hal yang berhubungan dengannya, mengenai kemaksuman, tugas-tugas dan sifat-sifatnya serta hajat umat manusia terhadap diutusnya para nabi, juga yang dimasukkan sebagai persoalan yang erat hubungannya dengan para nabi dan rasul seperti masalah mukjizat, kewalian, kekeramatan dan kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit.

Bahkan dari makrifat kepada Allah Taala itu juga bercabang makrifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti malaikat jin dan ruh. Juga dari makrifat kepada Allah itu pulalah timbul makrifat perihal apa yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berakhir, juga mengenai kehidupan di alam barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa kebangkitan kembali dari kubur, hisab (perhitungan amal), pahala, siksa, surga dan neraka.

CARA BERMAKRIFAT

Untuk bermakrifat kepada Allah swt. mempunyai dua cara, yaitu:

Pertama: Dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa secara teliti ciptaan Allah Taala yang berupa benda-benda yang beraneka ragam ini.

Kedua: Dengan mengetahui nama-nama Allah Taala serta sifat-sifat-Nya.

Dengan menggunakan akal pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah dari sudut lain, seseorang akan dapat bermakrifat kepada Tuhan dan ia akan memperoleh petunjuk ke arah itu.

BERMAKRIFAT LEWAT PIKIRAN

Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa, memikirkan dan mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang pulalah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup. Jika ini sudah terjadi, akan menyebabkan pula adanya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal bergerak dan melepaskan kekangannya segera bangun dari tidur nyenyaknya kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang sedemikian ini termasuk inti peribadatan kepada Tuhan. Allah Taala berfirman, “Katakanlah! ‘Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi." (Q.S. Yunus:101)

Allah Taala berfirman pula, “Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau seorang-seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S. Saba:46)

Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan ayat-ayat dan bukti-bukti tentang wujud dan kekuasaan Allah Taala, maka orang semacam itulah yang patut sekali mendapat cemoohan dan hinaan. Malah Allah Taala sendiri telah mencela sekali orang semacam itu dengan firman-Nya, “Alangkah banyaknya ayat (tanda kekuasaan Tuhan) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yusuf:105)

Allah Taala berfirman pula, “Tidaklah datang kepada mereka itu suatu ayat dari beberapa ayat Allah melainkan mereka itu membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yasin:46)

Menganggurkan akal dari tugas utamanya, akan menurunkan manusia itu sendiri ke suatu taraf yang lebih rendah dan lebih hina dari taraf binatang. Keadaan seperti itulah yang merupakan penghalang besar bagi umat yang dahulu untuk langsung menembus kepada hakikat-hakikat yang ada di dalam diri, jiwa dan alam semesta.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan hatinya, mempunyai mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)

TAKLID ADALAH PENUTUP AKAL PIKIRAN

Taklid adalah penghalang besar terhadap kemerdekaan akal, kekang utama terhadap kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, Allah Taala memuji sekali orang-orang yang dapat menjernihkan hakikat sesuatu menyisihkannya dari benda-benda lain, membedakan dan memurnikan benda-benda itu setelah dibahas, diperiksa, diteliti dan disaring oleh akal pikirannya, selanjutnya mengambil mana yang dianggap terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah Taala berfirman, “Maka berikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti mana-mana yang terbaik dari ucapan itu. Mereka itulah orang-orung yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itu pulalah arang-orang yang mempunyai akal pikiran.” (Q.S. Az-Zumar:17-18)

Allah Taala benar-benar mencela dan mengejek serta menyalahkan orang-orang yang suka mengekor dan mengikuti, yakni ahli taklid yang tidak suka menggunakan akal pikirannya sendiri. Mereka hanya mengikuti akal orang lain. Mereka betul-betul pasif sebab hanya mengikuti alam pikiran kuno yang sudah terbiasa dan berlangsung sejak dulu di sekitarnya sekalipun yang baru itu sebenarnya lebih tepat, lebih cocok lebih sesuai dan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena sejalan dengan petunjuk dari Tuhan. Allah Taala berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka lalu berkata, ‘Tidak, kita hanya mengikuti apa yang telah kita dapati dari ayah-ayah kita,’ padahal ayah-ayah mereka itu tidak mengerti sedikit pun dan tidak pula mengikuti petunjuk yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah:170)

BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN

Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan menggunakan akal, dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki bukanlah pemikiran secara tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas yang tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat dicapai oleh akal manusia itu. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan Allah Taala yakni apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat manusia dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan zat Allah swt., sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran manusia.

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian berpikir mengenai zat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat mencapai keadaan hakikatnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam kitab “Alhilyah" dengan sanad daif tetapi isi dan maknanya sahih. Alquran sendiri penuh dengan beratus-ratus ayat (bukti dan tanda) yang mengajak kita semua untuk merenungkan keadaan alam semesta yang terbuka lebar dan luas di hadapan kita ini, beserta cakrawalanya yang tiada terbatas oleh suatu apa pun karena sangat besarnya dan tidak ada ujung pangkalnya. Allah Taala berfirman, “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu semua, agar supaya kamu suka berpikir tentang dunia dan akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah:219-220)

Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan itu, tetapi sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang terdapat di dalam alam akhirat.

TUJUAN PEMIKIRAN
Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan berpikir ialah untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir merenungkan dan menyelidiki, dengan demikian akan manusia akan sampai kepada petunjuk yang memberikan penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan kehidupan, sebab-sebab wujud alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-hakikat segala sesuatu benda. Manakala hal-hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu akan dapat merupakan cahaya terang untuk menyingkap persoalan siapa yang sebenarnya menjadi maha pencipta dan pembentuk semuanya itu. Selanjutnya setelah ini diperoleh maka dengan perlahan-lahan akan dicapai hakikat yang terbesar yaitu bermakrifat kepada Allah Taala. Jadi kemakrifatan kepada Allah Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan bergerak terus, juga sebagai hasil dari usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh cahaya yang terang-benderang.

Inilah salah satu perantaraan yang digunakan oleh Alquran untuk memberikan pembuktian tentang Allah Taala. Alquran telah mendorong akal pikiran manusia dengan mengemukakan ayat-ayat tentang ilmu alam yang menjelaskan segala isi dalam dunia semesta ini dengan menggunakan hasil dari pemikiran itu nanti akan terciptalah kemakrifatan kepada Allah Taala. Kemakrifatan ini terdiri dari hal-hal seperti mengenal kesempurnaan sifat-sifat-Nya, keagungan hal-ihwal-Nya, kenyataan dari kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti kesucian-Nya, kelengkapan ilmu-Nya, kelangsungan kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya dalam hal menciptakan dan membuat yang baru. Marilah kita semua renungkan baik-baik dalam kalbu dan pikiran kita makna dan ayat-ayat yang tercantum di bawah ini.

“Katakanlah! ‘Segenap puji adalah bagi Allah dan keselamatan untuk hamba-hamba-Nya yang dipilih oleh-Nya. Adakah Allah itu yang lebih baik, ataukah yang mereka persekutukan dengan Allah itu yang lebih baik? Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit kepadamu semua kemudian Kami (Allah) menumbuhkan dengan sebab air tadi kebun-kebun yang indah permai. Kamu semua tentu tidak sanggup menumbuhkan pohonnya. Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi mereka itu adalah kaum yang berpaling dari kebenaran. Atau siapakah yang menjadikan bumi untuk tempaberdiam dan menjadikan sungai-sungai di tengah-tengahnya, menjadikan gunung-gunung untuk menjadi pasak dan menjadikan batas antara dua lautan? Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang sedemikian itu. Atau siapakah yang memperkenankan permohonan orang yang dipaksa keadaan menderita, apabila memohon kepada-Nya agar menghilangkan penderitaannya itu dan siapakah yang menjadikan kamu semua sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Sedikit sekali kamu semua mengingat kepada Allah itu. Atau siapakah yang menunjukkan jalan kepadamu semua dalam kegelapan di lautan dan di daratan? Dan siapakah yang mengirim angin untuk membawa berita gembira sebelum datangnya kerahmatan Allah? Adakah tuhan di samping Allah? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan Allah itu. Atau siapakah yang memulai menciptakan makhluk, kemudian akan mengulanginya kembali? Dan siapakah yang memberikan rezeki kepadamu semua dari langit dan bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Katakanlah keterangan (alasan)mu, jika kamu semua memang benar!” (Q.S. An-Naml:59-64)

Pikirkanlah baik-baik, apakah ada suatu keterangan yang lebih jelas dari keterangan yang tertera di atas itu, adakah suatu argumen yang lebih kuat daripada argumen di atas?

Jika akal masih juga tidak suka tunduk kepada keterangan di atas, tidak suka takluk pada argumen itu, maka sungguh ia tidak akan tunduk pada keterangan lain dan tidak pula mau takluk pada hujah mana pun, suatu alamat akal yang sesat dan enggan terhadap petunjuk yang benar.

Allah Taala berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu pun tidak akan memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)

Seorang penyair berkata: “Hati nurani manusia itu Pasti tidak akan mampu memperoleh sesuatu apa pun Jika ia tetap menuntut bukti Mengapa waktu siang itu terang benderang.”

BERMAKRIFAT DENGAN MEMAHAMI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Jalan lain dalam mencapai makrifat kepada Allah swt. ialah memahami nama-nama Allah Taala yang baik-baik serta sifat-sifat-Nya yang luhur dan tinggi. Jadi nama-nama dan sifat-sifat itulah yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah Taala agar makhluk-Nya dapat bermakrifat pada-Nya. Inilah yang dapat dianggap sebagai saluran yang dari situ hati manusia dapat mengenal Allah Taala secara spontan. Malah itu pulalah yang dapat menggerakkan cara penemuan yang hakiki dan membuka alam yang amat luas terhadap kerohanian guna menyaksikan cahaya Allah swt.

Nama-nama itu adalah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu semua seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik.’" (Q.S. Al-Isra:110)

Dengan nama-nama itulah yang kita semua diperintah untuk menyerunya. Allah Taala berfirman, “Bagi Allah adalah nama-nama yang baik, maka serulah dengan menggunakan nama-nama itu.” (Q.S. Al-A’raf:180)

Adapun jumlah nama-nama Allah yang baik (asmaul husna) itu ada sembilan puluh sembilan nama. Imam Bukhari, Muslim dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghafalnya ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil (tidak genap) dan cinta sekali pada hal yang ganjil (tidak genap).” (H.R. Ibnu Majah)

Imam Tirmizi memberikan tambahan dalam riwayatnya sebagai berikut, “Sembilan puluh sembilan nama Allah Taala yaitu:

1. Allah: Lafal yang Maha Mulia yang merupakan nama dari zat Ilahi yang Maha Suci serta wajib adanya yang berhak memiliki semua macam pujian dan sanjungan. Adapun nama-nama lain, maka setiap nama itu menunjukkan suatu sifat Tuhan yang tertentu dan oleh sebab itu bolehlah dianggap sebagai sifat bagi lafal yang Maha Mulia ini (yakni Allah) atau boleh dijadikan sebagai kata beritanya.
2. Arrahmaan: Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung-agung, pengasih di dunia.
3. Arrahiim: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-pelik, penyayang di akhirat.
4. Almalik: Maha Merajai, mengatur kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.
5. Alqudduus: Maha Suci, tersuci dari segala cela dan kekurangan.
6. Assalaam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan pada seluruh makhluk-Nya.
7. Almukmin: Maha Pemelihara keamanan, yakni siapa yang bersalah dari makhluk-Nya itu benar-benar akan diberi siksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar dipenuhi janji-Nya dengan pahala yang baik.
8. Almuhaimin: Maha Penjaga, memerintah dan melindungi segala sesuatu.
9. Al’aziiz: Maha Mulia, kuasa dan mampu untuk berbuat sekehendak-Nya.
10. Aljabbaar: Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melangsungkan segala perintah-Nya serta memperbaiki keadaan seluruh hamba-Nya.
11. Almutakabbir: Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahan-Nya.
12. Alkhaalik: Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga yang menakdirkan adanya semua itu.
13. Albaari’: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
14. Almushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeda dengan lainnya. (Jadi Alkhaalik adalah mengadakan sesuatu yang belum ada asal mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Albaari’ ialah mengeluarkannya dari yang sudah ada asalnya, sedang Almushawwir ialah yang memberinya bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya).
15. Alghaffaar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
16. Alqahhaar: Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya serta memaksa segala makhluk menurut kehendak-Nya.
17. Alwahhaab: Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi karunia.
18. Arrazzaaq: Maha Pemberi rezeki, membuat berbagai rezeki serta membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
19. Alfattaah: Maha Membukakan, yakni membuka gudang penyimpanan rahmat-Nya untuk seluruh hamba-Nya.
20. Al’aliim: Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini dan tidak ada satu benda pun yang tertutup oleh penglihatan-Nya.
21. Alqaabidl: Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
22. Albaasith: Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan oleh-Nya.
23. Alkhaafidl: Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan karena akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya kehinaan, kerendahan dan siksaan.
24. Arraafi’: Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya diangkat kedudukannya karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk golongan kaum yang bertakwa.
25. Almu’iz: Maha Pemberi kemuliaan, yakni kepada orang yang berpegang teguh pada agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan kemenangan.
26. Almudzil: Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya dan musuh umat Islam seluruhnya.
27. Assamii’: Maha Mendengar.
28. Albashiir: Maha Melihat.
29. Alhakam: Maha Menetapkan hukum, sebagai hakim yang memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusan-Nya, juga tidak seorang pun yang kuasa merintangi kelangsungan hukum-Nya itu.
30. Al’adl: Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya itu.
31. Allathiif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
32. Alkhabiir: Maha Waspada.
33. Alhaliim: Maha Penghiba, penyantun yang tidak tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gegabah memberikan siksaan.
34. Al’azhiim: Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempurnaan.
35. Alghafuur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
36. Asysyakuur: Maha Pembalas yakni memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan yang kecil dan tidak berarti.
37. Al’aliy: Maha Tinggi, yakni mencapai tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal pikiran siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh otak yang bagaimana pun pandainya.
38. Alkabiir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh pancaindera atau pun akal manusia.
39. Alhafiiz: Maha Pemelihara yakni menjaga segala sesuatu jangan sampai rusak dan goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasan-Nya.
40. Almuqiit: Maha Pemberi kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh atau pun makanan rohani.
41. Alhasiib: Maha Penjamin, yakni memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh hamba-Nya. Juga dapat diartikan Maha Menghisab amalan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.
42. Aljaliil: Maha Luhur, yang memiliki sifat-sifat keluhuran karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
43. Alkariim: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.
44. Arraqiib: Maha Peneliti, yang mengamat-amati gerak-gerik segala sesuatu dan mengawasinya.
45. Almujiib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa saja yang berdoa pada-Nya.
46. Alwaasi’: Maha Luas, yakni bahwa rahmat-Nya itu merata kepada segala yang maujud dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
47. Alhakiim: Maha Bijaksana yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat segala sesuatu.
48. Alwaduud: Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal-ihwal dan keadaan.
49. Almajiid: Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan keutamaan.
50. Albaa’its: Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para rasul, membangkitkan semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-orang yang telah mati dari masing-masing kuburnya nanti setelah tibanya hari kiamat.
51. Asysyahiid: Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
52. Alhaq: Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
53. Alwakiil: Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua urusan hamba-hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka itu.
54. Alqawiy: Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuasaan yang sesempurna-sempurna.
55. Almatiin: Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang sudah sampai dipuncaknya.
56. Alwaliy: Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan semua kepentingan makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada mereka itu dan pemberian pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
57. Alhamiid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan sanjungan.
58. Almuhshi: Maha Penghitung, yang tidak satu pun tertutup dari pandangan-Nya dan semua amalan itu pun diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
59. Almubdi’: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
60. Almu’iid: Maha Mengulangi, yakni menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rusaknya.
61. Almuhyii: Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
62. Almumiit: Yang Mematikan, yakni mengambil kehidupan (ruh) dari apa-apa yang hidup, lalu disebut mati.
63. Alhay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya itu.
64. Alqayyuum: Maha Berdiri sendiri, baik Dzat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Juga membuat berdiri apa-apa yang selain Dia. Dengan-Nya pula berdiri langit dan bumi ini.
65. Alwaajid: Maha kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan oleh-Nya, maka tidak membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya-Nya yang mutlak.
66. Almaajid: Maha Mulia, (sama dengan nomor 49 yang berbeda hanyalah tulisannya. Ejaan sebenarnya nomor 49 Almajiid sedangkan nomor 66 ini Almaajid).
67. Alwaahid: Maha Esa.
68. Ashshamad: Maha Dibutuhkan, yakni selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluannya.
69. Alqaadir: Maha Kuasa.
70. Almuqtadir: Maha Menentukan.
71. Almuqaddim: Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian benda dari yang lainnya dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan, selisih waktu atau tempatnya.
72. Almu’akhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
73. Alawwal: Maha Pertama, Dahulu sekali dari semua yang maujud.
74. Alaakhir: Maha Penghabisan, Kekal terus setelah habisnya segala sesuatu yang maujud.
75. Azhzhaahir: Maha Nyata, yakni menyatakan dan menampakkan wujud-Nya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
76. Albaathin: Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi zat-Nya sehingga tidak seorang pun dapat mengenal zat-Nya itu.
77. Alwaalii: Maha Menguasai, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
78. Almuta’aalii: Maha Suci, terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
79. Albar: Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar kenikmatan yang dilimpahkan-Nya.
80. Attawwaab: Maha Penerima tobat, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan tobat lalu Allah akan menerimanya.
81. Almuntaqim: Maha Penyiksa, kepada orang yang berhak untuk memperoleh siksa-Nya.
82. Al’afuw: Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf pada-Nya.
83. Arra-uuf: Maha Pengasih, banyak rahmat dan kasih sayang-Nya.
84. Maalikulmulk: Maha Menguasai kerajaan, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradat-Nya.
85. Dzuljalaali wal ikraam: Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Juga zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi karunia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.
86. Almuqsith: Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilan-Nya.
87. Aljaami’: Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari pembalasan.
88. Alghaniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang selain zat-Nya sendiri, tetapi yang selain-Nya itu amat membutuhkan kepada-Nya.
89. Almughnii: Maha Pemberi kekayaan yakni memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang dikehendaki dari golongan hamba-hamba-Nya.
90. Almaani’: Maha Membela atau Maha Menolak, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang saleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan.
91. Adldlaar: Maha Pemberi bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-siksa-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
92. Annaafi’: Maha Pemberi kemanfaatan, yakni merata kebaikan yang dikaruniakan-Nya itu kepada semua hamba dan negeri.
93. Annuur: Maha Bercahaya yakni menonjolkan zat-Nya sendiri dan menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
94. Alhaadi: Maha Pemberi petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehidupannya.
95. Albadii’: Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
96. Albaaqii: Maha Kekal, yakni kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.
97. Alwaarits: Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
98. Arrasyiid: Maha Cendekiawan, yaitu memberi penerangan dan tuntunan pada seluruh hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu berjalan menurut ketentuan yang digariskan oleh kebijaksanaan dan kecendikiawanan-Nya.
99. Ashshabuur: Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum waktunya.

Dalam kitab Addinul Islami disebutkan sebagai berikut: “Nama-nama Allah yang baik-baik (asmaul husna) yang tercantum dalam Alquran yaitu:

1. Nama-nama yang berhubungan dengan zat Allah Taala, yakni:
a. Alwaahid (Maha Esa)
b. Alahad (Maha Esa)
c. Alhaq (Maha Benar)
d. Alqudduus (Maha Suci)
e. Ashshamad (Maha dibutuhkan)
f. Alghaniy (Maha Kaya)
g. Alawwal (Maha Pertama)
h. Alaakhir (Maha Penghabisan).
i. Alqayyuum (Maha Berdiri Sendiri).

2. Nama-nama yang berhubungan dengan penciptaan, yakni:
a. Alkhaalik (Maha Menciptakan)
b. Albaari’ (Maha Pembuat)
c. Almushawwir (Maha Pembentuk)
d. Albadii’ (Maha Pencipta yang baru)

3. Nama-nama yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan kerahmatan, selain dari lafal Rab (Tuhan), Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yakni:
a. Arra-uuf (Maha Pengasih)
b. Alwaduud (Maha Pencinta)
C. Allathiif (Maha Halus)
d. Alhaliim (Maha Penghiba)
e. Al’afuw (Maha Pemaaf)
f. Asysyakuur (Maha Pembalas, Pemberi karunia)
g. Almukmin (Maha Pemelihara keamanan)
h. Albaar (Maha Dermawan)
i. Rafi’ud darajat (Maha Tinggi derajat-Nya)
j. Arrazzaaq (Maha Pemberi rezeki)
k. Alwahhaab (Maha Pemberi)
l. Alwaasi’ (Maha luas)

4. Nama-nama yang berhubungan dengan keagungan serta kemuliaan Allah Taala yakni:
a. Al’azhiim (Maha Agung)
b. Al’aziiz (Maha Mulia)
C. Al’aliy (Maha Tinggi)
d. Almuta’aalii (Maha Suci)
e. Alqawiy (Maha Kuat)
f. Alqahhaar (Maha Pemaksa)
g. Aljabbaar (Maha Perkasa)
h. Almutakabbir (Maha Megah)
i. Alkabiir (Maha Besar)
j. Alkariim (Maha Pemurah)
k. Alhamiid (Maha Terpuji)
l. Almajiid (Maha Mulia)
m. Almatiin (Maha Kuat)
n. Azhzhaahir (Maha Nyata)
o. Zuljalaali wal ikraam (Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan)

5. Nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah Taala, yakni:
a. Al’aliim (Maha Mengetahui)
b. Alhakiim (Maha Bijaksana)
C. Assamii’ (Maha Mendengar)
d. Alkhabiir (Maha Waspada)
e. Albashiir (Maha Melihat)
f. Asysyahid (Maha Menyaksikan)
g. Arraqiib (Maha Meneliti)
h. Albaathin (Maha Tersembunyi)
i. Almuhaimin (Maha Menjaga)

6. Nama-nama yang berhubungan dengan kekuasaan Allah serta caranya mengatur segala sesuatu, yakni:
a. Alqaadir (Maha Kuasa)
b. Alwakiil (Maha Memelihara penyerahan)
C. Alwaliy (Maha Melindungi)
d. Alhaafizh (Maha Pemelihara)
e. Almalik (Maha Merajai)
f. Almaalik (Maha Memiliki)
g. Alfattaah (Maha Pembuka)
h. Alhasiib (Maha Penjamin)
i. Almuntaqim (Maha Penyiksa)
j. Almuqiit (Maha Pemberi kecukupan)

7. Ada pula nama-nama yang tidak disebutkan dalam nas Alquran tetapi merupakan sifat-sifat yang erat kaitannya dengan sifat atau perbuatan Allah Taala yang tercantum dalam Alquran, yakni:
a. Alqaabidl (Maha Pencabut)
b. Albaasith (Maha Meluaskan)
C. Arraafi` (Maha Mengangkat)
d. Almu’iz (Maha Pemberi kemuliaan)
e. Almudzil (Maha Pemberi kehinaan)
f. Almujiib (Maha Mengabulkan)
g. Albaa’its (Maha Membangkitkan)
h. Almuhshii (Maha Penghitung)
i. Almubdi’ (Maha Memulai)
j. Almu’iid(Maha Mengulangi)
k. Almuhyii (Maha Menghidupkan)
l. Almumiit (Maha Mematikan)
m. Maalikulmulk (Maha Menguasai kerajaan)
n. Aljaami’ (Maha Mengumpulkan)
o. Almughnii (Maha Pemberi kekayaan)
p. Almu’thii (Maha Pemberi)
q. Almaani’ (Maha Membela, Maha Menolak)
r. Alhaadii (Maha Pemberi Petunjuk)
s. Albaaqii (Maha Kekal)
t. Alwaarits (Maha Pewaris).

8. Ada pula nama-nama Allah Taala yang diambil dari makna atau pengertian nama-nama yang terdapat dalam Alquran, yakni:
a. Annuur (Maha Bercahaya)
b. Ashshabuur (Maha Penyabar)
c. Arrasyiid (Maha Cendekiawan)
d. Almuqsith (Maha Mengadili)
e Alwaalii (Maha Menguasai)
f. Aljaliil (Maha Luhur)
g. Al’adl (Maha Adil)
h. Alkhaafidl (Maha Menjatuhkan)
i. Alwaajid (Maha Kaya)
j. Almuqaddim (Maha Mendahulukan)
k. Almu-akhkhir (Maha Mengakhirkan)
l. Adldlaar (Maha Pemberi bahaya)
m. Annaafi’ (Maha Pemberi kemanfaatan)

Dengan nama-nama di atas dirangkaikan pula sifat-sifat:

a. Takallum (Berfirman) dan
b. Iradat (Berkehendak)

ZAT TUHAN DAN KEMUSTAHILAN MENEMUKANNYA

Hakikat dari zat Ketuhanan tidak mungkin dimakrifati oleh akal pikiran dan sudah pasti tidak akan dapat dicapai betapa keadaan yang sebenarnya atau puncaknya. Sebabnya ialah karena pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, karena manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki pula jalan menemukannya atau wasilah mencapainya. Akal manusia bagaimana cerdik dan pandainya, begitu kuat daya tangkapnya, tetapi tetap terbatas dalam suatu batas yang tertentu dan malah lemah sekali atau belum dapat memakrifati hakikat berbagai benda yang dilihatnya sehari-hari. Manusia sampai saat ini masih belum dapat mengetahui secara benar tentang hakikat jiwa manusia itu sendiri. Bahkan pengetahuan tentang hal jiwa ini hingga sekarang tetap merupakan penyelidikan yang hangat dalam rangkaian persoalan-persoalan yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan filsafat.

Manusia itu pun tidak dapat menguraikan hakikat cahaya atau sinar, padahal cahaya atau sinar itu sebenarnya adalah benda yang amat terang dan jelas sekali. Juga belum dapat diketahui hakikat sesuatu benda serta hakikat dari atom yang setiap benda itu pasti tersusun dari himpunan atom-atom itu, padahal semuanya ini adalah yang terdekat sekali hubungannya dengan manusia itu sendiri. Maka dari itu sampai saat sekarang ini pun ilmu pengetahuan modern masih belum mampu menguraikan berbagai hakikat benda yang ada di alam semesta ini. Ringkasnya kata terakhir masih belum dapat dijelaskan, sebagai tanda bahwa hakikat apa yang dicari itu belum terpecahkan dengan memuaskan.

Seorang profesor terkenal bernama Kamyl Flamaryon menulis dalam buku “Kekuatan Alam Yang Belum Dikenal” sebagai berikut: “Kita semua tahu bahwa kita ini berpikir, tetapi apakah sebenarnya makna berpikir itu? Rasanya tidak ada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan ini. Kita semua mengerti bahwa kita ini berjalan. Tetapi apakah sebenarnya pekerjaan otot itu? Pun tidak seorang dapat mengetahui hakikatnya. Saya menyadari bahwa kehendak saya adalah merupakan suatu kekuatan yang bukan termasuk dalam kebendaan (materi) dan saya menyadari pula bahwa segala sifat khusus diri saya bukan termasuk kebendaan juga. Namun demikian, setiap saya berkehendak mengangkat tangan, saya tahu bahwa kehendak itulah yang menggerakkan benda milikku yakni tangan tadi. Jadi bagaimana hal itu dapat terjadi secara spontan sekali. Apakah kiranya yang menjadi perantara yang berada di tengah-tengah antara kekuatan akal dalam menimbulkan suatu hasil yang mempengaruhi gerakan kebendaan itu? Tentang pertanyaan ini pun belum ada orang yang dapat memberikan jawaban pada saya. Atau secara mudahnya cobalah katakan pada saya dan jawablah ini, ‘Bagaimana urat-urat saraf mata itu dapat memindahkan gambar benda sampai ke dalam akal? Coba jawab pula, ‘Bagaimana akal dapat menerimanya? Lagi pula di mana letak akal tersebut? Bagaimana tabiat pekerjaan otak itu? Cobalah katakan pada saya, hai tuan-tuan (yang dimaksudkan ialah orang-orang yang membantah)..... Tetapi, yah..... cukuplah sudah, cukup..... Mungkin saya dapat bertanya kepada tuan-tuan selama duapuluh tahun, tetapi saya percaya bahwa orang yang paling cerdas di antara tuan-tuan itu pasti tidak dapat mengemukakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang serendah-rendahnya.”

Jika demikian kedudukan akal dalam menghadapi persoalan hakikat jiwa, cahaya dan benda, serta apa yang ada dalam alam semesta ini, baik yang dapat dilihat oleh mata atau pun yang tidak, maka bagaimana akal dapat memakrifati zat Tuhan Yang Maha Menciptakan semuanya itu yang bersifat Maha Luhur keadaan-Nya. Bagaimanakah akal yang lemah itu dapat mencapai zat Tuhan Yang Maha Tinggi itu? Sesungguhnya zat Allah masih jauh lebih besar dari apa yang dapat dicapai oleh akal atau pun yang dapat dijangkau oleh pemikiran-pemikiran. Oleh sebab itu alangkah tepatnya firman Allah swt., “Allah tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan-penglihatan dan Dia dapat mencapai penglihatan-penglihatan itu dan Dia adalah Maha Halus dan Waspada.” (Q.S. Al-An’am:103)

PENGAKUAN KAUM INTELEK MODERN TENTANG WUJUD ALLAH

Pembahasan terakhir dalam bab adalah mengenai dalil akal (bukti rasional) perihal wujud Allah Taala dengan mengutip berbagai keterangan yang diucapkan oleh para sarjana kenamaan.

Prof. Harshell, seorang pakar astronomi dari Inggris berkata, “Semakin luas suatu bidang ilmu pengetahuan, semakin bertambah pula bukti-bukti yang memastikan dan lebih mengokohkan perihal adanya Zat yang Maha Menciptakan, juga Maha Dahulu yang tidak ada batas untuk kekuasaan-Nya dan pula tidak akan ada habis-Nya yakni kekal selama-lamanya. Para pakar geologi, fisika, astronomi dan eksakta saling memperkuat dan bantu-membantu. Mereka semua memberikan jaminan yang mantap perihal seruan ilmu pengetahuan yakni seruan pernyataan kemahaagungan Allah yang Maha Esa.”

Dr. Wets seorang pakar kimia bangsa Perancis berkata, “Jika pada suatu ketika aku merasa bahwa kepercayaanku kepada Allah agak kurang mantap dan agak guncang, maka segeralah aku menujukan arah perhatianku kepada akademi ilmu pengetahuan agar keimanan itu kembali kokoh dan kuat sentosa.”

Voltair secara senda gurau berkata, “Mengapa Tuan-tuan masih juga meragukan akan adanya Allah, padahal andaikata Allah tidak ada, rasanya pasti istriku sendiri akan mengkhianati diriku dan mungkin aku diculik oleh pelayanku.”Ada beberapa hal yang menghalangi seseorang mengenal Allah, diantaranya :

1. Bersandar kepada panca Indra (2:55, 4:153).

(2:55) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang [50], karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya [51]".

[50] Maksudnya: melihat Allah dengan mata kepala.

[51] Karena permintaan yang semacam ini menunjukkan keingkaran dan ketakaburan mereka, sebab itu mereka disambar halilintar sebagai azab dari Tuhan.

(4:153) Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata : "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka menyembah anak sapi [374], sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami ma'afkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata.

[374] Anak sapi itu dibuat mereka dari emas untuk disembah.
Mereka tidak beriman kepada Allah dengan dalil tidak melihat Allah, padahal banyak hal yang tidak bisa mereka lihat tetapi mereka meyakini akan keberadaannya seperti; gaya gravitasi bumu, arus listrik, akal pikiran, dan sebagainya.

2. Kesombongan (7:146).

(7:146) Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku) [569], mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
[569] Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini ialah: ayat-ayat Taurat, tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.

Kesombongan menghalangi mereka untuk mengenal Allah, walaupun telah diperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Allah tetapi mereka tetap mengingkari sehingga datang azab Allah.
3. Lengah (21:1-3).

(21:1) Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).

(21:2) Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur'an pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,

(21:3) (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu [952], padahal kamu menyaksikannya?"

[952] Yang mereka maksud dengan sihir di sini ialah ayat-ayat Al Qur'an.

4. Bodoh (2:118).

(2:118) Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.

5. Ragu-ragu (6:109 - 110).

(6:109) Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu'jizat, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mu'jizat datang mereka tidak akan beriman [497].

[497] Maksudnya: orang-orang musyrikin bersumpah bahwa kalau datang mu'jizat, mereka akan beriman, karena itu orang-orang muslimin berharap kepada Nabi agar Allah menurunkan mu'jizat yang dimaksud. Allah menolak pengharapan kaum mu'minin dengan ayat ini.

(6:110) Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quraan) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.

6. Taqlid (5:104, 43:23).

(5:104) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.

(43:23) Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".

Mudah-mudahan kita semua menyadari dan terhindar dari sifat-sifat yang dapat menghalangi kita dalam mengenal Allah, amiin.

Sifat-Sifat Orang Yang Mendapat Amalan Batin

Telah kita katakan bahwa kita mesti beribadah kepada Allah lahir dan batin. Ibadah lahir disebut syariat. Ibadah batin disebut hakikat. Orang yang sudah melaksanakan syariat akan terlihat oleh kita tandanya yaitu mengucap dua kalimah syahadah, shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al Quran, selawat, zikrullah, menutup aurat, menuntut ilmu, bersilaturrahim dan cara hidup lainnya yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan meninggalkan (tidak melakukan) segala sesuatu yang dilarang oleh Allah.

Begitu juga orang yang melakukan ibadah batin, terlihat juga tanda-tandanya. Tanda-tanda itu tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita, sebab tersembunyi di dalam hati.
Hal itu hanya dapat dilihat oleh orang itu sendiri dengan merasakan gerak dan arah perjalanan hati kita. Hati yang sudah melakukan ibadah berbeda dengan hati yang masih durhaka.

Untuk mengetahui perbedaan itu supaya kita dapat mengenal hati kita, apakah sudah taat atau masih durhaka, saya akan tunjukkan tanda-tanda atau sifat-sifat hati yang tinggi kedudukannya, yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan ibadah batin.
1. SYARIATNYA KUAT
Orang yang kuat beribadah batin pasti akan kuat pula ibadah lahirnya (syariat). Tetapi perlu diingat bahwa orang yang kuat syariat lahir saja belum tentu kuat ibadah batinnya.
Hal itu disebabkan pada diri kita, hati (jasad batin) adalah pemimpin sedangkan anggota-anggota lain (jasad lahir) sebagai pekerja. Kita makan karena hati kita menyuruh kita makan. Kaki dan tangan pun bekerja untuk mencari makanan. Kita hendak ke masjid adalah karena amalan hati kita. Kaki kita hanya menurut saja. Tetapi kalau hati tidak mau pergi walau masjid di sebelah rumah pun, kaki tidak akan melangkah pergi.

Begitu besarnya kuasa dan peranan hati dalam menentukan corak hidup kita. Sebab itu kalau hati sudah baik, taat menghambakan diri pada Allah, hati akan mengarahkan semua anggota lahir untuk tunduk menyembah kepada Allah SWT. Semua perintah Allah akan ditaati tanpa tanya jawab lagi. Semua larangan Allah akan ditinggalkan tanpa ragu-ragu.
Firman Allah : Terjemahannya : Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat." (Dan mereka berdoa), "Tuhan, kami mohon keampunanMu, dan kepadaMulah tempat kembali" (Al Baqarah : 285)

Shalat fardhunya baik, shalat sunat hajat dan lain-lain tidak ditinggalkan. Puasa sunat dianggap penting dan selalu dilakukan dengan senang hati. Membaca Al Quran, selawat, wirid, zikir, tahlil, tasbih dan tahmid dan lain-lain telah menjadi nyanyian rutin yang mengasyikkan. Berjuang untuk menyebarkan agama Allah terasa satu kewajiban yang mesti dilakukan sehingga tidak pernah jemu dan letih karena perjuangan.Kuat berkorban harta, fikiran, waktu dan tenaga untuk membantu Islam dan umat Islam. Tidak bermewahan dengan rezeki pemberian Allah sekalipun halal dan hanya diambil sesuai keperluan saja. Kelebihannya diserahkan untuk jihad. Sebab itu rumahnya sederhana, pakaian, dan makan minum juga sederhana. Karena hatinya menyuruh tutup aurat maka ia akan melakukannya tanpa peduli apa yang dikatakan orang. Hatinya menyuruh berderma dan bersedekah maka ia akan melakukannya tanpa takut miskin dan bimbang pada hari depan. Hatinya menyuruh ia berjemaah sesama kaum muslimin maka ia pun ikut berjemaah tanpa ragu meninggalkan alam dan kawan di luar jemaah.Karena hatinya menyuruh menghentikan pergaulan bebas maka ia akan berhenti tanpa takut kehilangan jodoh. Dan apa saja yang disuruh oleh hatinya, ia akan taat.

Hati yang taat dan takut pada Allah akan menyuruh kita mengikuti semua suruhan Allah. Tidak pernah terlintas dalam hati orang-orang soleh satu keinginan untuk durhaka pada Allah. Hatinya tidak pernah berencana untuk melakukan larangan Allah.

Sebab itu orang yang kuat ibadah batinnya, cukup kuat meninggalkan hal-hal yang haram, makruh dan syubhat. Tidak melakukan zina, tidak menipu, tidak minum arak, tidak berjudi, tidak mengambil pinjaman riba (bank) untuk membeli rumah atau mobil, tidak terlibat dengan suap, tidak berkhianat, tidak merokok, tidak mengumpat, tidak memfitnah, tidak bergaul bebas lelaki dan perempuan, tidak mubazir dan bermewah-mewah, tidak berfoya-foya, tidak terlibat dengan musik-musik haram, tidak bercintaan antara lelaki perempuan secara haram dan lain-lain.Hati yang kuat dengan Allah akan melarang keras untuk terlibat dengan pekerjaan yang dikutuk oleh Allah. Hati yang sempurna ibadahnya akan menolak semua perkara yang dibenci Allah.

Tegasnya hanya hati kita yang bisa membetulkan diri kita dan hati juga yang bisa menjahanamkan kita. Kalau hati baik, tindakan kita akan baik. Dan kalau hati jahat, tindakan kita akan jahat juga.
Konsep 'hati baik' itu pun jangan disalah artikan. Jangan kita katakan, ''Tidak shalat pun tidak apa-apa, asalkan hati kita baik. Tidak menutup aurat pun tak apa, asal hati kita baik.''

Kalau kita katakan begitu, maka kita telah membuat dua kejahatan. Pertama kita telah berani membantah suruhan Allah karena shalat dan tutup aurat itu suruhan Allah. Kedua, kita menganggap hati kita baik, padahal hati kita masih durhaka pada Allah.Hati yang tidak mau shalat atau tutup aurat itu adalah hati yang durhaka pada Allah. Hati yang baik adalah hati yang taat dan takut pada Allah. Bila hati taat maka kita akan mentaati seluruh perintah Allah. Bila hati kita baik kita akan kuat bersyariat.
2. MENDAPAT KEJERNIHAN ATAU KERINGANAN BATIN
Apabila seseorang hamba itu sudah mendapat kerohanian yang tinggi, hatinya (batinnya) akan menjadi suci dan ringan. Allah SWT berfirman :

Terjemahannya : Yaitu mereka yang memenuhi janji Allah dan tidak pula merusakkan perjanjian.(Ar Raad : 20)

Terjemahannya : Dan mereka menghubungi apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturrahim) dan mereka takut pada Tuhan mereka dan takut pada hisab yang buruk. (Ar Raad : 21) Terjemahannya : Dan mereka juga bersabar dalam mencari keredhaan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan pada mereka secara sembunyi atau secara terang-terangan. Dan mereka menutupi kejahatan dengan kebaikan. Mereka itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).(Ar Raad : 22) Terjemahannya : (Yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang soleh di kalangan bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedangkan malaikat-malaikat masuk menemui mereka di semua pintu masuk. (Ar Raad: 23)Terjemahannya : (Sambil mengucapkan) "Salam sejahtera karena kesabaran kamu", maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar Raad : 24)

Apabila ruh sudah suci dan ringan maka hati terasa ringan untuk mentaati Allah. Nafsu kita akan berubah dari nafsu yang rendah kepada nafsu mutmainnah. Di waktu itu kita akan senantiasa merasa kita adalah hamba Allah, ingin hidup sebagai hamba dan rela menerima apa saja qada dan qadar Allah tanpa mempertanyakan lagi atau resah gelisah.

Untuk lebih jelas akan saya paparkan sifat-sifat hati yang saya maksudkan:
  1. Rasa malu kepada Allah karena senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT.
  2. Rasa takut dan hebat pada Allah karena terasa diri selalu berada dalam kuasa Allah, sehingga Allah bisa berbuat apa saja seperti sakit, miskin, mati dan lain-lain.
  3. Selalu merasa berdosa pada Allah, bukan hanya di depan manusia karena ada kesalahan tersembunyi yang tidak dapat diketahui seperti dosa-dosa hati. Sebab itu dia selalu menangis seorang diri, bukan di depan orang, karena takut dosanya tidak terampuni.
  4. Tidak menunda-nunda urusan dengan Allah karena hati selalu merasa kedatangan maut itu bisa terjadi kapan saja.
  5. Setiap kali membuat kesalahan yang kecil hatinya merasa takut dan terhina di depan Allah, sehingga cepat-cepat meminta ampun kepada Allah SWT.
  6. Setiap kali selesai beramal, hati merasa itu adalah karunia Allah, bukan kemampuan dirinya. Dia tidak merasa bangga karena merasa amalannya tidak sempurna. Karena itu ia mengharapkan belas kasihan dari Allah agar menerima amalannya.
  7. Kalau Allah menentukan satu peristiwa terjadi pada dirinya, hatinya akan redha dengan apa yang terjadi tanpa kesal dan keluh-kesah. Dia sadar dirinya yang rendah layak menerima apa pun takdir Allah.
  8. Setiap kali melihat pemandangan alam yang indah, hati segera merasakan kebesaran Allah.
  9. Kalau dia mendapat kejayaan atau nikmat, hatinya segera merasakan bahwa itu adalah pemberian dari Allah bukan kemampuan sendiri. Karena itu dia merasa takut pada Allah, karena menyalahgunakan atau kurang mensyukuri nikmat yang diperoleh.
  10. Kalau dia menderita kemiskinan atau tidak memperoleh nikmat, hatinya terasa tentram karena dia merasa bebas dari tanggungjawab untuk menjaga amanah Allah.
  11. Kalau mendapat musibah seperti sakit, hati bisa merasa tenang karena merasakan bahwa bencana (musibah) adalah kifaraf (balasan) dosanya. Dia merasa lebih baik dihukum di dunia daripada dihukum di akhirat. Penderitaan di dunia adalah pengampunan dosa di akhirat.
  12. Bila mendapat pujian, hati merasa tidak senang sebab pujian itu tidak layak baginya dan bisa merusak rasa kehambaannya.
  13. Kalau dikeji atau dihina orang, hatinya merasa kasihan pada orang yang menghinanya dan segera memaafkan orang itu tanpa diminta. Dia merasa bahwa dosanya telah menyebabkan dia dihukum seperti itu. Kalau tidak begitu dia tidak akan mendapat pahala dari penghinaan itu. Sebab itu dia tidak berniat sama sekali untuk membalas perbuatan orang itu.
  14. Dia selalu berlapang dada berhadapan dengan aneka ragam manusia dan kesusahan yang manusia timpakan ke atasnya.
  15. Dia tidak bangga dengan nikmat, tidak gelisah dengan musibah, tidak merasa tenang dengan pujian dan tidak menderita dengan cacian. Hatinya selalu merasa sebagai hamba yang serba kekurangan dan sangat memerlukan Allah SWT dalam setiap keadaan.
  16. Kalau dia melihat atau mengetahui orang membuat maksiat, dia bersyukur pada Allah karena dirinya selamat dari maksiat. Sebab itu dia tidak menghina orang itu bahkan dia merasa kasihan, ingin menolong dengan memberi nasihat. Bahkan dia tidak menaruh sangka jahat pada orang itu. Dia menganggap kesalahan itu adalah karena tidak tahu, lupa ataupun tidak sengaja.
  17. Ketika berhadapan dengan orang yang memarahinya, dia tidak ikut marah dan tidak melawan berdebat sekalipun dia benar.
  18. Bila berhadapan dengan kepandaian orang lain, dia akan menerima ilmu atau kebenaran sekalipun dari seorang kanak-kanak. Kalau bermuzakarah dia tidak memperlihatkan bahwa dirinya pandai sehingga tidak merasa bangga diri Kalau ada yang memuji orang lain di hadapannya dia tidak sakit hati sebab dia faham bahwa kuasa hak Allah yang melebihkan dan mengurangkan nikmat pada hamba-hamba-Nya.
  19. Kalau ada orang lain menyelesaikan kerjanya, dia tidak menggerutu sebab dia merasa dia dibantu.
  20. Kalau dia digemari oleh banyak orang, dia tidak merasa bangga sebaliknya dia bimbang kalau hal itu membuat dirinya riya'.
  21. Dia tidak makan seorang diri. Kalau memberi bantuan pada seseorang, tidak di hadapan orang lain.
  22. Beramal dan betul-betul beribadah karena Allah bukan lagi karena Syurga atau Neraka.

Definisi Ruh dan Jiwa dalam Manunggaling Kawula Gusti

Dalam ajaran Kejawen ada istilah “Manunggaling Kawula Gusti”. Hal ini sering diartikan bahwa menyatunya manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti). Anggapan bahwa Gusti sebagai personifikasi Tuhan kurang tepat. Gusti (Pangeran, Ingsun) yang dimaksud adalah personifikasi dari Dzat Urip (Kesejatian Hidup), derivate (emanasi, pancaran, tajali) Tuhan.

Hal ini bisa dilihat dari “Wirid 8 Pangkat Kejawen”:

Wejangan panetepan santosaning pangandel, yaiku bubuka-ning kawruh manunggaling kawula-gusti sing amangsit pikukuh anngone bisa angandel (yakin) menawa urip pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejating Urip). Pangeran iku ya jumenenge urip kita pribadi sing sejati. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pageran. Dununge mangkene : “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggaal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.

Terjemahannya :

Ajaran pemantapan keyakinan, yaitu pembukanya kawruh (ilmu) “Manunggaling Kawula Gusti” yang memberikan wangsit (petunjuk) keteguhan untuk bisa yakin bahwa hidup kita pribadi sesungguhnya dirasuki Dzatnya Pangeran Pangeran (Dzat Urip, Sejatining Urip). Pangeran itu bertahtanya pada hidup kita yang sejati. Dwitunggal (roroning atunggal) yang disebut dan yang menyebut. Sedangkan pengertian utusan itu cahaya hidup kita pribadi, karena cahaya hidup kita itu menjadi pertanda adanya Pangeran. Maksudnya : “Sesungguhnya nyata semua datang kepada kamu utusan Pangeran (memancar) keluar dari dirimu sendiri. Sebenarnya utusan itu mencukupi semua yang kamu inginkan, kalau percaya pasti mendapatkan pengampunan dari Pangeran”. Bila bias menerima petunjuk yang seperti ini supaya awas dan hati-hati, ya hidup kita ini bertahtanya nugraha dan anugrah. Nugraha itu gusti (tuan) sedang anugrah itu kawula (abdi). Bersatu tanpa batas pemisah dalam badan kita sendiri.

Jadi menurut pemahaman saya pribadi, bahwa yang dimaksud dengan kawula itu adalah jiwa kita dan yang dimaksud dengan Gusti itu adalah Ruh kita. Mengenai pengertian jiwa dan ruh bisa dibaca pada artikel yang saya di bawah ini.
Definisi Jiwa dan Ruh
Jiwa

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr :27-30)

Saya sangat terkesan dengan ayat ini. Ada kerinduan untuk dipanggil oleh Allah dengan mesra. Tapi mungkinkah? Karena jiwa masih pekat dengan kabut dosa, sangatlah sulit untuk membuatnya menjadi cemerlang. Masih sering terngiang di telinga akan pesan Allah lewat firman-Nya :

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy Syams:9-10)

Defenisi Jiwa

Didalam sebuah artikel dijelaskan bahwa jiwa mampu menyimpan semua memori dari semenjak sejak lahir sampai jasad meninggal. Ibarat sebuah server yang besar, mampu menyimpan data yang besar pula. Tidak ada yang luput dari server ini, semua tersimpan dengan baik. Baik itu data kejahatan maupun data kebaikan. Berbeda dengan memori otak yang sangatlah terbatas. Misalnya kita disuruh untuk menghapal type mobil dan warnanya yang kita jumpai sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Sudah tentu terbatas sekali yang dapat kita hapalkan. Namun kalau jiwa yang merekam, sangatlah akurat. Jangankan type mobil dan warnanya. No. Polisinya pun terekam dengan baik bahkan dijalan apa dan pada jam berapa kita menjumpainya.

Data kejahatan membuat jiwa menjadi redup cahayanya atau bahkan padam sama sekali. Sedangkan data kebaikan membuat jiwa menjadi bersinar terang. Dan sinar ini mampu menghalau cahaya gelap.

Dan di akherat kelak data di server ini akan di tampilkan semua. Didalam DOS kita biasa mengetik perintah DIR, maka semua polder akan muncul. Begitu pula dengan jiwa, semua akan ditampilkan sedetail-detailnya dari yang sekecil-kecilnya.

Namun sebenarnya file kejahatan tidak semuanya akan ditampilkan. Karena ada fasilitas Delete File atau Hidden File. Siapa yang bisa melakukan ini. Ya…pasti pemilik server tentunya. Allah Rabbal Alamin. Dia mengampuni siapa yang di kehendakinya.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az Zumar:53)

Semakin terang cahaya jiwa, semakin dekatlah ia kepada Allah. Dan semakin berat pula godaan iblis. Karena iblis akan selalu mengirimkan pasukannya silih berganti untuk melalailkan sang jiwa ini. Dan jangan tanya berapa banyaknya. Semakin bersih jiwa semakin kuat iblis yang dikirimkan.

Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (
Al A'raaf:16-17)


Banyak yang rancu antara JIWA (nafs) dan RUH. Banyak yang menganggapnya sama, padahal sesungguhnya keduanya sangat berbeda.

Yang seperti apakah Jiwa itu? Jiwa adalah badan halus manusia, yang bisa bepergian – keluar dari Jasad wadag, ketika manusia sedang bermimpi, atau ketika ber ’OBE’ ria (Out of Body Experience) atau PLB – Perjalanan Luar Badan. Jiwa, merupakan tubuh halus manusia. Jiwa memiliki perangkat-perangkat yang menyebabkan manusia dicap sebagai makhluk sosial, makhluk cerdas (Aqal), makhluk spiritual (Qolbu). Jiwa yang menanggung semua akibat perbuatan tubuh fisik dan tubuh eterik.

Jiwa diciptakan sempurna tanpa cacat. Tidak ada yang terlahir sakit jiwa. Nggak ada bayi edan. Jiwa adalah putih bersih ketika dilahirkan, lingkungan dan pengalamanlah yang membuatnya bisa tetap putih atau kotor.

Komponen-Komponen Jiwa

Komponen yang dimiliki jiwa: Nafsu (sahwat, emosi), Hasrat (keinginan, ego), Aqal, Qolbu, dll.

Indera Jiwa

Indera Jiwa sering disebut pula sebagai Indera bathin. Jiwa juga memiliki indra penglihatan dan pendengaran. Dari situlah setan (dan jin) memberikan pengaruhnya ke jiwa, berupa suara-suara dihati kita yang mengajak ke perbuatan negatif.

Qolbu

Qolbu adalah Jantungnya Jiwa. Qolbulah yang menentukan baik-buruknya Jiwa. Gelap-terangnya Jiwa.
Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak Jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen Jiwa agar sesat.
[Firman Allah dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]

Suara-suara di Qolbu (hati)
• Suara si jiwa sendiri
• Suara Ruh kita
• Suara makhluk lain

Tingkatan Kesadaran Jiwa

Secara garis besar, ada 7 (tujuh) lapisan yang membatasi antara Jiwa dan Ruh, yang berkorelasi dengan tingkatan kesadaran Jiwa.
Lapisan tersebut hanya bisa ‘terbuka’ dengan melalui sedikit cara. Salah satu caranya adalah dengan ‘serius’ berupaya membersihkan diri, membersihkan Jiwa, membersihkan Qolbu (hati) dengan NIAT mendekatkan diri kepada ALLAH SWT - Sang Khalik. Atau merupakan sebuah anugrah karunia-NYA (given).

Lapisan ini berubah menjadi hijab kalau kotor. Bila pada lapisan 1 yang kotor (hijab) berakibat komunikasi antara Jiwa dengan Ruh terganggu. Muncullah penyakit non-fisik / kejiwaan (nafs) seperti pemarah, kejam, nafsuan, dll).

Nafs Lawwamah, Ammarah-bissu, dan nafs muthmainah.

Terbukanya (bersihnya) masing-2 lapisan tersebut, akan menumbuhkan kesadaran dan kemampuan Jiwa yang lebih tinggi [orang bilang ilmu laduni – ’ngkali].

Kesadaran Ruhiah – Ilahiah

Kesadaran tertinggi dari Jiwa adalah Kesadaran Ruhiah. Inilah yang didambakan oleh para pejalan spiritual. Tujuan akhir

Ruh

Al-Israa'(17): 85

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’ “.

Ruh adalah suci, ciptaan Allah, sehingga dikategorikan sebagai Makhluk. Jadi ruh dalam diri jasad manusia bukanlah Allah itu sendiri.

“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “ (Al Hijr:29)

Pengertian “roh KU”? Roh milik Allah. Roh ciptaan dan milik Allah, yang ditiup masuk oleh Allah ke dalam Jasad manusia. Bila manusia meninggal maka ruh ini akan kembali ke Sang Pencipta.

“akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)"(QS 75:14).

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Tidak ada yang namanya Ruh (Roh) jahat, gentayangan, ataupun lainnya. Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen yang dimiliki jiwa agar sesat.

[Firman ALLAH dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]

Kemana Tubuh Fisik, Eterik, Jiwa dan RUH Pergi Ketika Meninggal Dunia?

Kembalinya Ruh

RUH, yang saya tidak tahu sedikitpun esensinya, akan langsung kembali kepada Sang Pencipta.

Kembalinya Tubuh Fisik

Tubuh Fisik yang tersusun dari materi duniawi akan kembali menjadi materi-materi tanah. Tidak ada lagi kesadaran yang tersisa. Tak ada lagi cerita.

Tubuh Jiwa, kemana perginya?

Kemana perginya sangat tergantung dengan Keyakinan dan Laku Amal-Ibadah yang dilakoninya selama hidup didunia. Ketika kita memuja (membuka hati kepada) mahluk lain bukan kepada Allah SWT, kita mempersembahkan energi kita kepada sesama mahluk, baik manusia ataupun mahluk lain walau mereka berada di dimensi yang lebih tinggi, maka secara langsung kita membatasi diri kita sendiri dan potensi spiritual kita. Setiap saat kita membuka hati kita untuk hal/mahluk lain selain untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT, maka kita tersesat dari tujuan hidup yang sebenarnya.

Orang yang menghambakan diri, menggadaikan diri kepada selain Allah Yang Maha Esa, akan ditarik janji gadainya. Orang yang mencari pesugihan lewat gunung abc, akan ditagih jiwanya sebagai balasan kekayaan materi yang didapatnya selama hidup oleh penunggu gunung abc. Orang atheis, kafir yang tidak percaya adanya Allah SWT, apalagi suka berbuat dzalim, Jiwanya gelap matanya buta dan telinganya tuli. Tidak bisa melihat dan mendengar apa-apa. Jiwanya akan menunggu dalam dimensi kegelapan, hingga sangkakala berbunyi.

Orang yang beriman, yang berserah diri, yang suci, Yang mati sahid, Jiwanya akan langsung terbang, entah menuju dan menunggu dilangit yang mana. Tingginya langit yang bisa disambangi, tingginya surga yang akan didiami, berbanding lurus dengan Kemurnian Tauhid yang diyakini dan dijalani.

Dengan demikian terserah kepada diri kita masing-masing. Apakah kita tega mengotori jiwa kita atau justru membersihkannya?

Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.
Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah
meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman:

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku
tiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29)

Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas
atau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.
Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan
dari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalam
dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.

Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan
para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),
jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung
(al-qalb).

RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS)

Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.
Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan
jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli
sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi
dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan
kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah
ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di
dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik
dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan
terpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber
akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang
organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa
hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan
melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang
kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai
kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).

Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau
al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,
yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan
hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang
khusus, Dzatnya dan Penciptaannya.

Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat
yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia
mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.

Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan
memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang
menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yang
demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat
tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela
manusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalai
berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku
bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).

Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat
yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi
diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke
dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah
menjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah
melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang
telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,
yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.

Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan
ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan
terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.
Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah
sampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena
itu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk.

HATI SUKMA (QALB)

Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,
bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita
memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalah
segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di
dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran
yang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,
bahkan bangkainya.

Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang
halus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang
ada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yang
disebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumber
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1-79).

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,
bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu
jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para
filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui
pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama
merupakan daya berpikir.

Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah
atau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-hal
yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih
dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral
dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela
dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,
wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)
yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat
menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah
moralitas.

Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji
adalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti
ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar
hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,
sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya
kehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari
penyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnya
berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
--hati yang kotor.

Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh
hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah
yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah
orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika
cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani
bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari
Allah Swt.

Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada
dada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,
ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadap
dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,
dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki
Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari
hati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapi
lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.

Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan
nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu
menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan
manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. Wallahu A'lamu
bish-Shawab.

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib