Menembus Dimensi Ruang Dan Waktu

Menembus Dimensi Ruang Dan Waktu pada kesempatan ini kita bahas sebagai bentuk menambah wawasan dan memperkuat serta mempertebal keimanan kita pada Allah Swt. Menembus Dimensi Ruang Dan Waktu tentu suatu hal yang tidak mungkin jika kita pikirkan secara logika, namun secara logika kita bisa cari tahu bagaimana kebenarannya, karena bagi Allah Swt tidak ada hal yang tidak mungkin jika Dia menghendaki.

Analisis dimensi waktu pada peristiwa Isra Mi'raj

Jika kita mengacu ke banyak ayat al-Quran, kejadian di alam, penelitian tentang alam semesta dan teori relativitas Einstein bahwa Allah mencipta semesta dari awal terbentuknya, termasuk mungkin istilah surga-neraka dalam 6 hari (QS. 11:7, 50:38), maka bolehlah saya asumsikan bahwa 6 hari dalam dimensi Tuhan tersebut sama kadarnya dengan miliaran tahun dimensi alam semesta dan manusia dari tahun 'ke-0' termasuk Big Bang (QS. 21:30) sampai menjelang hari Kiamat (atau bahkan termasuk sesudah Kiamat?).

Sebagai perbandingan waktu, dimana 1 tahun Bima Sakti sama dengan 225 juta tahun waktu sistem solar atau 1 hari di Bima Sakti = 4281 tahun waktu bumi. Padahal 'Arsy Allah meliputi seluruh langit dan bumi (QS. 2:255). Sehingga automatis 1 hari 'Arsy adalah sama panjang dengan suatu masa yang lama daripada waktu segala apa yang ada di alam semesta.

"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjiNya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung. " (QS. 22:47)

Waktu di bumi atau bumi yg lain saat ini hanyalah seperseribuan sekian per satuan waktu di masing-masing lokasi jagat raya terhadap waktu Arsy. Dengan demikian satu peristiwa penting bagi perjalanan hidup manusia yaitu perjalanan Isra Mi'raj, kemungkinan adalah sebuah fakta time travel atau quantum leap menembus ruang dan waktu ke 'masa depan' bagi nabi Muhammad dalam perspektif manusia, dimana beliau seperti beberapa saat saja dalam kondisi waktu berpergiannya.

Hal ini didasarkan karena telah terjadi penyesuaian atau percepatan terhadap waktu antara waktu ekuivalen Arsy dengan waktu bumi dan terhadap jarak diantara keduanya, time vs time sekaligus time vs distance sehingga nabi dengan seijin Allah sebagiannya dapat melihat gambaran masa depan, 'surga dan neraka' pada saat 'satelit super' dan 'monitor canggih' di 'piring terbang' diarahkan ke bumi dan alam semesta selama dalam perjalanan. Bahkan perangkat 'teknologi canggih komputer' inipun dapat menangkap dan menerjemahkan frekuensi Jibril sehingga nabipun dapat melihat wujud asli Jibril (QS. 81:23, dugaan ini bisa saja terjadi pada frekuensi yang muncul saat dua bintang kembar paling terang yang bergerak saling mendekati (Sirius A dan Sirius B), QS. 53:9). Karena itu saya berharap para ilmuwan dapat menyingkap penjelasan fenomena bertemunya dua bintang ini.

Namun bisa juga penglihatan nabi yang sudah dibuka mata batinnya ini terjadi saat hijab atau ruang (sumber neutron berpancaran super kuat) yang berfungsi sebagai perekam/kohesi segala energi alam (bukankah gelombang radio mampu menampilkan gambar dan suara sekaligus seperti yang kita kenal sebagai televisi) ataupun peralatan shooting live atau on air dari satelit dan high-end super computer, terhadap kejadian di alam yang terkini dan kasat mata menurut waktu Arsy, disingkap saat di Sidratul Muntaha (flashback sebagian peristiwa penting sampai ke waktu dimana nabi mulai berangkat menuju langit). Meski tidak menutup kemungkinan bahwa penglihatan ini mungkin sekedar visualisasi dari sebuah simulasi visioner (ala virtual reality) atau bisa juga bahwa nabi benar-benar mengalami perubahan badaniyah (jism) untuk penyesuaian dimensi alam gaib. Wallahu 'alam bish shawwab.

"Saya diutus bersama dengan kiamat, sungguh dia hampir mendahuluiku". (HR. Ahmad dan Thabrani, dengan sanad hasan)

Hadis tersebut seolah bermaksud bahwa nabi mengetahui jika dirinya telah mengalami lompatan kuantum (saya tidak tahu persis apakah hadis tersebut muncul saat nabi belum melakukan Miraj atau sesudahnya). Dan ini tentu lebih logis menurut saya. Dengan kata lain, nabi berpergian ke langit, bertemu dengan Allah dan menerima perintah shalat 5 waktu tepat di hari ke-6 atau lebih tepatnya pada sisa waktu hari ke-7 (pada 'malam hari' waktu Arsy) saat Allah bersemayam di atas Arsy yang mana bahkan Jibril sendiri tidak mampu mencapai keadaan atau waktu/momentum tersebut, dan bukan di hari ke-5,5 ataupun 5,75 dalam masa penciptaan di sisi Allah SWT. Wallahu 'alam bish shawwab.

Saat mana peristiwa Mi'raj berawal dari tahun 621 masehi di bumi, sebagai waktu terbaik bagi Allah untuk nabi agar dapat melakukan perjalanan panjang (saat beliau mulai berangkat ke langit), dimana waktu di bumi terus berputar menuju akhir jaman dalam dimensi perjalanan nabi, sampai akhirnya beliau tiba di langit (waktu 'Arsy dan waktu bumi bergerak beriringan secara sistematis, namun dipengaruhi adanya time dilation factor). Kronologi peristiwa Isra Mi'raj ini seolah digambarkan dan dapat diikuti berdasarkan urutan ayat sebagai berikut: QS. 7:54, 57:4, 7:54, 25:59, 10:3, dan 32:4.

Coba kalau kita membuka Al-Qur'an, maka disana ada 7 surat dengan masing-masing 7 ayat yang menyebutkan kalimat penciptaan dalam enam masa yang diikuti dengan kata bersemayam, Arsy, atau 'beristirahat' tanpa keletihan (QS. 7:54, 10:3, 11:7, 25:59, 32:4, 50:38, dan 57:4). Asumsi ini tentunya sedikit bertentangan dengan penulis di http://www.speed-light.info, yg seolah menyatakan bahwa Isra Miraj bukanlah sebuah time travel, melainkan hanyalah sekedar konsekuensi pemangkasan atau pemendekan/delay waktu di dalam wormhole/lubang cacing.

Persepsi penulis tsb dapat saya artikan sebagai berikut: "On the other hand for this assumption, that result is assumed that heaven's time in one space side vs heaven's time in another distant space side are the same and 'not changed', but the times just reduce in the wormhole because its big gravity acceleration".

Penulis tsb mengatakan karena cepatnya perjalanan di dalam wormhole, menghasilkan rasio perjalanan 1 hari di wormhole sama dengan 50.000 tahun waktu bumi sehingga ketika sampai di sisi lain galaksi maka waktu yang didapat adalah waktu saat ini di galaksi tersebut, tanpa selanjutnya memperhatikan adanya pengaruh jarak atau perbedaan gravitasi antar wilayah vs waktu.

Hal ini sedikit membingungkan menurut saya. Karena kalau nabi hanya sekedar berpindah tempat (tanpa mengalami mekanisme atau konsekuensi penyesuaian waktu), kenapa harus jauh-jauh ke Sidratul Muntaha? Apa bedanya? Apa hikmahnya bagi kita? Apakah peristiwa Isra Mi'raj adalah suatu misteri yang berlangsung tanpa melalui proses alamiah atau sekedar ilusi alam gaib saja seperti anggapan orang kafir (QS. 11:7) yang tidak bisa diambil pelajaran?

Padahal kenyataan yang kita tahu bahwa nyaris semua kejadian di alam (sebagai bagian makhluk Allah) adalah menggunakan atau terikat konsep sunnatullah (kausalitas) untuk mengatur alam dan kehidupan, yang semuanya itu merupakan hukum milik Allah SWT sendiri. Hanya saja kenyataan ini tidak semuanya disadari oleh manusia, termasuk saya juga. Tanpa adanya hukum alam bagaimana manusia bisa membuat komposisi sinar laser, radar, komputer, refrigerator (pengawetan dengan pembekuan), kapal selam atau pesawat ulang-alik?

Energi, panas, sinar, air, gravitasi, magnetudo, getaran, matahari adalah buatan Allah dan bukan sesuatu yang abstrak atau tak tersentuh oleh hukum alam. Bahkan hukum alamiah ini juga tampak jika kita melihat cara kerja organ dalam tubuh manusia yang susunannya sepintas mirip dengan gambaran alam semesta. Karena itu tidaklah menjadi sesuatu yang aneh bila kedatangan nabi di Sidratul Muntaha adalah untuk menjelaskan suatu fenomena alam bagi orang yang mau berfikir (QS. 11:7, 13:2) dan semestinya tidak dalam rangka pulang kampung semata seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang Islam pada saat Idul Fitri. Wallahu 'alam bish shawab.

Asumsi ini sejalan dengan pendapat para peneliti saat ini, seperti yang diungkap oleh Edwin Hubble pada tahun 1929, bahwa alam terus mengembang (seperti kelopak bunga mawar, QS. 55:37, 51:47) dan akhirnya suatu ketika menangkup kembali/Big Crunch (QS. 21:104). Artinya alam masih dalam proses penciptaan sebagian dari keseluruhan yang akan menjadi total 7 langit atau lebih beserta apa diantaranya termasuk 'surga-neraka' (QS. 79:28, 13:2). Atau dengan kata lain proses penciptaan belumlah usai menurut ukuran waktu manusia pada saat ini, akan tetapi 'sudah selesai' di sisi Allah SWT. Wallahu 'alam bish shawwab.

Ayat lain mengatakan:
"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan". (QS. 51:7)

"Malaikat-malaikat (the light) dan Jibril (the soul) naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun". (QS. 70:4)

"(yaitu) bintang yang cahayanya menembus, tidak ada suatu jiwapun (diri, dapat diartikan jiwa Muhammad SAW) melainkan ada penjaganya." (QS. 86:3-4 )

Hal tsb dapat dicerna bahwa jika manusia melakukan perjalanan secara normal dengan menggunakan wahana berkecepatan (mendekati) cahaya (kecepatan cahaya di ruang hampa udara = 299.792,5 km/detik dan bisa berkurang karena pengaruh gaya gravitasi), maka konsekuensinya atau ukurannya adalah 50.000 tahunan sekian per waktu bumi dimana manusia baru sampai di langit semenjak waktu keberangkatannya (disertai dengan catatan bahwa waktu lokal Arsy berbeda 1000 tahun dengan waktu lokal bumi ataupun tempat lain di jagat raya, termasuk mungkin juga waktu di Sidratul Muntaha), yang berarti logika rumusnya adalah sama dengan tiba di masa mendatang setelah 50.000 tahun atau setelah 50.000 kali putaran bumi terhadap matahari.

Namun jika nabi beserta Jibril melakukan perjalanan melalui semacam medan dan lorong gravitasi black hole (QS. 86:3-4) dan wormhole berpintu banyak (tempat-tempat naik, QS. 70: 3), yang berfungsi sebagai gaya dorong dari satu langit ke langit lainnya dan mungkin cara kerjanya seperti pompa sedot, yaitu menghisap disatu sisi dan dikeluarkan disisi lain, maka logislah bahwa usaha nabi tsb disamping 'menggunakan piring terbang' maka waktu 'mendatang' yang disebut '50.000' sekian tahun tsb dan bukan sekedar perbandingan rasio waktu, secara nyata dapat dicapai secara singkat saat melakukan Mi'raj (tentunya berarti dengan melakukan percepatan perjalanan ke 'masa depan' menurut versi manusia, dimana arti istilah masa depan sebenarnyalah hanya untuk mencapai atau menyamakan satu waktu tertentu di sisi Allah SWT yang ekuivalen dengan waktu di bumi).

Pemahaman ini sesuai dengan teori relativitas Einstein yang mengatakan 'a faster moving object (accelerated object) appears (gets) to experience slower time (equivalent of times to one another). It means fast moving then (gets equivalent to) clocks run slower'. Kita juga tentu ingat dengan permainan ular tangga dimana seorang pemain dapat mencapai nomor terakhir tanpa melewati nomor-nomor dibawahnya. Demikian pula dia dapat kembali ke nomor awal atau yang lebih rendah jika berhenti di petak bertanda ekor ular. Sementara pemain lain harus melewati satu demi satu nomor jika tidak bertemu dengan petak bertanda tangga. Wallahu 'alam bish shawab.

Bahkan lebih jauh asumsi ini mungkin relevan untuk sedikit memahami bagaimana aktivitas atau cara syetan yang mencoba mencuri berita di langit terjadi. Dan juga persepsi tentang bagaimana dengan adanya langit yang bertingkat-tingkat. Dimana makin dekat Arsy maka waktu semakin pendek di sisi Allah tetapi makin panjang menurut waktu bumi yang menjauhi Arsy (mengikuti teori relativitas Einstein dimana 'time passes slower near bigger mass', http://www.speed-light.info). Wallahu 'alam bish shawwab.

Dengan demikian, untuk kasus 'mengetahui masa depan' suatu jaman (yang berarti mendekati atau presisi sama dengan waktu di sisi Allah SWT at Allah's present time), dapat 'dicapai atau diketahui' jika dan hanya jika makhluk Allah tersebut menempuh dan dalam perjalanan ke arah atau menuju langit secara instan/cepat (Mi'raj) yaitu menuju tempat yg berupa persesuaian antara waktu bumi dg waktu yg mendekati waktu Arsy (terlepas dari apa sebenarnya makna Arsy Allah tersebut), dan bukan dengan istilah menembus ke tempat atau ke dimensi yang lain seperti Alice's Looking Glass yang tidak masuk akal, kecuali bilamana relevansi Lookin' Glass hanyalah cocok untuk istilah menembus alam jin. Wallahu 'alam bish shawab.

Hal ini tetaplah selaras dan berimbang, misalnya jika secara teoritis peradaban manusia nantinya mampu melakukan time travel ke langit saat gerbang langit 'dibuka' (QS. 15:14) atau bebas hambatan menurut kadar teknologi manusia atau oleh makhluk lain di alam semesta, dan manusia tersebut kembali lagi ke bumi (local area), manusia akan tetap berada di masa sekarang menurut waktu bumi atau waktu setempat, dan bukan di masa depan, karena peristiwa yang terjadi 'semata-mata hanyalah' persesuaian waktu antara langit dan bumi.

Dengan kata lain, manusia 'tidaklah' dapat mengubah sejarah atau melakukan perulangan dimensi (reinkarnasi) seperti dalam film-film dan juga tidak dapat mengubah hukum alam (God's values consistency, tidak seperti watak dan kadar iman seseorang yang naik turun), karena waktu tidak pernah berhenti atau mundur (clocks always tick constantly) kecuali adanya faktor time dilation antar wilayah semata yang disebabkan adanya perbedaan massa (volume) dan jarak.

Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan, bahwa nabi 'tidak akan' mengalami hal yang sama di satu tempat atau satu waktu, dimana suatu waktu nabi pernah berada di atau MENJELANG 'hari Akhir' (saat Isra Mi'raj dengan posisi beliau di Sidratul Muntaha) dan suatu saat beliau juga akan berada TEPAT (mengalami) di hari Akhir (ada selisih waktu dan kita juga belum tahu dimana posisi beliau saat itu berada entah di bumi atau di langit yang mana). Dan ini juga tidak berarti bahwa nabi tahu secara tepat jam dan waktu hari esok, namun hanya sekedar ancar-ancar atau tanda-tanda karena waktu kiamat secara pasti hanyalah Allah yg tahu (QS. 67:26, 31:34). Wallahu 'alam bish shawwab.

Bibel sendiri mengatakan gambaran seperti ini:
kejadian 28:12

Maka bermimpilah ia, di bumi ada didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu

Contoh lain tentang aspek dilatasi waktu ini yaitu dalam suatu riwayat lain tentang keberadaan ruh (the soul) orang mukmin yang seperti tidur beberapa saat saja (di langit) padahal jarak waktu di bumi sampai hari dibangkitkan adalah terasa lama bagi manusia di bumi. Dan terdapat pula kisah Ashabul Kahfi yang tidur hingga 350 tahun.

"Yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja." (QS. 7:52)

"Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk". (QS. 10:45)

"Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi. Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung. Kamu TIDAK TINGGAL (di bumi) melainkan sebentar saja kalau kamu sesungguhnya mengetahui". (QS. 23:112-114)

Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam. (Mazmur 90:4)

Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. (2 petrus 3:8)

Berdasarkan adanya relativitas waktu langit vs. bumi maka tidaklah menyalahi sunnatullah, mubazir ataulah bertentangan (inkonsisten) jika semisal nabi Isa (dengan jasad kasarnya, QS. 3:145) akan turun kembali (tentunya dalam kapasitas makmum risalah Muhammad tanpa 'jabatan' kerasulan) sebagai legitimasi penegasan/stempel hidup kebenaran agama yang dibawa Muhammad di akhir jaman (QS. 61:6).

Dari Abu Sa'id, ujarnya: Rasulullah saw. bersabda: "Bila masjid-masjid kamu dihias dengan mewah dan mushaf kamu (Al-Quran) dihias dengan indah, pastilah kehancuran akan menimpamu." (HR. Ibnu Abi Syabiah)

Dimana Al-Quran meski nilainya cukup teruji dan terbuktikan dengan sendirinya (QS. 5:3) namun hanyalah 'benda mati' dan nabi Isa mungkin disiapkan sebagai counter fitnah dimana terjadi jaman (peristiwa besar) berupa kekalapan, kekacauan sosial, intimidasi, kejenuhan, perpecahan serius, penyelewengan agama Islam, masjid dan Quran ditinggalkan dan kerusuhan skala global yang sangat tidak kondusif dan tidak teratasi dalam peradaban umat Islam, sehingga dengan figur kepemimpinan nabi Isa maka kebenaran Al Quran sulit dibantah secara kasat mata oleh kecerdasan dan kekuatan sang Dajjal dan oleh kebingungan dan keraguan orang kafir di jaman modern (kontroversi akal manusia modern) yang menyimpulkan kebenaran ayat/ilmu pengetahuan modern sebagai bentuk keajaiban sihir alam supranatural (QS. 3:53-55, 61:6). Wallahu 'alam bish shawwab.

"Jika Musa dan Isa hidup, mereka harus mengikuti aku" (Alyawaqit Waljawaahir, Abdul Wahab Sya'rani, Al Haramain, Singapura, hal. 22, bab ke 32).

Kembali ke alur cerita, kalau begitu bagaimana dengan nasib ruh orang jahat? Mungkin malah sebaliknya, yaitu malah masuk mendekati ke inti bumi yang panas dan lebih lama... ;) (QS. 57:4) Na'udzubillah. Wallahu 'alam bish shawwab.

Dengan adanya time dilation factor, secara logika bisa saja ada makhluk Allah yang lain masih berada di jaman dinosaurus relatif terhadap waktu bumi, seperti tulisan pak Armansyah dimana satu detik bumi sama dengan 1.000 juta tahun elektron atau 1 tahun Bima Sakti (local area) sama dengan 225 juta tahun waktu sistem solar (local area). Namun kehidupan tsb tentunya hanya terjadi di galaksi lain dan bukan di bumi. Akan tetapi menurut hemat saya, mestinya hal seperti itu tidak terjadi atau bahwa bumi sudah merupakan 'generasi' terakhir dan menempati tingkatan paling bawah dari tujuh langit. Karena nabi pernah bersabda bahwa datangnya kiamat atau hari azab tidaklah lama sesudah masa diutusnya (berjarak '1 masa' yaitu 1000 tahun, QS. 22:47 dan dalam satu hadis riwayat Imam Thabrani) sebagaimana bahwa nabi menjadi utusan terakhir/penutup. Wallahu 'alam bish shawab.

Hikmah apa yang dapat dipetik jika terdapat asumsi bahwa penciptaan alam 'benar-benar telah selesai' di mata Allah, jika acuan yang kita pakai adalah adanya besaran dilatasi waktu? Hal ini secara absolut menyingkap bahwa semua pemikiran, argumen, ataupun usaha yang dibuat oleh sepanjang sejarah manusia diluar nilai-nilai dan sistem Islam adalah menjadi tertolak dengan sendirinya. Atau kata lainnya bahwa hukum alam dan AlQur'an telah menjadi suatu sistem atau nilai deduksi yang konstan dan valid. Konsekuensinya, segala eksperimen yang dilakukan oleh manusia (termasuk pencarian hakekat kebenaran dan hakekat Tuhan) di dunia dari dulu sampai hari akhir tidak akan melampaui/mengungguli tatanan kebenaran atau nilai-nilai dalam Al-Qur'an/Islam (QS. 3:19,85), entah metodologi yang digunakan manusia menggunakan cara simulasi, deduksi atau induksi matematis (Induksi Matematika Benarkah Ada?). Walhasil, ide paragraf ini menunjukkan bahwa ajaran Alquran sudah mencukupi kebutuhan seluruh manusia dan makhluk Allah sampai akhir jaman (universal).

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama kamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama untuk kamu." (QS. Al-Mâ`idah: 3)

"Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr (Al-Qur’an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (QS. An-Nahl, 16: 44)

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al-Mu’minuun, 23: 115)

"Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." (QS. Ar-Ruum, 30: 8)

Tentang kemungkinan adanya kehidupan lain di alam semesta mungkin ayat di bawah dapat memberikan petunjuk:

"Dan orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan sedang orang-orang kafir Mekah itu belum sampai menerima sepersepuluh dari apa yang telah kami berikan kepada orang orang dahulu itu lalu mereka mendustakan rasul-rasulKu . Maka alangkah hebatnya akibat kemurkaanKu". (QS. Saba', 34: 45)

"Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat-tempat yang tinggi". (QS. Al-Anbiyaa', 21: 96)

Dari keterangan-keterangan diatas mungkin akan menyisakan suatu pertanyaan, apakah benar dunia sejak tercipta sampai kiamat tiba diwakili hanya 6 hari saja disisi Allah SWT? Apakah tidak mungkin bukan 6 hari, tapi 6 jam misalnya? Tentang hal ini saya mempunyai suatu perpektif lain bahwa bisa saja perhitungan 6 hari tersebut hanya 6 jam atau mungkin juga 6 detik, karena Allah SWT menunjukkan dalam ayat berbeda bahwa akan ada orang mukmin di hari penghisaban yang menyatakan bahwa manusia hanya hidup sehari saja didunia seperti yang ditunjukkan ayat (QS. 10:45) dan (QS. 23:112-114). Analisis lain tentang hal ini dapat dilihat di indeks judul, "Sains dalam Quran/Hadis".

Saya menganggap bahwa pengetahuan akan adanya dilatasi waktu antar galaksi adalah suatu fenomena menarik bagi kaum muslimin. Fenomena inipun banyak terjadi pada peristiwa sehari-hari dan bahkan dipelajari oleh ilmuwan barat untuk mempelajari peristiwa di alam raya. Dan mestinya bukanlah sesuatu yang dilarang atau berlebihan untuk lebih memahami fenomena di alam. Untuk selanjutnya yang kita tunggu adalah adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan untuk dapat mengungkapkan desain dari black hole dan wormhole yang gabungan keduanya mirip bentuk teratai (Sidrah atau Sidratul, http://armansyah.swaramuslim.net) dan bentuk otak pada tubuh manusia. Sehingga semua ini mudah-mudahan dapat meningkatkan ketakwaan kita dihadapan sang Pencipta.

DIMENSI RUANG WAKTU

WAKTU                                                  

Berbicara  mengenai  "waktu"   mengingatkan   penulis   kepada
ungkapan  Malik  Bin  Nabi  dalam  bukunya  Syuruth An-Nahdhah
(Syarat-syarat Kebangkitan)  [*]  saat  ia  memulai  uraiannya
dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama
sebagai hadis Nabi Saw.:

[*] Edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh  Penerbit  Mizan
dengan judul Membangun Dunia Baru Islam (1994)

     Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru.
     "Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang
     menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak
     akan kembali lagi sampai hari kiamat."

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:

     Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru
     sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa,
     membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia
     diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak
     menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya,
     walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan
     mampu melepaskan diri darinya.

Sedemikian  besar   peranan   waktu,   sehingga   Allah   Swt.
berkali-kali  bersumpah  dengan menggunakan berbagai kata yang
menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti  wa  Al-Lail  (demi
Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan
lain-lain.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?

Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat
arti  kata  "waktu":  (1)  seluruh  rangkaian saat, yang telah
berlalu, sekarang, dan yang akan  datang;  (2)  saat  tertentu
untuk  menyelesaikan  sesuatu;  (3)  kesempatan,  tempo,  atau
peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.

Al-Quran   menggunakan   beberapa   kata   untuk   menunjukkan
makna-makna di atas, seperti:

a.  Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti
berakhirnya usia manusia atau masyarakat.

     Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS
     Yunus [10]: 49)

Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi
Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:

     Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu.
     Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku
     sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas
     diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita
     ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).

b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui  alam
raya  dalam  kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan-Nya
sampai punahnya alam sementara ini.

     Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia
     satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum
     merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada
     di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).

     Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita
     berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak
     ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr
     (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS
     Al-Jatsiyah [45]: 24).

c. Waqt digunakan  dalam  arti  batas  akhir  kesempatan  atau
peluang  untuk  menyelesaikan  suatu  peristiwa.  Karena  itu,
sering  kali  Al-Quran  menggunakannya  dalam  konteks   kadar
tertentu dari satu masa.

     Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada
     orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS
     Al-Nisa' [4]: 103) .

d.  'Ashr,  kata  ini   biasa   diartikan   "waktu   menjelang
terbenammya  matahari",  tetapi  juga  dapat diartikan sebagai
"masa" secara mutlak. Makna terakhir ini  diambil  berdasarkan
asumsi   bahwa  'ashr  merupakan  hal  yang  terpenting  dalam
kehidupan manusia.  Kata  'ashr  sendiri  bermakna  "perasan",
seakan-akan  masa  harus  digunakan oleh manusia untuk memeras
pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan
saja sepanjang masa.

Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa  kesan  tentang
pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian
bahasa indonesia), yaitu:

  a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada
     batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang
     langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.
   
  b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah
     tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat
     oleh waktu (dahr).
   
  c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda,
     dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan
     untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari
     waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan
     adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami
     (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,
     dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk
     menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan
     bukannya membiarkannya berlalu hampa.
   
  d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang
     dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras
     keringat dan pikiran.

Demikianlah arti dan  kesan-kesan  yang  diperoleh  dari  akar
serta  penggunaan  kata  yang  berarti  "waktu" dalam berbagai
makna.

RELATIVITAS WAKTU

Manusia tidak dapat melepaskan diri  dari  waktu  dan  tempat.
Mereka  mengenal  masa  lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan
manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris  dan
lingkungan.  Kesadaran  kita  tentang waktu berhubungan dengan
bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya  (malam  saat
terbenam  dan  siang  saat  terbitnya)  maupun kenyataan bahwa
sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya  matahari,
atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.

Perhitungan  semacam  ini  telah  menjadi kesepakatan bersama.
Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan
dan  diakui  oleh  Al-Quran  (seperti  setahun sama dengan dua
belas bulan pada  surat  At-Taubah  ayat  36),  Al-Quran  juga
memperkenalkan  adanya  relativitas waktu, baik yang berkaitan
dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.

Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu  yang
dialaminya  kelak  di  hari  kemudian.  Ini disebabkan dimensi
kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.

Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:

     Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah
     lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami
     tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga  ratus  tahun
lebih,  menduga  bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama
sehari atau kurang,

     Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau
     setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).

Ini karena mereka ketika itu  sedang  ditidurkan  oleh  Allah,
sehingga  walaupun  mereka  berada  dalam  ruang yang sama dan
dalam rentang  waktu  yang  panjang,  mereka  hanya  merasakan
beberapa saat saja.

Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam
Al-Quran  ditemukan  kata  kerja  bentuk  masa  lampau   (past
tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai
masa depan. Allah Swt. berfirman:

     Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka
     janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ...
     (QS Al-Nahl [16]: 1).

Bentuk kalimat semacam ini dapat  membingungkan  para  pembaca
mengenai  makna  yang  dikandungnya,  karena bagi kita, kiamat
belum datang. Tetapi di sisi lain  jika  memang  telah  datang
seperti  bunyi  ayat,  mengapa  pada  ayat  tersebut  dilarang
meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah
akan  sirna,  jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi
waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang  akan
datang  sama  saja.  Dari  sini dan dari sekian ayat yang lain
sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.

Ketika Al-Quran berbicara tentang  waktu  yang  ditempuh  oleh
malaikat   menuju   hadirat-Nya,   salah  satu  ayat  Al-Quran
menyatakan  perbandingan  waktu  dalam  sehari  kadarnya  sama
dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).

     Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada
     Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun
     (QS Al-Ma'arij [70]: 4).

Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang  ditempuh
oleh  para  malaikat  tertentu  untuk  naik ke sisi-Nya adalah
seribu tahun menurut perhitungan manusia:

     Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
     (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
     kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS
     Al-Sajdah [32]: 5).

Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang  dilakukan  oleh
satu  pelaku  mengakibatkan  perbedaan  waktu  yang dibutuhkan
untuk  mencapai  suatu  sasaran.  Batu,  suara,   dan   cahaya
masing-masing  membutuhkan  waktu  yang berbeda untuk mencapai
sasaran yang sama. Kenyataan ini  pada  akhirnya  mengantarkan
kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan
waktu demi  mencapai  hal  yang  dikehendakinya.  Sesuatu  itu
adalah Allah Swt.

     Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti
     kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).

"Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam
pengertian  dimensi  manusia,  karena  Allah  berada  di  luar
dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:

     Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
     sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka
     terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)

Ini pun bukan berarti bahwa untuk  mewujudkan  sesuatu,  Allah
membutuhkan  kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan
Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat  di  atas
hanya  ingin  menyebutkan  bahwa  Allah  Swt.  berada  di luar
dimensi ruang dan waktu.

Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak  boleh  dipahami
secara  mutlak  seperti  pemahaman  populer dewasa ini. "Allah
menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus  dipahami
sebagai  enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata
"tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari --walaupun  kata
yaum  dalam  Al-Quran  yang  berarti  hari  hanya terulang 365
kali-- karena umat manusia  berbeda  dalam  menetapkan  jumlah
hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan
perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat
manusia  mengenal  pula  perhitungan yang lain. Sebagian ulama
menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi  Nuh
a.s.  hidup  di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29:
14), tidak harus dipahami dalam konteks  perhitungan  Syamsiah
atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan
tahun berdasarkan  musim  (panas,  dingin,  gugur,  dan  semi)
sehingga  setahun  perhitungan  kita  yang  menggunakan ukuran
perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan
musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi
Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230
tahun.

Al-Quran  mengisyaratkan  perbedaan  perhitungan  Syamsiah dan
Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya  penghuni  gua
(Ashhabul-Kahfi) tertidur.

     Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama
     tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS
     Al-Kahf [18]: 25).

Tiga ratus tahun di tempat itu menurut  perhitungan  Syamsiah,
sedangkan   penambahan   sembilan   tahun  adalah  berdasarkan
perhitungan  Qamariah.  Seperti  diketahui,  terdapat  selisih
sekitar  sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah
dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu  adalah  sekitar
300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.

TUJUAN KEHADIRAN WAKTU

Ketika beberapa orang  sahabat  Nabi  Saw.  mengamati  keadaan
bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama,
kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka
bertanya   kepada   Nabi,  "Mengapa  demikian?"  Al-Quran  pun
menjawab,

     Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan
     untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]:
     189).

Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa  peredaran  matahari
dan   bulan   yang   menghasilkan   pembagian  rinci  (seperti
perjalanan  dari  bulan  sabit  ke   purnama),   harus   dapat
dimanfaatkan  oleh  manusia  untuk  menyelesaikan  suatu tugas
(lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas).
Salah  satu  tugas  yang harus diselesaikan itu adalah ibadah,
yang dalam hal ini  dicontohkan  dengan  ibadah  haji,  karena
ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.

Keadaan   bulan  seperti  itu  juga  untuk  menyadarkan  bahwa
keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak  ubahnya  seperti
bulan.  Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak
di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil  bagai  sabit,
dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur
bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai
akhirnya hilang dari pentas bumi ini.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:

     Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti
     untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yartg
     ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang
     ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).

Mengingat berkaitan  dengan  masa  lampau,  dan  ini  menuntut
introspeksi  dan  kesadaran  menyangkut  semua  hal yang telah
terjadi,  sehingga  mengantarkan   manusia   untuk   melakukan
perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi
agama, adalah "menggunakan segala potensi  yang  dianugerahkan
Allah   sesuai   dengan  tujuan  penganugerahannya,"  dan  ini
menuntut upaya dan kerja keras.

Banyak    ayat     Al-Quran     yang     berbicara     tentang
peristiwa-peristiwa  masa  lampau,  kemudian  diakhiri  dengan
pernyataan.  "Maka  ambillah  pelajaran  dan  peristiwa  itu."
Demikian  pula  ayat-ayat  yang menyuruh manusia bekerja untuk
menghadapi masa depan, atau berpikir,  dan  menilai  hal  yang
telah dipersiapkannya demi masa depan.

Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:

     Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang
     telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]:
     18).

Menarik untuk  diamati  bahwa  ayat  di  atas  dimulai  dengan
perintah  bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini
mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta  tempat  bertolak
untuk  mempersiapkan  hari  esok haruslah ketakwaan, dan hasil
akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.

Hari esok yang dimaksud oleh ayat  ini  tidak  hanya  terbatas
pengertiannya  pada  hari  esok  di  akhirat  kelak, melainkan
termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu  yang
kita  alami.  Kata  ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan
dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga
di  antaranya  secara  jelas digunakan dalam konteks hari esok
duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik
yang dekat maupun yang jauh.

MENGISI WAKTU

Al-Quran  memerintahkan  umatnya  untuk   memanfaatkan   waktu
semaksimal  mungkin,  bahkan  dituntunnya  umat  manusia untuk
mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal  dengan
mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan
lebih  jauh  tentang  hal  ini,  perlu   digarisbawahi   bahwa
sementara  kita  ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi
dengan beribadah (dalam  pengertian  sempit).  Mereka  merujuk
kepada  firman  Allah  dalam  surat  Adz-Dzariyat ayat 56 yang
menyatakan, dan memahaminya dalam arti

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku".

Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan  kerancuan,  karena
memahami  lam  (li)  pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam
bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian,  melainkan
juga  dapat  berarti  kesudahannya  atau akibatnya. Perhatikan
firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat  8  yang  menguraikan
dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.

     Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang
     akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
     Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya
     adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]:
     8).

Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan  "agar",  maka  ayat
tersebut  akan  berarti,  "Maka  dipungutlah  ia  (Musa)  oleh
keiuarga Fir'aun 'agar' ia menjadi musuh  dan  kesedihan  bagi
mereka."  Kalimat  ini  jelas  tidak  logis,  tetapi  jika lam
dipahami sebagai akibat atau  kesudahan,  maka  terjemahan  di
atas  akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga
Fir'aun,  dan  kesudahannya  adalah  ia  menjadi  musuh   bagi
mereka.

Kembali  kepada  ayat  Adz-Dzariyat  di atas, dapat ditegaskan
bahwa  Al-Quran  menuntut  agar  kesudahan   semua   pekerjaan
hendaknya  menjadi  ibadah  kepada  Allah,  apa  pun jenis dan
bentuknya. Karena itu, Al-Quran memerintahkan untuk  melakukan
aktivitas apa pun setelah menyelesaikan ibadah ritual.

     Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat),
     bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
     Allah, dan selalu ingatlah Allah supaya kamu beruntung
     (QS Al-Jum'ah [62]: 10).

Dari sini  ditemukan  bahwa  Al-Quran  mengecam  secara  tegas
orang-orang  yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan
tertentu seperti kanak-kanak. Atau  melengahkan  sesuatu  yang
lebih  penting  seperti  sebagian  remaja,  sekadar mengisinya
dengan bersolek seperti sementara wanita, atau menumpuk  harta
benda  dan  memperbanyak  anak  dengan tujuan berbangga-bangga
seperti halnya dilakukan banyak orangtua.

     Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak
     beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan,
     perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta
     berbanggaan tentang banyaknya harta dan anak (QS 57: 20
     dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) .

Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali  dikemukakan
dalam   bentuk   indefinitif   (nakirah).   Bentuk   ini  oleh
pakar-pakar bahasa dipahami sebagai  memberi  makna  keumuman,
sehingga amal yang dimaksudkan mencakup segala macam dan jenis
kerja. Perhatikan misalnya firman Allah dalam surat Ali  Imran
ayat 195.

     Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang di
     antara kamu baik lelaki maupun perempuan.

Al-Quran tidak hanya memerintahkan  orang-orang  Muslim  untuk
bekerja,  tetapi  juga  kepada selainnya. Dalam surat Al-An'am
ayat 135 dinyatakan,

     Hai kaumku (orang-orang kafir), berbuatlah sepenuh
     kemampuan (dan sesuai kehendak). Aku pun akan berbuat
     (demikian). Kelak kamu akan mengetahui siapakah di
     antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik di
     dunia/akhirat.

Bahkan Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal  bekerja  saja,
tetapi  bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati. Al-Quran
tidak memberi peluang kepada seseorang untuk  tidak  melakukan
suatu  aktivitas  kerja  sepanjang  saat yang dialaminya dalam
kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr dan dua ayat terakhir dari
surat   Alam  Nasyrah  menguraikan  secara  gamblang  mengenai
tuntunan di atas.

Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman  optimisme
kepada setiap Muslim dengan berpesan,

     ... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada
     kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan
     (QS 94: 5-6).
    
Maksudnya,  sesungguhnya  bersama  satu  kesulitan  yang  sama
terdapat  dua kemudahan yang berbeda. Maksud ini dipahami dari
bentuk redaksi ayat  di  atas.  Terlihat  bahwa  kata  al-ushr
terulang   dua   kali  dan  keduanya  dalam  bentuk  definitif
(ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al), sedangkan kata
yusra  juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk indefinitif,
karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah kebahasaan
dikemukakan  bahwa  apabila  dalam  suatu susunan terdapat dua
kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya
bermakna  sama  sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif,
maka ia berbeda.

Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi  petunjuk
kepada umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
suatu pekerjaan walaupun  baru  saja  menyelesaikan  pekerjaan
yang  lain, dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju
kepada Allah Swt.

     Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
     kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
     (QS 94: 7).

Kata faraghta terambil dan kata faragha yang  ditemukan  dalam
Al-Quran   sebanyak   enam   kali   dengan   berbagai   bentuk
derivasinya. Dari segi bahasa, kata  tersebut  berarti  kosong
setelah   sebelumnya   penuh,   baik  secara  material  maupun
imaterial. Seperti gelas  yang  tadinya  dipenuhi,  oleh  air,
kemudian  diminum  atau  tumpah  sehingga  gelas  itu  menjadi
kosong. Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh  ketakutan
dan  kesedihan,  kemudian plong, semua digambarkan dengan akar
kata  ini.  Perlu  digarisbawahi  bahwa  kata   faragh   tidak
digunakan   selain   pada   kokosongan   yang  didahului  oleh
kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh kesibukan.

Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului
oleh adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang
yang telah memenuhi waktunya  dengan  pekerjaan,  kemudian  ia
menyelesaikan  pekerjaan  tersebut,  maka  jarak  waktu antara
selesai pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya
dinamai faragh.

Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya
Anda telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang
dimaksud  dengan  fan-shab.  Kata fan-shab antara lain berarti
berat, atau letih. Kata ini pada  mulanya  berarti  menegakkan
sesuatu  sampai nyata dan mantap, seperti halnya gunung. Allah
Swt. berfirman,

     Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan,
     dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada
     gunung bagaimana ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS
     88: 17-19).

Kalimat terakhir  pada  terjemahan  di  atas  dijelaskan  oleh
Al-Quran  dengan  kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu
nushibat dalam kalimat Wa ilal  jibali  kaifa  nushibat.  Dari
kata  ini  juga  dibentuk  kata nashib atau "nasib" yang biasa
dipahami  sebagai  "bagian  tertentu   yang   diperoleh   dari
kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas,
dan sulit dielakkan".

Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat
beberapa  kemungkinan  terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam
Nasyrah di atas.

     Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah
     tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah
     bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (suatu
     persoalan baru) sehingga menjadi nyata.

Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang
kepada  Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena
begitu  Anda  selesai  dalam  satu  kesibukan,  Anda  dituntut
melakukan  kesibukan  1ain  yang  meletihkan atau menghasilkan
karya nyata, guna mengukir nasib Anda.

Nabi Saw. menganjurkan umatnya  agar  meneladani  Allah  dalam
sifat   dan   sikap-Nya  sesuai  dengan  kemampuannya  sebagai
makhluk. Dan salah satu yang perlu dicontoh adalah sikap Allah
yang dijelaskan dalam surat Ar-Rahman ayat 29.

     Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan.

AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU

Jika Anda bertanya, "Apakah akibat  yang  akan  terjadi  kalau
menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang
adalah ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.

Allah Swt. memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr  (Demi
masa),   untuk   membantah   anggapan   sebagian   orang  yang
mempersalahkan waktu dalam kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu
yang   dinamai   masa   sial  atau  masa  mujur,  karena  yang
berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha seseorang. Dan
inilah  yang  berperan di dalam baik atau buruknya akhir suatu
pekerjaan,  karena  masa  selalu  bersifat  netral.   Demikian
Muhammad 'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.

Allah  bersumpah  dengan  'ashr,  yang  arti harfiahnya adalah
"memeras  sesuatu   sehingga   ditemukan   hal   yang   paling
tersembunyi padanya," untuk menyatakan bahwa, "Demi masa, saat
manusia mencapai hasil setelah memeras tenaganya, sesungguhnya
ia  merugi  apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia
beriman  dan  beramal  saleh"  (dan   seterusnya   sebagaimana
diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).

Kerugian  tersebut  baru disadari setelah berlalunya masa yang
berkepanjangan, yakni paling tidak akan  disadari  pada  waktu
'ashr  kehidupan  menjelang  hayat  terbenam.  Bukankah  'ashr
adalah waktu ketika matahari akan terbenam? itu  agaknya  yang
menjadi  sebab  sehingga  Allah  mengaitkan  kerugian  manusia
dengan  kata  'ashr  untuk  menunjuk  "waktu   secara   umum",
sekaligus  untuk  mengisyaratkan bahwa penyesalan dan kerugian
selalu datang kemudian.

     Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr
     (kerugian).

Kata khusr mempunyai banyak arti,  antara  lain  rugi,  sesat,
celaka,  lemah,  dan  sebagainya yang semuanya mengarah kepada
makna-makna negatif yang tidak disenangi oleh siapa pun.  Kata
khusr  pada  ayat  di  atas  berbentuk  indefinitif (nakirah),
karena ia menggunakan tanwin, sehingga dibaca  khusr(in),  dan
bunyi  in itulah yang disebut tanwin. Bentuk indefinitif, atau
bunyi in yang ada pada kata tersebut  berarti  "keragaman  dan
kebesaran",   sehingga   kata  khusr  harus  dipahami  sebagai
kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.

Kata  fi  biasanya  diterjemahkan  dengan  di   dalam   bahasa
indonesia.  Jika  misalnya  Anda berkata, "Baju di lemari atau
uang di saku", tentunya yang Anda maksudkan adalah bahwa  baju
berada  di  dalam  lemari  dan uang berada di dalam saku. Yang
tercerap dalam  benak  ketika  itu  adalah  bahwa  baju  telah
diliputi  lemari,  sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah
berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di  dalam  saku
sehingga tidak sedikit pun yang berada di luar.

Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada
didalam kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di
dalam wadah tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung
arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu
sisi  pun dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian, dan
kerugian itu amat besar lagi beraneka ragam. Mengapa demikian?
Untuk  menemukan  jawabannya kita perlu menoleh kembali kepada
ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya  dengan  ayat
kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian".

Masa  adalah  modal  utama manusia. Apabila tidak diisi dengan
kegiatan, waktu akan  berlalu  begitu.  Ketika  waktu  berlalu
begitu  saja,  jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah
hilang. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,

     "Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat
     diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok,
     tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin
     kembali esok."

Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila  tidak  diisi,
yang  bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi
dengan hal-hal  yang  negatif,  manusia  tetap  diliputi  oleh
kerugian.  Di  sinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dan
kedua. Dari sini pula ditemukan sekian banyak hadis Nabi  Saw.
yang  memperingatkan  manusia  agar  mempergunakan  waktu  dan
mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi Saw

     Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak
     orang: kesehatan dan kesempatan (Diriwayatkan oleh
     Bukhari melalu Ibnu Abbas r.a.) .

BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU?

Tidak pelak lagi  bahwa  waktu  harus  diisi  dengan  berbagai
aktivitas  positif.  Dalam surat Al-'Ashr disebutkan empat hal
yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian dan  kecelakaan
besar  dan  beraneka  ragam. Yaitu, (a) yang beriman, (b) yang
beramal saleh, (c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan
(d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. Sebenarnya keempat
hal  ini  telah  dicakup  oleh  kata  "amal",  namun   dirinci
sedemikian  rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal
yang boleh jadi sepintas lalu tidak  terjangkau  oleh  kalimat
beramal saleh yang disebutkan pada butir (b) .

Iman  --dari  segi  bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran.
Ada sebagian pakar yang mengartikan  iman  sebagai  pembenaran
hati  terhadap hal yang didengar oleh telinga. Pembenaran akal
saja tidak cukup --kata mereka-- karena  yang  penting  adalah
pembenaran hati.

Peringkat  iman  dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang
dengan lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu  saat  dengan
saat  lainnya  pada diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu
(Iman itu bertambah dan berkurang), demikian bunyi rumusannya.
Nah,   upaya   untuk   mempertahankan  dan  meningkatkan  iman
merupakan hal yang amat  ditekankan.  Iman  inilah  yang  amat
berpengaruh  pada  hal  diterima atau tidaknya suatu amal oleh
Allah Swt.

Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,

     Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang
     tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu
     (sia-sia bagai) debu yang beterbangan.

Ini disebahkan amal atau pekerjaan  tersebut  tidak  dilandasi
oleh  iman.  Demikianlah  bunyi  sebuah  ayat  yang  merupakan
"undang-undang Ilahi"

Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang  disebut  dalam  surat
ini  pada  hakikatnya  merupakan bagian dari amal saleh. Namun
demikian ketiganya disebut secara eksplisit untuk menyampaikan
suatu  pesan tertentu. Pesan tersebut antara lain adalah bahwa
amal saleh yang tanpa iman tidak akan diterima oleh Allah Swt.

Dapat juga  dinyatakan  ada  dua  macam  ajaran  agama,  yaitu
pengetahuan  dan  pengamalan.  Iman  (akidah)  merupakan  sisi
pengetahuan, sedangkan syariat merupakan sisi pengamalan. Atas
dasar  inilah ulama memahami makna alladzina amanu (orang yang
beriman) dalam ayat ini  sebagai  "orang-orang  yang  memiliki
pengetahuan   tentang   kebenaran".  Puncak  kebenaran  adalah
pengetahuan  tentang  Allah  dan  ajaran-ajaran   agama   yang
bersumber  dari-Nya.  Jika  demikian, sifat pertama yang dapat
menyelamathan  seseorang  dari  kerugian  adalah   iman   atau
pengetahuan tentang kebenaran. Hanya saja harus diingat, bahwa
dengan iman seseorang baru menyelamatkan  seperempat  dirinya,
padahal  ada  empat  hal  yang  disebutkan surat Al-'Ashr yang
menghindarkan manusia dari kerugian total.

MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA

Hal  kedua  yang  disebutkan  dalam  surat   Al-'Ashr   adalah
'amilush-shalihat (yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal
(pekerjaan)  digunakan  oleh  Al-Quran   untuk   menggambarkan
perbuatan yang disadari oleh manusia dan jin.

Kiranya  menarik  untuk  mengemukakan  pendapat beberapa pakar
bahasa yang menyatakan bahwa kata 'amal dalam  Al-Quran  tidak
semuanya  mengandung  arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam
nyata. Niat untuk melakukan sesuatu yang baik --kata  mereka--
juga  dinamai  'amal.  Rasul  Saw.  menilai  bahwa  niat  baik
seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah maksud
surat Al-Zalzalah ayat 7:

     Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun
     sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan
     (ganjaran)-nya.

Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat  daya
yang dimilikinya:

  1. Daya tubuh, yang memungkinkan manusia memiliki
     antara lain kemampuan dan keterampilan teknis.
    
  2. Daya akal, yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan mengembangkan ilmu dan teknologi, serta
     memahami dan memanfaatkan sunnatullah
    
  3. Daya kalbu, yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan moral, estetika, etika, serta mampu
     berkhayal, beriman, dan merasakan kebesaran ilahi.
    
  4. Daya hidup yang memungkinkan manusia memiliki
     kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
     mempertahankan hidup, dan menghadapi tantangan.

Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan
menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".

Kata  shalih  terambil  dari  akar  kata  shaluha  yang  dalam
kamus-kamus  bahasa  Al-Quran  dijelaskan   maknanya   sebagai
antonim  (lawan)  kata  fasid  (rusak).  Dengan  demikian kata
"saleh" diartikan sebagai tiadanya atau terhentinya kerusakan.
Shalih  juga  diartikan  sebagai  bermanfaat  dan sesuai. Amal
saleh  adalah   pekerjaan   yang   apabila   dilakukan   tidak
menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila
pekerjaan  tersebut  dilakukan  akan  diperoleh  manfaat   dan
kesesuaian.

Secara  keseluruhan  kata  shaluha  dalam  berbagai  bentuknya
terulang dalam Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara  umum  dapat
dikatakan  bahwa  kata  tersebut  ada  yang  dibentuk sehingga
membutuhkan  objek  (transitif),  dan  ada  pula  yang   tidak
membutuhkan  objek  (intransitif).  Bentuk  pertama menyangkut
aktivitas yang mengenai objek penderita.  Bentuk  ini  memberi
kesan   bahwa   objek   tersebut   mengandung   kerusakan  dan
ketidaksesuaian  sehingga  pekerjaan   yang   dilakukan   akan
menjadikan  objek  tadi  sesuai  atau  tidak  rusak. Sedangkan
bentuk  kedua  menunjukkan  terpenuhinya  nilai  manfaat   dan
kesesuaian   pekerjaan  yang  dilakukan.  Usaha  menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu  maupun  menyingkirkan  madharrat
yang  ada  padanya  dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara
kesesuaian serta manfaat yang terdapat  pada  sesuatu  dinamai
shalah.

Apakah  tolok  ukur  pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan
ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama
pun   berbeda  pendapat.  Syaikh  Muhammad  'Abduh,  misalnya,
mendefinisikan amal  saleh  sebagai,  "segala  perbuatan  yang
berguna  bagi  pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara
keseluruhan."

Apabila  seseorang  telah  mampu  melakukan  amal  saleh  yang
disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus
dipenuhinya untuk membebaskan  dirinya  dari  kerugian  total.
Namun  sekali  lagi harus diingat, bahwa menghiasi diri dengan
kedua hal di  atas  baru  membebaskan  manusia  dari  setengah
kerugian  karena ia masih harus melaksanakan dua hal lagi agar
benar-benar selamat,  beruntung,  serta  terjauh  dari  segala
kerugian.

Yang  ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw
bish-shabr (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran).
Agaknya  bukan  di  sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan
secara rinci. Yang dapat  dikemukakan  hanyalah  bahwa  al-haq
diartikan  sebagai  kebenaran yang diperoleh melalui pencarian
ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan menghadapi segala sesuatu,
serta  kemampuan  menahan  rayuan  nafsu  demi  mencapai  yang
terbaik.

Surat Al-'Ashr  secara  keseluruhan  berpesan  agar  seseorang
tidak  hanya  mengandalkan  iman  saja,  melainkan  juga  amal
salehnya. Bahkan amal  saleh  dengan  iman  pun  belum  cukup,
karena  masih  membutuhkan  ilmu. Demikian pula amal saleh dan
ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak  ada  iman.  Memang
ada  orang  yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia
tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula
yang  merasa  jenuh.  Karena  itu,  ia  perlu  selalu menerima
nasihat agar tabah dan sabar,  sambil  terus  bertahan  bahkan
meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya.

Demikian  terlihat  bahwa  amal  atau  kerja  dalam  pandangan
Al-Quran bukan sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan,  minum,
atau  rekreasi,  tetapi  kerja  beraneka  ragam  sesuai dengan
keragaman  daya  manusia.  Dalam  hal  ini   Rasulullah   Saw.
mengingatkan:

     Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh
     nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada
     waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog)
     dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi.
     Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah
     (belajar), dan ada pula yang dikhususkan untuk diri
     (dan keluarganya) guna memenuhi kebutuhan makan dan
     minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim
     melalui Abu Dzar Al-Ghifari).

Demikian surat Al-'Ashr  mengaitkan  waktu  dan  kerja,  serta
sekaligus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu.
Sungguh tepat imam Syafi'i mengomentari surat ini:

     Kalaulah manusia memikirkan kandungan surat ini,
     sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi
     kehidupan mereka).

Sebagai penutup, artikel Menembus Dimensi Ruang Dan Waktu
ada suatu doa yang konon bisa menembus dimensi ruang waktu.
Do'a Menembus Dimensi Ruang Dan Waktu ini didapat dari wawancara
Ajengan R.Tjakra Djajaningrat dengan  Raja Jin Muslim Abu Al Qutb
dan kami kutib dan tulis:

    "Anaa aikhtiraq 'abad almakan walzzaman bi quwwat wa'iiradat allah,...dsb."
    Artinya: "aku menembus dimensi ruang dan waktu, atas kuasa dan kehendak
    Allah,..dsb". Semoga menjadi manfaat untuk kita semua, konon doa ini
   dipadukan dengan rumus....dan kami postingkan doa ini guna menambah
   wawasan dan menambah keimanan.  Wallahu 'alam bish shawwab.

Sumber: faithfreedomwatch.web44.net/media.isnet.org/indoghaib.blogspot.com

Spiritual by Kuliah Ilmu Ghaib