Sahabat Semesta yang dimulyakan ALLAH SWT....
ALLAH telah menghalalkan untuk kita berjual beli tapi Allah telah mengharamkan RIBA. Namun demikian, ada juga jual-beli yang diharamkan seperti jual beli bangkai, khomr dan lain sebagainya.
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya. " Muttafaq Alaihi.
Nah, berikutnya, apakah Allah dan Rosul-Nya melarang kita untuk berjualan ilmu? Mungkin sebagian dari kita berpendapat, kalau berjualan ilmu agama hukumnya haram, tapi kalau berjualan ilmu dunia humkumnya mubah (boleh). Jika kita berpendapat seperti itu maka ketahuilah bahwa semua ilmu itu berasal daru YANG MAHA SATU. Jadi, secara prinsip tidak ada bedanya antara ilmu agama ataupun ilmu dunia.
Dan pada hakikatnya, setiap produk yang dijual berasal dari ILMU. Contoh, tidak mungkin ada sebuah MOBIL jika belum ada ILMU tentang memproduksi Mobil. Begitupun dengan JASA yang juga berbahan dasar ILMU.
Jadi secara prinsip tidak ada ketegasan baik dari Al-Quran ataupun Al-Hadist bahwa jualan ilmu itu haram. Namun demikian..... mari kita perhatikan ayat yang saya telah sebutkan di atas...
“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). " Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (Q.S.6:90)”
Ayat ini bukanlah mengenai ayat dilarangnya menjual ilmu yang ada di Al-Quran, terlebih lagi ternyata hampir semua ilmu yang terkuak hari ini ada pondasinya di dalam Al-Quran. Tapi ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa IKUTILAH ORANG-ORANG YANG TELAH DIBERIKAN PETUNJUK OLEH ALLAH, YAKNI (Salah satu cirinya adalah) ORANG-ORANG YANG KETIKA MENYAMPAIKAN AYAT-AYAT ALLAH KEPADAMU, MEREKA TIDAK MEMINTA UPAH SEPESERPUN DARIMU. SEBAB AL-QURAN ITU UNTUK SELURUH UMAT.
Sebenarnya ayat tersebut secara tersirat melarang kita untuk jual beli agama, atau bahasa sederhananya adalah dilarang jual beli AQIDAH. Sebab AQIDAH ISLAM itu untuk universal, siapapun boleh memilikinya tanpa harus membelinya karena memang SUDAH FITRAH MANUSIA itu berAQIDAH ISLAM.
Artinya, setiap individu sudah memiliki hak kefitrahan itu. Itu sebabnya, seseorang tidak perlu membeli sesuatu yang telah menjadi haknya, ia hanya perlu meminta secara baik-baik kepada orang yang diamanahi sementara waktu atas keberadaan hak kefitrahannya itu. Dan para pemegang amanah itu sering kita sebut sebagai Ulama, Kyai, Da’i, Ustadz, dan Para Pembicara Agama Lainnya. Itu sebabnya mereka tidak layak menjual sesuatu yang bukan hak mereka, sebab AQIDAH ISLAM (Kefitrahan) itu adalah hak ALAM SEMESTA.
Contoh : Dilarang seorang Ustadz/Ulama datang ke suatu daerah yang masih belum fitrah (daerah kafir atau musyrik) lalu menawarkan kefitrahan plus syurga kepada warga tersebut, tapi warga tersebut harus membayarnya sekian rupiah. Namun demikian, karena dalam Islam ada mekanisme ZAKAT, maka sang Ulama tersebut memiliki HAK 1/8 dari Total ZAKAT yang dikumpulkan dari warga tersebut.
Lalu, bagaimana jika Ustadz tersebut berdakwah ke daerah/warga yang relatif sudah fitrah, yang mana Aqidah warga tersebut memang sudah ISLAM?
Sebelum saya menjawab, saya akan menyampaikan terlebih dahulu bahwa ada sedikit perbedaan atau trend yang cukup signifikan antara Ustadz jaman dulu dan jaman sekarang. Secara umum, Ustadz jaman dulu itu DIDATANGI oleh para pencari ilmu, sedangkan Ustadz jaman sekarang lebih banyak MENDATANGI para pencari ilmu. Jaman dahulu para Pencari Ilmu yang bergerak menuju lokasi Ta'lim, tapi kini para Ustadz yang umumnya bergerak menuju lokasi Ta'lim. Walaupun tentu saja masih banyak para Ustadz yang didatangi oleh para pencari ilmu. Jadi, yang saya utarakan ini adalah trend pada umumnya demikian.
Nah, pada jaman dahulu, orang-orang mendatangi Ulama untuk mencari ilmu, lalu membawakan untuk ulama tersebut buah tangan sekadarnya. Dan itu tidaklah mengapa. Dan kehidupan perekonomian para Ulama pun relatif dijamin oleh pemerintahan Islam. Tentu saja, kecuali para ulama yang dianggap menentang pemerintah.
Tapi, hari ini, dikarenakan Ulama/Ustadznya yang mendatangi para pencari ilmu, maka akan sungguh merepotkan jika setiap pendengar/pencari ilmu membawakan buah tangan untuk Ustadznya. Maka ditukarlah dengan fulus. Para jamaah menyumbangkan sebagian fulusnya kepada panitia (DKM mesjid), lalu panitia mengatur fulus yang dikumpulkan, dan didistribusikan untuk berbagai keperluan acara, termasuk untuk kebutuhan transport / infak untuk sang Ustadz/Ulama tersebut. Sehingga hal ini adalah wajar-wajar saja, selama tidak ada AQAD FEE CERAMAH antara Ustadz dan Panitia.
Yang dimaksud dengan AQAD FEE CERAMAH adalah ketika Ustadz atau Manajemen Ustadz tersebut menyampaikan kepada pengundangnya, "Kalau undang Ustadz tarifnya 5 juta". Maka itu tidaklah diperkenankan, sebab bisa merusak keharmonisan yang sudah terbangun. Namun, bagaimana bila ditanya oleh panitia, "Maaf Ustadz, berapa dana yang harus kami persiapkan untuk menghadirkan Ustadz?", maka Ustadz tersebut lebih baik menjawab, "Kami serahkan saja sepenuhnya kepada Anda, sebab Anda yang paling paham kondisi jamaah disana". Atau jika memang sang Ustadz punya misi membangun pesantren dlsb, dan butuh dana yang besar, maka sang ustadz tersebut dapat menyampaikan kepada panitia mengenai hal itu. Misal, "Tapi, kami menerima dana infak dan sedekah untuk membangun pesantren kami, kami tunggu partisipasi jamaah di sana..."
Yup, bukankah semakin tinggi ketaqwaan seseorang maka semakin tinggi pula ketergantungannya (baca : Tawakkal) kepada ALLAH SWT? Allah akan memberikan rizki dari arah yang tak terduga dan tak disangka bagi para Ustadz yang bertaqwa, sehingga para Ustadz tidak lagi perlu mentarif dirinya untuk kehidupan perekonomian keluarganya. Allah akan memberi, bahkan walau Ustadz yang bertaqwa tersebut tak sempat memintanya.
Rasulullah saw bersabda, "Allah berfirman: Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyebut nama-Ku, sehingga tidak sempat meminta kepada-KU, maka Aku berikan kepadanya sebiak-baik pemberian yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas perkataan lainnya adalah seperti, keutamaan Allah atas makhluk-Nya. (HR Tirmidzi)
Intinya, agama Islam tidak melarang secara TEGAS seseorang menjual ilmu dengan cara mengajarkannya. Apalagi pada kenyataannya, seringkali, beberapa ilmu justru menjadi tidak efektif penyampaiannya jika tidak diberikan harga yang pas. Dan betapa banyak kasus, ilmu kalau digratiskan justru malah menjadi tidak laku. Tapi tentu saja jika “menarif” harga ilmu itu kelewatan maka yang merugi adalah penjual ilmu itu sendiri. Sebab, apapun yang kelewatan, apapun yang berlebihan adalah merusak .... dan Allah tidak suka kepada hamba-hambaNya yang melampaui batas...Artinya, setiap individu sudah memiliki hak kefitrahan itu. Itu sebabnya, seseorang tidak perlu membeli sesuatu yang telah menjadi haknya, ia hanya perlu meminta secara baik-baik kepada orang yang diamanahi sementara waktu atas keberadaan hak kefitrahannya itu. Dan para pemegang amanah itu sering kita sebut sebagai Ulama, Kyai, Da’i, Ustadz, dan Para Pembicara Agama Lainnya. Itu sebabnya mereka tidak layak menjual sesuatu yang bukan hak mereka, sebab AQIDAH ISLAM (Kefitrahan) itu adalah hak ALAM SEMESTA.
Contoh : Dilarang seorang Ustadz/Ulama datang ke suatu daerah yang masih belum fitrah (daerah kafir atau musyrik) lalu menawarkan kefitrahan plus syurga kepada warga tersebut, tapi warga tersebut harus membayarnya sekian rupiah. Namun demikian, karena dalam Islam ada mekanisme ZAKAT, maka sang Ulama tersebut memiliki HAK 1/8 dari Total ZAKAT yang dikumpulkan dari warga tersebut.
Lalu, bagaimana jika Ustadz tersebut berdakwah ke daerah/warga yang relatif sudah fitrah, yang mana Aqidah warga tersebut memang sudah ISLAM?
Sebelum saya menjawab, saya akan menyampaikan terlebih dahulu bahwa ada sedikit perbedaan atau trend yang cukup signifikan antara Ustadz jaman dulu dan jaman sekarang. Secara umum, Ustadz jaman dulu itu DIDATANGI oleh para pencari ilmu, sedangkan Ustadz jaman sekarang lebih banyak MENDATANGI para pencari ilmu. Jaman dahulu para Pencari Ilmu yang bergerak menuju lokasi Ta'lim, tapi kini para Ustadz yang umumnya bergerak menuju lokasi Ta'lim. Walaupun tentu saja masih banyak para Ustadz yang didatangi oleh para pencari ilmu. Jadi, yang saya utarakan ini adalah trend pada umumnya demikian.
Nah, pada jaman dahulu, orang-orang mendatangi Ulama untuk mencari ilmu, lalu membawakan untuk ulama tersebut buah tangan sekadarnya. Dan itu tidaklah mengapa. Dan kehidupan perekonomian para Ulama pun relatif dijamin oleh pemerintahan Islam. Tentu saja, kecuali para ulama yang dianggap menentang pemerintah.
Tapi, hari ini, dikarenakan Ulama/Ustadznya yang mendatangi para pencari ilmu, maka akan sungguh merepotkan jika setiap pendengar/pencari ilmu membawakan buah tangan untuk Ustadznya. Maka ditukarlah dengan fulus. Para jamaah menyumbangkan sebagian fulusnya kepada panitia (DKM mesjid), lalu panitia mengatur fulus yang dikumpulkan, dan didistribusikan untuk berbagai keperluan acara, termasuk untuk kebutuhan transport / infak untuk sang Ustadz/Ulama tersebut. Sehingga hal ini adalah wajar-wajar saja, selama tidak ada AQAD FEE CERAMAH antara Ustadz dan Panitia.
Yang dimaksud dengan AQAD FEE CERAMAH adalah ketika Ustadz atau Manajemen Ustadz tersebut menyampaikan kepada pengundangnya, "Kalau undang Ustadz tarifnya 5 juta". Maka itu tidaklah diperkenankan, sebab bisa merusak keharmonisan yang sudah terbangun. Namun, bagaimana bila ditanya oleh panitia, "Maaf Ustadz, berapa dana yang harus kami persiapkan untuk menghadirkan Ustadz?", maka Ustadz tersebut lebih baik menjawab, "Kami serahkan saja sepenuhnya kepada Anda, sebab Anda yang paling paham kondisi jamaah disana". Atau jika memang sang Ustadz punya misi membangun pesantren dlsb, dan butuh dana yang besar, maka sang ustadz tersebut dapat menyampaikan kepada panitia mengenai hal itu. Misal, "Tapi, kami menerima dana infak dan sedekah untuk membangun pesantren kami, kami tunggu partisipasi jamaah di sana..."
Yup, bukankah semakin tinggi ketaqwaan seseorang maka semakin tinggi pula ketergantungannya (baca : Tawakkal) kepada ALLAH SWT? Allah akan memberikan rizki dari arah yang tak terduga dan tak disangka bagi para Ustadz yang bertaqwa, sehingga para Ustadz tidak lagi perlu mentarif dirinya untuk kehidupan perekonomian keluarganya. Allah akan memberi, bahkan walau Ustadz yang bertaqwa tersebut tak sempat memintanya.
Rasulullah saw bersabda, "Allah berfirman: Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al-Qur’an dan menyebut nama-Ku, sehingga tidak sempat meminta kepada-KU, maka Aku berikan kepadanya sebiak-baik pemberian yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas perkataan lainnya adalah seperti, keutamaan Allah atas makhluk-Nya. (HR Tirmidzi)
So, yang dilarang adalah menjual agama, atau menjual sesuatu atas nama agama, padahal sama sekali bukan atas nama agama.
Silakan Anda menjadi Dosen, Guru, atau Trainer. Yang penting adalah bahwa ilmu yang Anda sampaikan kepada mereka bermanfaat bagi mereka untuk mengarungi kehidupan ini, bukan sekedar ilmu-ilmu yang tidak senilai dengan harga yang harus dibayar, yaitu ilmu-ilmu yang sudah tidak pada jamannya lagi.
Intinya jika Anda menjual Ilmu maka :
1. Ilmu yang Anda jual harus bermanfaat bagi yang membelinya, jika setelah pelanggan Anda membeli ilmu itu dari Anda, dan ternyata ilmu yang Anda berikan tidak berkhasiat, maka Anda harus ikhlas untuk mengembalikan seluruh atau sebagian uang yang sudah Anda terima.
2. Intinya, dalam jual beli, harus sama-sama ikhlas..
3. Harus jelas. “Barang” yang tidak sesuai “Iklan” maka Garansi uang kembali, atau ada diskon terhadap kekurangan yang ada...
4. Tidak berlebihan, ambillah keuntungan secukupnya, sewajarnya. Sebab sesungguhnya harga ilmu itu tidak ternilai, maka hargailah ilmu itu bukan dengan uang yang banyak tapi dengan keikhlasan yang banyak. Uang itu secukupnya saja. Secukupnya...
5. Miliki keyakinan penuh, bahwa Anda menjual Ilmu justru untuk memperlancar distribusi ilmu tersebut, dan bukan untuk menghambatnya. Lalu Anda berikan “hak paten” yang tidak perlu, sehingga ketika ada orang lain yang menyampaikan apa yang Anda sampaikan, Anda pun sibuk “kebakaran jenggot”...
Oke, mungkin demikianlah pembahasan tentang menjual ilmu. Dan berikut adalah beberapa contoh promo yang bisa dikategorikan menjual agama (tapi tidak selalu ya, semua kembali kepada niat utama si promotornya). Semoga kita bisa menghindarinya.
1. Ayo beli produk dari kami, kalau Anda beli produk dari kami maka 10% dari keuntungannya akan diberikan kepada fakir miskin. Inilah saatnya membeli sambil beramal... 2. Ayo, pilihlah partai kami, karena partai kami berbasis Islam. Hanya kami partai Islam yang asli. 3. Masuklah golongan/kelompok/firqoh/harokah kami. Sebab kelompok kami yang paling sesuai dengan Quran dan Hadist, sedangkan yang lain bathil, bahkan sebagian yang lain kafir dan musyrik.
Yup, katakanlah “Belilah produk yang halal”, tapi jangan katakan “Hanya produk kami yang halal...”
Wallahu alam...
Sumber:cahaya-semesta.com
Wallahu alam...
Sumber:cahaya-semesta.com